SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

April 18, 2017

MEMBERDAYAKAN MADING SEKOLAH

Keberadaan Majalah Dinding (Mading) di sekolah sudah tidak asing lagi bagi para pelajar. Hampir di setiap sekolah, mulai setingkat SMA/SMK, SMP bahkan sebagian di sekolah dasar bisa ditemui media pendidikan ini. Namun secara kualitas kondisi Mading sebagian besar masih belum dikelola dengan baik. Dilihat dari periode penerbitan, materi dan tata perwajahan (layout) yang disajikan hingga kepengurusan masih berjalan apa adanya. Tidak jarang media Mading hanya ditemui tempelan poster, famplet publikasi dari pihak luar sekolah.

Potret buram Mading tersebut tidak lepas dari beberapa faktor yang menyebabkannya. Pertama, selama ini Mading selalu dipahami sebagai media pengembangan kreatifitas siswa sehingga tidak termasuk kegiatan ekstrakulikuler. Kedua, Mading selalu dikaitan dengan media publikasi berkaitan dengan pelajaran bahasa, khususnya Bahasa Indonesia. Maka tidak heran jika kemudian bahan bacaan Mading selalu berhubungan dengan bahasa sehingga rubriknya tidak variatif, berkembang dan menjenuhkan. Tulisan cerita pendek dan puisi adalah dua rubrik yang selalu muncul.

Ketiga adalah faktor keterbatasan dana sekolah untuk kegiatan Mading. Guru pembina dan pengurus Mading cukup kesulitan dalam pengadaan bahan-bahan seperti alat tulis, kertas dan perlengkapan lainnya. Apalagi jika sampai memanfaatan teknologi internet sebagai sumber informasi bagi Mading. Kondisi ini tidak saja dialami oleh ”sekolah miskin” tetapi juga sekolah yang berlimpah dana, karena kesalahan persepsi terhadap urgensi Mading di sekolah.

Padahal keberdaan Mading cukup strategis dalam mendukung pembelajaran di sekolah, jika dikelola dengan baik. Mading tidak saja sebagai media pengembangan diri siswa dalam mengeksplorasi kreatifitasnya dalam dunia tulis menulis. Lebih dari itu Mading bisa mencerdaskan bagi siswa, baik sebagai anggota maupun sebagai pembaca. Karena materi bacaan Mading menyuguhkan banyak informasi.

Terlebih dalam kurikulum 2004, siswa diberikan kebebasan berfikir dan berktualisasi dalam mencerdaskan dirinya. Sejak itu sumber pembelajaran tidak berpaku pada guru dan buku, tetapi juga media lainnya seperti internet, radio, lingkungan, masyarakat, media massa, termasuk Mading. Pendekatan yang dikembangkan adalah contextual teaching learning (CTL) dan penilaian proses seperti penilaian kelas dan portofolio.

TERBENTUR KENDALA

Potret buram Mading karena ada kendala yang menghambat manajemen optimalisasi Mading. Kendala utama yang membentur berkembangnya adalah kurang perhatian semua pihak warga sekolah. Ada asumsi yang keliru bahwa Mading tidak perlu dilembagakan dalam bentuk khusus kegiatan ekstrakulikuler (ekskul), karena hanya media kreatifitas siswa dalam coretan yang tidak terarah.

Asumsi itu berdampak pada kebijakan sekolah, sehingga Mading tidak perlu dana, apalagi harus menyediakan guru pembina dan “kantor redaksi”. Struktur Mading cukup dibawah pengurus OSIS berikut guru pembinanya. Hal ini menyulitkan inovasi penerbitan setiap edisinya yang disuguhkan kepada pembaca sekolah. Tampilan Mading pun menjadi sesuatu yang tidak penting bahkan membosankan bagi warga sekolah.

Kendala lainnya adalah keterbatasan kemampuan dan atau pengetahuan warga sekolah tentang manajemen Mading. Pengetahuan dan kemampuan mereka dalam ilmu jurnalisme masih terbatas. Mereka hanya menyerahkan pembinaan Mading kepada guru Bahasa Indonesia, terkait kemampuan menulis. Namun sayangnya, tidak semua guru memiliki kepedulian terhadap Mading dan kemampuan jurnalisme.

