SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Maret 02, 2017

MELATIH INTUISI BISNIS SEJAK DINI

Dalam masyarakat negara maju, sektor bisnis menjadi profesi primadona. Profesi ini diyakini bisa menyulap kehidupan seseorang lebih cepat sejahtera dan makmur. Bahkan berefek signifikan terhadap perbaikan nasib banyak orang melalui penciptaan banyak lapangan pekerjaan dan membantu kemaj
uan ekonomi bangsa.

Namun di Indonesia, menjadi seorang entrepreneur (wirausaha) bukan pilihan utama. Jika bisa memilih menjadi pegawai atau karyawan, akan lebih baik dan aman daripada menjadi bisnismen. Menjadi pegawai merupakan zona aman beresiko kecil ketimbang bekerja sebagai pengusaha yang penuh resiko dan ketidakpastian.

Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Bahlil Lahadalia Menurut mengatakan, saat ini Indonesia baru memiliki 1,5 persen pengusaha dari sekitar 252 juta penduduk Tanah Air. Indonesia masih membutuhkan sekitar 1,7 juta pengusaha untuk mencapai angka dua persen. Sedangkan di negara Asean seperti Singapura tercatat sebanyak 7 persen, Malaysia 5 persen, Thailand 4,5persen, dan Vietnam 3,3persen jumlah pengusahanya.


Sementara itu Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia membutuhkan 5,8 juta pengusaha muda baru apabila ingin memenangkan kompetisi di era pasar tunggal Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Menurutnya jumlah pengusaha yang ada saat ini jumlahnya baru mencapai 1,56 persen padahal standari bank dunia menyaratkan 4 persen.

Tentu untuk mencapai jumlah angka pengusaha tersebut tidaklah mudah. Terlebih budaya bangsa Indonesia dari turun temurun mendidik anak-anaknya bermental pegawai, bekerja kepada orang lain. Diperkokoh lagi budaya birokrasi tersebut melalui sistem sosial dan sistem pendidikan di negeri ini. Coba cek saja anak muda sekarang jika ditanya setelah lulus sekolah atau kuliah hendak kemana? Jawabnya rata-rata akan melamar pekerjaan kesana kemari.

Menjadi pengusaha memang butuh ilmunya. Tetapi tak cukup hanya dengan belajar ilmu dagang (baca: ilmu ekonomi). Perlu penumbuhan jiwa wirausaha sejak kecil. Jika hanya penguasaan ilmu ekonomi, kayaknya sarjana ekonomi banyak yang lebih jago. Tapi toh jika disuruh berjualan, membuat usaha pasti mereka banyak yang gagap, memilih tidak mau.

Disinilah sering ada sindiran. Mengapa mahasiswa kedokteran lulus dia jadi dokter, tetapi mahasiswa ekonomi lulus dia belum tentu jadi pengusaha? Jawabnya karena mahasiswa kedokteran diajar oleh para dokter. Sedangkan mahasiswa ekonomi tidak diajar oleh pengusaha, tetapi oleh akademisi.

Penumbuhan jiwa wirausaha itu penting dilakukan sejak dini. Karena ini persoalan kemampuan dan ketrampilan yang membutuhkan latihan, trial and error. Melatih membaca peluang, mengambil keputusan cepat, menghitung resiko, melakukan negosiasi. Jika sejak dini sudah dilatih berdagang, kayaknya tak perlu menghabiskan waktu mudanya untuk belajar ilmu ekonomi dibangku sekolah kuliah. Seperti yang dialami pengusaha abah Bob Sadino (alm) atau eyang Dahlan Iskan, bos media Jawa Pos group.

INTUISI BISNIS
Bagaimana melatih intuisi bisnis sejak dini?  Kemampuan seseorang memahami bisnis tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Lihat dan tirulah pola tingkah siswa SMP Negeri 4 Kota Cirebon. Sekitar 500 siswa kelas VII dalam satu bulan Februari mereka sibuk berjualan di sekolahnya yang berpenduduk siswanya sebanyak 1500 jiwa. Hampir setiap hari secara berkelompok siswa menjajakan barang dagangannya dari kelas ke kelas, dari siswa ke siswa bahkan kepada para guru.

