SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Desember 14, 2015

BUKU DIARY PENENTU NASIB

*KEGALAUAN BUNYI TELEPON
Hari mulai beranjak siang. Jarum jam menunjukkan angka sepuluh. Aku masih merasa galau merenungkan nasib hidupku ditengah pilihan yang sulit. “Den, selamat yah. Kamu diterima menjadi PNS.” Kata-kata itu belum hilang dalam ingatanku, setelah sekretaris redaksi surat kabar tempat kerja ku menelpon kala aku menikmati hari libur kerja. Menurut Leni, sekretaris redaksi itu nama ku tercantum dalam iklan pengumuman hasil seleksi CPNS di kota Cirebon yang terpasang besar di surat kabar tempat aku bekerja pada 25 Januari 2005.

Ketakutanku akhirnya terjadi. Ketakutan yang sudah menghantui pikiran ini sejak mendaftar lowongan guru PNS di kota udang tersebut. “Duh gimana yah kalau nanti aku lulus tes. Padahal aku sudah betah dan nyaman di tempat kerjaku sekarang,” pikirku membatin saat menemani istri untuk mendaftar formasi guru agama di kota yang sama. Aku mendaftar formasi guru sosiologi, ilmu sesuai jurusan yang aku ambil saat kuliah S-1 di kampus Fisip Unsoed Purwokerto.

Selama berhari-hari aku abaikan jadwal pembekasan registrasi CPNS. Hari-hari ku habiskan untuk mencari nasehat, jawaban dan solusi atas kegalauanku: pilih PNS atau tetap menjadi wartawan. Teman kerja, teman main, teman kuliah, hingga konsultan perencanaan keuangan Safir Sanduk dimintai pendapatnya. Bahkan beberapa pejabat daerah pun yang aku kenal selama menjadi wartawan tempat dicurhati dilema masalah ku ini.

Belum ada jawaban yang memuaskan yang aku harapkan, termasuk saran dari konsultan keuangan Safir Sanduk. Keberadaan Tuhan dan pendapat keluarga pun sempat aku abaikan. “Tuhan itu jalan terakhir, kalau akal ini masih bisa mencari solusi,” ujar ku kepada beberapa kawan yang sering menyarankan untuk melakukan sholat istikharah. Keluarga menyerahkan pilihan masa depan pekerjaan itu terserah kepada keputusan ku.  

*BERMULA DARI KEBIASAAN ISENG
Kebimbangan menentukan jalan hidup ku bermula dari kebiasaan iseng ku yang sudah ada sejak diduduk di bangku SMA. Ketika pihak sekolah mengumumkan penerimaan calon mahasiswa baru dari kampus Unsoed Purwokerto. Pada awalnya aku tidak tertarik dengan informasi itu, karena sejak kecil aku tidak punya mimpi untuk kuliah apalagi menjadi guru. Alasannya aku adalah anak kelima dari delapan saudara. Saat itu ayah ku mendekati masa pensiun sebagai karyawan Pabrik Gula Karangsuwung. Dengan jumlah anak yang banyak, dengan gaji pensiun yang kecil rasanya tidak mungkin untuk kuliah. Empat kakak ku setelah lulus SMA memilih untuk bekerja di pabrik.     

Semasa di SMA aku tetap belajar umumnya anak-anak kampung. Pagi sekolah, siang tidur, sore bermain, malam nonton televisi. Jam belajar hanya dilakukan pada saat ada tugas pekerjaan rumah atau jika besok ada ulangan. Itu pun belajar secara diam-diam untuk menghindari omelan orangtua karena melihat anaknya tidak belajar. Kesadaran belajar mulai tumbuh saat aku naik ke kelas tiga. Ada kecemasan setelah lulus SMA hendak bekerja kemana. Cita-cita sejak kecil ingin menjadi TNI AD dikubur dalam-dalam melihat gigi ku sudah banyak berlubang. Membayangkan menjadi tenaga kerja di luar negeri pun pupus di jalan. Keinginan kuliah perlahan mulai dating seiring kesibukan ku di organisasi siswa di kelas tiga.

