SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Juni 15, 2017

KERJA GURU DIBAWAH TEKANAN

Oleh:
DENY ROCHMAN, S.Sos.,M.Pd.I
Guru IPS SMP Negeri 4 Kota Cirebon

Stop! Jangan anda bermimpi ingin menjadi guru profesional di abad 21. Jika anda tidak siap kerja dibawah tekanan dan tuntutan sebagai pekerja profesional. Ada banyak tantangan masa depan yang akan menjadi pekerjaan rumah guru-guru Indonesia. Untuk menyikapi tren futuralistik tersebut pihak pemerintah pun melakukan berbagai langkah kebijakan agar bangsa negara tetap eksis di era globalisasi. Salah satunya mendorong terus peningkatan kompetensi guru-guru agar bekerja profesional.

Abad 21 ke depan menghadapi peluang, tantangan sekaligus hambatan yang tidak kecil. Kondisi jaman akan berubah kian cepat dengan basis teknologi komunikasi dan informasi internet dan media massa. Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Rhenald Kasali Ph.D menyebutkan bahwa abad 21 akan terjadi perubahan begitu cepat, penuh ketidakpastian dan bergejolak, terjadi hyper competition, peradaban kamera (camera branding) dan self –centred, minat baca meningkat tetapi hanya ringkasan atau kalimat–kalimatpendek (https://www.academia.edu/7647567/Tantangan_Indonesia_Dalam_Abad_21_Pendidikan_and_Kesejahteraan)
Pada waktu bersamaan ada efek yang perlu disikapi dengan perubahan jaman yang ada. Efek yang mulai terasa pada masa kini akan terus menjadi ancaman bagi sebuah bangsa di masa-masa selama abad 21 berlangsung. Globalisasi pada semua sisi memberikan efek pada segala bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Teknologi bagaikan instrumen yang berdampak pada dehumanisasi, individualisme, resistensi identitas diri, kesenjangan dan beragam masalah sosial yang akan lahir.
Perlu pembenahan dan penguatan pada bidang pendidikan dalam mengantisipasi tren perubahan abad 21 tersebut. Menurut Rhenald Kasali, pendidikan bisa melahirkan manusia passengers dan  manusia drivers, bisa juga “bad driver” dan “bad passengers”. Perubahan mindset masyarakat sangat bergantung pada pola pendidikan saat ini untuk menentukan pola pikir masyarakat di masa depan. Ini masalah serius terlebih pada tahunn 2020 - 2030 Indonesia akan memperoleh bonus demografi. Pada rentang tahun tersebut jumlah penduduk generasi produktif usia 15-64 tahun akan bertambah banyak hingga 70%. Jika usia produktif tersebut mampu memiliki kompetensi dan daya saing yang berkualitas maka bangsa Indonesia akan mampu bersaing di era global, begitu juga sebaliknya.

TREN ABAD 21
Peran guru dalam mempertahankan “kedaulatan negara” menjadi variabel terpenting terhadap neo kolonialisme dunia. Ada tantangan yang harus antisipasi guru-guru Indonesia dalam menghadapi pendidikan abad 21. Badan Nasional Pendidikan Nasional (BNSP) telah menerbitkan buku berjudul Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI pada tahun 2010. Menurut BNSP, terdapat beberapa kompetensi dan/atau keahlian yang harus dimiliki oleh SDM abad XXI. Kompetensi tersebut antara lain :
1.     Kemampaun berpikir kritis dan pemecahan masalah (Critical-Thinking and Problem-Solving Skills);
2.     Kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama (Communication and Collaboration Skills);
3.     Kemampaun berpikir kritis dan pemecahan masalah (Critical-Thinking and Problem-Solving Skills);
4.     Kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama (Communication and Collaboration Skills);
5.     Kemampuan mencipta dan membaharui (Creativity and Innovation Skills);
6.     Literasi teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communications Technology Literacy); 
7.     Kemampuan belajar kontekstual (Contextual Learning Skills);
8.     Kemampuan informasi dan literasi media (Information and Media Literacy Skills).

 GURU PEMBELAJAR
Guru pembelajar adalah guru profesional. Menjadi guru profesional merupakan jawaban dalam menghadapi peluang, tantangan dan hambatan masa depan pendidikan di era global. Menurut Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud Sumarna Surapranata, Ph.D, menjadi guru profesional tidak mudah karena harus memiliki keahlian dibidangnya. Paling tidak punya kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian. Mereka yang menilai guru harus sesuai dengan keilmuannya, tidak sembarang guru.
Dirjen GTK itu menyampaikan hal itu dalam Seminar Nasional Guru Profesional di Jakarta belum lama ini. Ia mengingatkan, jika tugas guru itu sangat berat berbeda dengan dokter. Jika dokter salah mengobati satu pasien hanya berdampak satu orang, tetapi guru akan berdampak pada satu kelas bahkan satu generasi. Beratnya tugas guru sehingga tidak semua orang bisa menjadi guru.
Perlu paradigma baru untuk menjadi guru Indonesia yang profesional di abad 21, antara lain  (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Guru-guru masa depan jangan pernah bosan untuk belajar memperkaya potensi dirinya dalam penguasaan kompetensi masa depan.
Dalam menghadapi tantangan masa depan, pemerintah sudah melakukan berbagai langkah dalam membenahi sistem yang ada. Berbagai kebijakan tersebut seperti pembaruan kurikulum versi 2013, pembenahan sarana dan prasarana pendidikan, perbaikan kesejahteraan dan kinerja guru, peningkatan kompetensi guru melalui ujian kompetensi (UKG), pelatihan, seminar, workshop, lomba-lomba hingga pemberian beasiswa pendidikan. Bahkan untuk UKG pada tahun 2019 nilai rata-ratanya harus mencapai 8 (delapan). Tentu saja kebijakan ini bagi banyak guru abad 20 yang belum move on hal itu dianggap sebagai tekanan kinerja guru.      
Tantangan terberat pendidikan sekarang adalah bagaimana mentalitas dan kompetensi guru-guru Indonesia yang terdidik pada abad 20 harus menyiapkan generasi masa depan dengan kemampuan abad 21. Selanjutnya bagaimana berbagai program futuralistik tersebut bisa bersinergi dengan stakeholder lainnya baik di level nasional maupun hingga ke daerah-daerah. Karena problem klise sistem di negeri ini kehebatan program dan SDM di satu sektor belum mampu terkoneksi dengan baik dengan program dan SDM di sektor lainnya yang terkait. (*)