SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Juni 05, 2017

KETIKA GURU CURHAT KORBAN KEKERASAN

Suara guru itu terdengar parau. Ia bercerita tentang rekan kerjanya di sekolahnya yang dipukuli oleh orangtua siswa. Beruntung parang yang dibawah ayah anak ini tidak merobek robek tubuhnya yang sudah lelah seharian mengajar. Orangtua itu kalap karena anaknya menangis rambutnya dipotong kena razia gurunya di sekolah.

Kisah ini bukan cerita Aop Saedudin, guru SD di Majalengka yang pernah dipidanakan oleh orangtua siswa gara-gara mencukur rambut siswanya. Kisah itu dialami guru di daerah terpencil diluar pulau Jawa. Kisah dari banyak cerita lainnya dengan kasus berbeda diceritakan dan atau tidak sempat disampaikan langaung 102 guru-guru se- Indonesia dalam bintek di Hotel The Mirah Bogor 31 Mei - 2 Juni 2017.

Banyak kisah diceritakan derita guru diberbagai sekolah di Indonesia. Sejak bergulir reformasi benteng martabat guru terkoyak dengan kebebasan kebablasan. Guru-guru banyak berharap, lahirnya Permendikbud No. 10 Tahun 2017 menjadi imunisasi bagi profesi guru dari segala bentuk ancaman, kekerasan, intimidasi dan diskriminasi dalam menjalankan tugasnya. Baik datang dari luar pagar sekolah maupun sesama rekan kerja.

Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari itu membedah daleman payung hukum perlindungan guru. Seperti Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang guru, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Profesi Guru.

Hadir sebagai pembicara adalah dari kalangan akademisi, yaitu Rektor STKIP Cimahi Prof Dr Dadang Komara dengan materi Etika Profesi Guru, Konsep, Jenis dan Bentuk Perlindungan Guru. Pemateri lainnya adalah Dr Dadang Sundawa, M.Pd dengan judul Identifikasi dan Pemetaan Permasalahan Perlindungan Guru. Terakhir adalah Ridwan Purnama, SH., MS.i dengan judul Prosedur Perlindungan Guru. Dua pembicara terakhir adalah dari UPI Bandung Jawa Barat.


Berbagai curhatan guru tentang kekerasan yang menimpa pendidik tersebut memiliki pola yang sama. Guru menindak siswa bermasalah, siswa mengadu kepada orangtua lalu orangtua mendatangi pihak sekolah dan guru. Tindakan guru sebagai pemicu, ada yang masuk kategori tindakan wajar demi menegakan aturan sekolah, tetapi ada juga perlakuan guru yang kurang ajar. Kesalahan kecil siswa di hukum melebihi batas kewajaran.

Ridwan Purnama SH MH mengatakan, jika tindakan guru-guru yang sudah benar namun disalahkan bahkan hingga diperkarakan oleh orangtua siswa, bahkan sampai melibatkan oknum LSM, wartawan hingga aparat dan pejabat atau sesama guru sendiri maka pemerintah wajib melindungi. Perlindungan guru meliputi perlindungan hukum, profesi, keselamatan dan keamanan serta perlindungan hak kekayaan intelektual (HAKI).

Sementara bagi guru-guru melakukan tindakan kekerasan tidak proporsional terhadap siswa maka mereka ketentuan hukum perlindungan profesi tidak menjadi tanggung jawab pemerintah. Tidak juga pemerintah daerah, organisasi profesi, masyarakat maupun satuan pendidikan, seperti yang diatur dalam permendikbud. Harus diakui, masih ada guru-guru bermental preman dalam menghadapi kelakuan siswa.

Faktor mentalitas guru menjadi variabel penting dalam pendidikan nasional. Menurut Prof Dr Endang Komara, mentalitas guru menjadi kata kunci dalam perubahan pendidikan di negeri ini. Setelah sudah sekian lama hasil survai dunia terhadap kualitas pendidikan bangsa ini cukup memprihatinkan. Etos kerja guru harus terus ditingkatkan seiring meningkatnya kesejahteraan yang diperoleh dari pemerintah.

Dampak dari mentalitas guru yang kurang baik berekses kepada karya-karya guru. Menurut Dr Dr Dadang Sundawa M.Pd, banyak karya guru sangat rentan dengan plagiatisme. Karya orang lain dikutip ada atau copas utuh tanpa menyebutkan sumbernya. Jangankan buku orang lain, dalam kode etik penulisan ilmiah, buku sendiri yang sudah diterbitkan juga harus ditulis sumbernya agar tidak dicap auto plagiat.

Guru-guru yang merasa dirugikan dan terancam dalam menjalankan profesinya bisa melaporkan kasusnya kepada Satuan Tugas (Satgas) Kesharlindung. Satgas ini rencananya akan dibentuk dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah. Secara formal pemerintah akan menerbitkan juklak juknisnya.  Korban bisa mengadukan bebas kepada pihak yang sudah ditentukan oleh aturan. Bisa ke pemerintah pusat, daerah, organisasi profesi, masyarakat atau satuan pendidikan.

Sesuai ketentuan, berbagai kasus yang dilaporkan diupayakan akan diselesaikan dengan pendekatan non ligitasi. Pendekatan ini lebih mengedepankan penyelesaikan dengan mediasi persuasif kekeluargaan diluar jalur persidangan. Apabila guru tetap dipidanakan, menurut Ridwan Purnama payung hukum yang melindungi guru sudah cukup dalam melakukan pembelaan dalam persidangan.

Ketiga nara sumber sependapat untuk menghindati jerat hukum agar guru bisa bekerja secara profesional, Guru harus memiliki integritas intelektual, sosial dan moral seperti yang tertuang dalam PP No. 74 Tahun 2008 tentang guru. Dengan kerja profesional martabat guru akan disegani dan dihormati tidak saja  oleh siswa dan orangtua tetapi juga masyarakat dan pihak lain. Seperti halnya guru-guru di negara maju.(pade)