“Den itu ada pendaftaran kuliah di Unsoed jalur PMDK, kamu ga daftar,” ujar Edi Jaudi, guru ekonomi ku di SMA Muhammadiyah Lemahabang Kab. Cirebon saat aku masuk ke ruang kantor guru. 

“Emang pendaftaran gimana Pak,” Tanya ku balik kebingungan sekaligus kaget ditawari kuliah oleh guru. Padahal selama ini aku bukan termasuk siswa yang dicalonkan untuk mendaftar oleh pihak sekolah.
Menurut guru ku tersebut, pendaftaran jalur PMDK tersebut adalah bagi siswa yang punya prestasi baik bidang akademik maupun non akademik.

“Tapi kamu ada nilai lima gak saat kelas satu,” sambung guru yang memiliki jenggot tipis ini tersenyum. Aku pun berkerut dahi sambil mengingat kembali deretan nilai pelajaran saat duduk dikelas satu SMA. Pak Edi mulai melihat keraguan ku karena tahu pada saat kelas satu aku pernah diberi nilai lima untuk pelajaran matematika. Menurut guru ku syarat nilai untuk mendaftar kuliah jalur PMDK tidak memiliki nilai mati saat kelas satu. Namun guru yang satu ini memberikan motivasi kepada ku untuk tetap mencoba daftar.

 “Tapi lebih baik kamu mencoba daftar saja daripada tidak sama sekali. Kalau orang daftar, jawabannya ada dua : diterima atau ditolak. Tapi kalau orang gak daftar jawabannya pasti satu,  ya tidak diterima,” ungkap Pak Edi serius memberikan nasehat kepada ku.

Berbekal nasehat itu aku mulai tergerak menyiapkan segala persyaratan pendaftaran kuliah di jurusan Sosiologi. Satu demi satu persyaratan itu aku kumpulkan tanpa sepengetahuan orangtua. Aku sadar orangtua ku pasti tidak akan setuju jika anak kelimanya ini memilih kuliah. Uang pendaftaran kuliah diam-diam aku minta dari kakak pertama ku di Bandung. Hingga akhirnya saat pengumuman hasil seleksi orangtua ku tidak bisa menolak untuk tidak kuliah.

Selama kuliah aku habiskan waktu ku untuk belajar, belajar dan belajar. Belajar di bangku ruang kuliah, belajar di perpustakaan, melalui berbagai kegiatan ilmiah dan pelatihan, belajar mengikuti berbagai organisasi di dalam dan luar kampus. Termasuk belajar berdagang di lingkungan kampus. Aku teringat pendapat seorang pakar pendidikan, semakin seseorang banyak menguasai ilmu dan keterampilan, maka ia semakin siap menghadapi hidup ini. Sebagai aktivis kampus, aku terpaksa harus memiliki buku agenda kerja untuk menyusun rencana kegiatan. Di dalam buku diary kerja tersebut beberapa mimpi masa depan ku sesekali aku tulis.

Boleh dibilang aku seperti kesurupan mengikuti berbagai kegiatan ilmiah. Mulai kegiatan pelatihan akademik seperti pelatihan metodologi penelitian, pelatihan internet, workshop pembangunan desa, kursus program computer Microsoft office hingga pelatihan diluar akademik antara lain pelatihan zakat, kewirausahaan bisnis, manajemen mini market, pelatihan fotografer, kewartawanan. Belum lagi beragam organisasi yang aku ikuti, baik organisasi intra kampus seperti Unit Kerohanian Islam, Unit Penelitian Mahasiswa, Senat Mahasiswa hingga organisasi mahasiswa ekstra kampus. Semua itu aku lakukan untuk mengejar ketertinggalan ilmu yang belum sempat aku serap pada saat sekolah di SMA, di SMP, lebih-lebih pada saat belajar di SD. Prestasi belajar selama di SD boleh dibilang hampir paling buncit ranking hasil belajar ku.