Episode jual beli ini merupakan bagian dari skenario pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) d
i sekola
h tersebut. Dalam Bab 3 Aktivitas Manusia dalam Memenuhi Kebutuhan tertera ada kegiatan pokok ekonomi. Kegiatan itu meliputi produksi, distribusi dan konsumsi. Sebuah kegiatan ekonomi yang selalu ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk ekonomi.

Pada kegiatan transaksi jual beli terangkum berbagai konsep ilmu ekonomi. Ada pengetahuan tentang proses produksi, distribusi dan konsumsi. Ada teori tentang penawaran dan permintaan serta memahami pasar. Pentingnya skill kewirausahaan dan kreatifitas serta memahami motif dan prinsip ekonomi.

Dalam bab produksi, siswa diajarkan faktor-faktor yang harus diperhatikan sebelum mereka meciptakan produk barang atau jasa. Faktor-faktor itu misalnya ketersediaan bahan baku, kekuatan modal, tenaga produksi dan kemampuan bisnis (entrepreneurship). Sebuah produk punya daya saing, harus memiliki nilai jual. Apakah nilai guna bentuk, nilai guna waktu, nilai guna tempat, atau nilai guna kepemilikan.

Tetapkan sedari awal untuk siapa produk itu diperuntukan. Ini penting karena membuat usaha itu harus untung, produk harus bisa terjual. Produk yang dibuat namun tak bisa dijual maka ia akan menjadi sampah. Dengan memahami sasaran pembeli (segmentasi) maka kita akan tahu perilaku konsumen, baik seleranya, pendapatannya, kemampuan daya beli dan daya saing produk sejenis. Disinilah akan menentukan penawaran dan permintaan konsumen.

Para siswa kelas awal perlahan belajar konsep tersebut. Mereka ditugaskan untuk membuat atau membeli produk dari pihak pertama kemudian menjualnya. Sasaran pembeli adalah siswa sehingga mereka harus melihat daya beli dari uang saku yang diberi orang tua siswa setiap hari. Rata-rata uang jajan siswa kisaran 5000-20.000 per hari.

Lalu barang apa yang biasa mereka beli saat jam istirahat tiba? Pertimbangan tersebut harus diperhitungkan oleh para siswa yang akan berjualan secara berkelompok. Sebelumnya mereka harus membuat konsep perencanaan usaha (bisnis plan). Poin di dalamnya adalah jenis dan nama produknya apa, bahan baku apa saja, modal yang dibutuhkan, tenaga kerja yang diperlukan, sasaran pembeli, keunggulan produk, menentukan harga dasar dan harga jual, cara promosi dan penjualan, target keuntungan dan seterusnya.

Bisnis plan tersebut kemudian dipresentasikan di depan kelas. Mereka harus dibiasakan berfikir terstruktur dan sistematis sehingga kegiatannya terukur. Kegiatan dagang dalam pembelajaran tersebut mereka lakukan dalam jam istirahat. Menawarkan ke teman satu kelasnya atau keliling dari kelas satu ke kelas lainnya. Aksi dan gaya mereka menarik dan lucu dalam menjajakan barag dagangannya. Hasilnya, banyak yang untung tetapi ada juga yang rugi.

Mereka yang untung berjualan ternyata tidak kapok untuk berjualan. Keesokan harinya, dalam kelompok yang sama mereka berjualan lagi. Bahkan beberapa siswa, karena desakan ekonomi keluarga akhirnya berjualan keliling di sekolah menjadi bagian sisi lain dari kegiatan dia belajar di sekolah. Walau kemudian ini menjadi masalah baru bagi sekolah. Lebih tepatnya masalah bagi pedagang kantin di sekolah. Mereka mengaku pendapatannya menurun karena beberapa siswa berjualan keliling di kelas-kelas. (*)