Kemampuan siswa dalam dunia menulis jurnalistik, juga menjadi tantangan sendiri bagi pengembangan Mading. Ilmu jurnalisme hingga kini belum formalkan sebagai materi khusus dalam pembelajaran di sekolah. Sehingga ketika diminta menulis bahan Mading dengan gaya jurnalistik relatif kesulitan.

Sikap skeptisme itu berdampak buruk bagi kelangsungan hidup Mading. Padahal dalam sebuah lembaga pendidikan, pengembangan diri siswa juga ada aspek penalaran atau intelektual yang dilembagakan. Seperti dalam dunia kampus, selain unit kegiatan fisik, hiburan dan lainnya, juga dan unit kegiatan penalaran, seperti forum diskusi, penelitian, pers kampus dan lainnya. Semua unit berdiri sendiri dan memiliki pembina.

Demikian juga pada lembaga pendidikan setingkat sekolah, juga mengembangkan banyak sisi aspek pengembangan diri siswa. Selain adanya OSIS, Pramuka, PMR, olahraga, Rohis dan lainnya, juga perlu dikembangkan aspek penalaran seperti KIR (karya ilmiah remaja) dan jurnalistik (baca: Mading). Semuanya harus mendapat perhatian yang sama oleh sekolah, baik dari sisi dana maupun sarana kesekreariatan.

MEMBERDAYAKAN

Sebagai media pembelajaran, memberdayakan Mading sekolah butuh ketrampilan sendiri. Selain pemilihan materi yang disajikan harus beragam, juga bahasa yang dituangkan sebisa mungkin menggunakan bahasa jurnalisme: menarik, ekonomis dan obyektif. Dilihat peran dan fungsinya, Mading memiliki kesamaan dengan fungsi pers secara umum, yaitu sebagai media informasi, hiburan, pendidikan dan pengawasan.

Fungsi pers itu dikems dalam bentuk rubrik Mading setiap terbitannya. Tentu saja semua muatannya mengarah kepada segmentasi pembaca siswa dan remaja. Fungsi informasi dalam bentuk berita kegiatan sekolah, fungsi hiburan dalam bentuk puisi, cerpen dan sejenisnya, fungsi pendidikan dalam bentuk ilmu pengetahuan popular dan fungsi pengawasan dalam bentuk artikel opini, surat pembaca dan sejenisnya.

Fungsi itu bisa dibakukan dalam materi kurikulum jurnalistik sekolah oleh guru pembina kepada siswa dalam waktu kegiatan ekskul Mading. Pengembangan materi bisa tentang teknik jurnalistik seperti menulis berita, puisi, cerpen, karangan dan lainnya. Karya-karya siswa itu kemudian ditampilkan dalam Mading untuk dinikmati para pembaca. Bahan lainnya bisa diambil dari karya siswa hasil penugasan guru mata pelajaran.

Perangkat pendukung manajemen Mading seperti guru pembina, pengurus, anggota, dana dan sekretariatan wajib disiapkan. Terbitan Mading harus secara periode teratur, sehingga memudahkan tempo kerja. Warga sekolah yang mau menyumbangkan naskah/membaca tidak harus menunggu lama.

Perlunya kesekretariatan untuk memudahkan pengurus menyiapkan bahan terbitan dan pengayaan materi jurnalistik oleh guru pembina. Pembina tidak harus guru bahasa, jika tidak memiliki kepedulian dan kemampuan. Dengan adanya kantor redaksi, siswa yang mau menyumbangkan naskah pun tidak kesulitan mengirimnya. Menyangkut dana, selain dari sekolah dan iuran anggota, bisa juga dijajagi peluang iklan komersial.

Pendek kata, untuk mengelola Mading dengan baik diperlukan kerjasama semua pihak dan kemampuan khusus. Pembina dan pengurus Mading bisa menjalin hubungan baik dengan guru mata pelajaran lain guna pengumpulan bahan hasil tugas siswa. Jika demikian, maka Mading selain menjadi media kreatifitas juga menjadi sumber pembelajaran siswa. Semoga! (*)

*Penulis adalah mantan Pembina Mading D’Mofat SMP Negeri 4 Cirebon.