Pada tanggal 1 April 2000 aku resmi di wisuda sebagai sarjana ilmu social dengan gelar akademik S.Sos. Di hari yang bersejarah itu aku merasakan tidak ada yang istimewa selain berganti pakaian toga dan mendengarkan pidato pejabat kampus serta pengalungan medali wisuda. Aku bersama keluarga yang datang terlambat namun pulang lebih awal saat menghadiri wisuda. Kecemasan pikiran ku saat itu satu : mau kerja apa setelah wisuda nanti.

*BELAJAR MENJADI GURU
Setelah merasa gagal mencoba keberuntungan mencari pekerjaan di Purwokerto, aku memilih pulang kampung di Sindanglaut Kabupaten Cirebon. Semula aku berusaha bisa bekerja di kota mendoan tersebut. Selain sudah betah dengan kultur masyarakat dan alam disana, aku juga mulai menyukai seorang gadis Purwokerto. Ia adalah mahasiswa kampus Stain Purwokerto, yang sering berjumpa saat kegiatan organisasi mahasiswa Islam ekstra kampus. Berbagai lowongan kerja di sana aku masuki. Mulai melamar bekerja sebagai karyawan supermarket hingga karyawan rendahan sebuah apotek disana. Keberuntungan melamar menjadi guru di sekolah disana pun kandas dilakukan.

Berbekal ijazah sarjana sosiologi aku diberikan kesempatan untuk mengajar di sekolah almamaterku. Sekalipun aku bukan sarjana pendidikan, namun aku merasa yakin bisa menjalankan tugas sebagai guru sosiologi dengan baik. Selain nilai ijazah ku sangat memuaskan, kemampuan bicara di depan orang banyak sudah menjadi kebiasaan ku pada masa organisasi kuliah dulu. Apalagi aku mengajar berada di lingkungan yang sudah tidak asing, bersama guru-guru aku pada saat menjadi siswa sehingga tidak sulit menjalani proses adaptasi.

Namun menjalani proses awal sebagai guru aku sedikit tersinggung dengan ucapan kepala sekolah setempat, Bapak Drs Abdul Halim.  “Menjadi guru tidak cukup dengan bermodal nilai IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang besar. Tetapi yang lebih penting bagaimana guru itu mampu mengemas ilmu yang diajarkan sehingga mudah dipahami dan dipraktekkan oleh anak didik,” tuturnya kepada ku saat pertama menjalani program supervisi guru di kelas. Pikir aku ada yang salah dan cenderung melecehkan ucapan kepala sekolah tersebut. Menurut ku tidak ada yang salah apa yang aku sampaikan selama menjadi guru sosiologi di sekolah yang ia pimpinnya. Apalagi selama aku menjadi siswanya Abdul Halim dan juga guru-guru lainnya melakukan pengajaran yang sama.

Satu bulan setelah menjadi guru aku sering dapat saran dari kawan-kawan guru disana. Saran mereka jika aku ingin menjadi guru hendaknya harus memiliki SIM, surat ijin mengajar---denngan mengantongi ijazah akta IV. Lagi-lagi aku iseng mencoba untuk kuliah akta IV yang hanya memakan waktu satu tahun di Universitas Terbuka (UT). Pilihan kampus ini karena kegiatan belajarnya tidak mengganggu jam mengajar di sekolah hingga akhirnya aku dapat ijazah akta IV walaupun dengan susah payah.

Sehari dua hari, minggu berganti bulan, menjalani profesi guru mulai terasa tidak nyaman. Menghadapi siswa swasta yang rata-rata memiliki keterbatasan. Keterbatasan motivasi belajar, keterbatasan IQ, spiritual dan keterbatasan finansial namun kelebihan energy fisik berpotensi pada tindak kekerasan, baik verbal maupun non verbal. Disinilah aku merasa perlu metode jitu dalam menyampaikan materi mata pelajaran.  Perlu cara khusus menghadapi kenakalan siswa. Harus tahu cara bagaimana membakar semangat belajar siswa malas agar tetap jos.  Dibutuhkan kesabaran ekstra dalam menyelesaikan berbagai kasus. Harus pandai bersyukur dengan gaji yang kecil.  Dalam sebulan aku menerima gaji mengajar di dua sekolah, SMP dan SMA Muhammadiyah Lemahabang sekitar Rp. 150.000 (seratus lima puluh ribu)

Gaji yang kecil tersebut terpaksa habis, atau kehabisan hanya untuk uang transport pulang pergi dari rumah ke sekolah. Malahan seringkali pinjam ke orangtua hanya untuk menyambung biaya ongkos angkutan umum. Belum lagi aku harus bolak balik ke Purwokerto menengok pujaan hati sehingga gaji segitu tidak membekas kecuali hutang. Sementara makan dan minum aku masih numpang ke orangtua.

Dengan keterbatasan yang ada aku terus mencoba bertahan menjalani profesi sebagai guru swasta. Sekalipun harus ekstra sabar menghadapi siswa yang nakal-nakal, juga bodoh dan miskin. Bodoh karena setiap ulangan yang diberikan selalu nilainya kecil-kecil. Siswa yang hobinya tawuran, suka nongkrong di warung dan di jalan daripada harus belajar di kelas. Kalaupun mereka masuk kelas, tetapi memilih ngobrol atau malah tidur. Omongan jorok, kotor dan kekerasan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi guru swasta dimana tempat aku kerja. Pernah juga terjadi ada kawan guru yang dikeroyok oleh keluarga siswa gara-gara guru tersebut menghukum siswa karena melanggar aturan sekolah. Anehnya pihak sekolah tidak mampu melindungi guru tersebut hingga babak belur.

*ALIH PROFESI WARTAWAN
Hari sudah makin sore. Namun aku masih asik berada di lapak Koran di pasar Lemahabang. Kegiatan itu aku selalu lakukan saat tidak ada acara usai mengajar di sekolah. Selain mengikuti perkembangan berita, aku juga mencari beragam lowongan kerjaan yang baik untuk masa depan aku kelak. Hingga beberapa bulan menjadi guru, aku masih belum menikmati profesi mulia tersebut. Banyak alasan yang menjadi beban pikiran dan moral aku jika aku tetap menjadi guru. Ijazah sarjana ku yang bukan pendidikan, salah satu alasan mengapa aku mencari pekerjaan yang sesuai dengan latarbelakang pendidikan ku. “Sungguh dzolim kalau aku tetap jadi guru karena aku bukan sarjana pendidikan,” gumamku saat itu.

Masalah siswa merupakan hal yang ikut mendorong larinya aku dari dunia guru. Masalah tawuran, kekerasan dan pergaulan siswa yang kian tak terkontrol. Masalah daya serap belajar anak swasta yang begitu lambat sehingga akan semakin banyak siswa yang tidak lulus ujian nasional kelak. Alasan gaji kecil turut memantapkan hati ini berpindah pekerjaan. “Aku ini sarjana loh, masa Cuma dapat gaji segini. Jangankan untuk makan dan minum sebulan. Untuk ongkos ke sekolah saja masih kurang. Aku harus bekerja di tempat lain dengan gaji lebih baik. Aku kan punya potensi besar untuk berkembang,” ujar batinku bernada protes. 

Jelang sore tiba aku masih asyik nongkrok di lapak Koran. Mendadak perhatian mata ku tertarik dengan iklan lowongan kerja di sebuah surat kabar lokal. Perusahaan Surat kabar Radar Cirebon (group Jawa Pos) membutuhkan beberapa posisi pekerjaan, satu diantaranya adalah sebagai reporter. Membaca iklan tersebut, sifat dasar aku yang suka iseng muncul. Selang beberapa hari setelah persyaratan administrasi yang dibutuhkan aku putuskan mengirim lamaran tersebut melalui Pos. Keputusan ini dilandasi rasa percaya diri karena dulu aku pernah mengikuti pelatihan jurnalistik di kampus. Aku juga kadang menulis kolom artikel surat kabar kala itu.

Pengalaman ku berorganisasi menambah kekuatan mental ku berhadapan banyak orang sekaligus beragam masalahnya. Belum lagi dukungan beberapa kawan guru yang menilai jika aku punya bakat dalam dunia jurnalistik. Rasa ragu masih tersisa. Informasi mereka yang pernah bekerja di Koran local konon gajinya kecil. Namun rasa was-was menjadi guru menguatkan tekad ku untuk pindah profesi sekalipun menjadi guru baru enam bulan. Paling tidak aku perlu membuktikan kepada pihak manajemen Radar Cirebon jika aku mampu dan bagus kinerjanya, sehingga gaji pun akan menyesuaikan.

“Kenapa harus keluar menjadi guru mas, kan tanggung belum satu tahun mengajar. Apalagi mas deny ini bapak lihat punya bakat menjadi guru,” ungkap Herman Abdullah, kepala sekolah dimana aku mengajar. Memang saat aku mengirimkan lamaran reporter, pihak sekolah tidak tahu. Menanggapi hal tersebut aku hanya mengatakan, bahwa kesempatan itu datang tidak dua kali sehingga pihak sekolah pun tidak bisa menolak keinginan aku.

Menjalani profesi baru sebagai wartawan memang gampang-gampang susah. Apalagi dua dunia yang berbeda antara dunia pendidikan sekolah dengan dunia wartawan. Namun sifat dasar aku yang tidak pernah berhenti belajar maka keilmuan dan keahlian kemampuan jurnalistik ku perlahan kian matang. Banyak hal aku belajar selama menjadi wartawan. Belajar tentang dunia real kehidupan. Mengenal banyak karakter orang, mempelajari beragam masalah yang muncul, belajar macam-macam ilmu, pengetahuan dan keterampilan. Karena selama di wartawan aku sering dirotasi ke bagian lain. Mulai wartawan pedesaan, wartawan pemda, wartawan kriminal, olahraga, ekonomi dan bisnis. Sekalipun kesibukan ku padat saat menjadi jurnalis, berangkat pagi pulang malam bahkan kadang jarang libur, serta menghadapi berbagai masalah dan ancaman, namun lima tahun menjadi wartawan aku begitu menikmatinya. 

*JALANI TAKDIR TUHAN
Mentari pagi dipenghujung tahun 2004, Koran tempat ku bekerja memuat lowongan CPNS Pemda Kota Cirebon. Sederet formasi pegawai diperlukan untuk mengisi kekosongan posisi. Satu diantaranya dibutuhkan tenaga guru Pendidikan Agama Islam dan guru IPS tingkat SMP. Istriku merasa tertarik untuk mencoba kesempatan langka tersebut, sekalipun mengikuti seleksi CPNS bukan hal yang pertama. Nah kali ini istriku yang lulusan IAIN Purwokerto jurusan PAI bersemangat untuk mencoba lagi, dengan harapan aku juga bisa ikut seleksi tersebut. Pada pembukaan seleksi tahun itu pemda kota untuk pertama kalinya mencari guru IPS dengan latar belakang jurusan sosiologi. Terdengarnya terasa aneh memang, karena jurusan sosiologi tidak ada bergelar sarjana pendidikan, sehingga harus mengantongi aktva IV mengajar. Apalagi kali ini untuk formasi guru IPS SMP, karena biasanya mata pelajaran sosiologi itu bisa dijumpai di tingkat SMA. 

Waktu terus bergerak. Detik-detik pelaksanaan seleksi CPNS pun kian dekat. Ada kegalauan yang terus menghantui pikiran ku. Aku putuskan untuk mendaftar seleksi CPNS tersebut. Harapannya sambil belajar dan ujian bersama dengan istri. Siapa tahu seleksi kali ini memberikan keberuntungan buat istriku. Aku sendiri mencoba hanya untuk menemani istri. Perasaan batin ku terus bergejolak, “Duh gimana kalau nanti aku lulus seleksi yah. Padahal aku sudah mendapat pekerjaan yang layak dan bagus untuk masa depan ku. Punya dana tabungan pensiun, dapat asuransi kesehatan, gaji yang bagus, belum lagi tunjangan lain yang besar seperti sharing profit perusahaan,” pikir ku.

Konflik batin ku kian memuncak saat aku dan istriku berpisah tempat ujian pada Desember 2004 itu. Lokasi tes ku bertempat di STM Negeri Kota Cirebon, sementara istri tidak jauh berada di SMA Negeri 7 Kota Cirebon. Niatan yang tidak lurus dan serius mengikuti ujian membuat aku tanpa beban mengerjakan soal-soal ujian. Saat ujian sempat ijin keluar untuk mencari sarapan pagi yang belum sempat aku lakukan seperti biasanya. Bahkan soal-soal bahasa Inggris tidak aku kerjakan karena waktunya tidak memungkinkan disebabkan kinerja pengawas ujian yang tidak cermat dalam membagi waktu ujian.

Selesai ujian selesai juga masalah batinku. Aku kembali ke aktifitas sebagai wartawan Koran local. Hingga aku pada awal tahun 2005 di telepon oleh sekretaris redaksi ku Mba Leni. Gadis asal Jawa Tengah ini memberi tahu jika nama aku ada di deretan peserta yang lulus seleksi CPNS di Kota Cirebon. Panitia seleksi mengumumkan secara terbuka dan tertulis di halaman iklan Koran tempat ku bekerja.  Mendengar kabar itu tidak membuat aku kegirangan bahagia, malah menjadi beban batin ku yang selama ini aku takutkan sehingga aku hampir tertinggal melakukan registrasi CPNS kepada panitia. 

Pada tanggal 1 Maret 2005 aku mulai menjadi guru CPNS mata pelajaran IPS di SMP Negeri 4 Kota Cirebon. Sebuah sekolah yang tidak tahu dimana lokasinya. Kedengarannya memang lucu dan aneh tetapi itulah kenyataannya. Sekolah dipusat kota namun aku tidak mengetahuinya, membuat reputasiku sebagai wartawan yang sering hunting ditertawakan oleh pejabat Dinas Pendidikan saat pembagian SK Tugas Mengajar. Ternyata sekolah tersebut terletak di Jalan Pemuda No. 16, sekitar 1 kilometer dari kantor Dinas Pendidikan Kota Cirebon.

Hari-hari pertama ku menjalani sebagai guru tidak ada yang istimewa dan hebat. Aku datang ke sekolah dengan pakaian rapih berkemeja panjang menunggu di ruang guru. Banyak guru melihat aku agak berbeda. Mereka berfikir aku ini adalah sales penjual barang. Maklumlah ruang guru belakangan aku tahu sering sekali ada orang silih berganti menjajakan barang dagangannya. Semester pertama ku mengajar aku baru mengajar Bahasa Cirebon, sebuah bahasa ibu tapi sulit aku kuasai karena berbeda dengan bahasa sehari-hari. Mengapa bukan IPS? Alasan wakasek kurikulum karena jadwal mengajar sudah berjalan awal Januari, sementara aku mulai masuk bertugas per 1 Maret 2005.

Jejak pengalaman ku yang sering ikut organisasi dan berbagai kegiatan serta pelatihan membuat aku diberikan tugas tambahan sebagai guru Pembina jurnalistik sekolah. Pada periode berikutnya sering diminta menjadi panitia dalam berbagai kegiatan sekolah. Kemampuan ku dalam bidang fotografi, menulis, internet, audio dan video membawa aku dipercaya sebagai wakil kepala sekolah bidang Humas. Aku merasakan sebagai guru memang haru memiliki kemampuan yang multi talenta, serba bisa. 

Menjalani profesi guru pada bulan-bulan awal bertugas belum membuat aku happy. Jiwa dan raga ku masih terpisah, antara kantor lama ku dengan sekolah. Terlebih pada masa awal aku masih merangkap profesi, jika pagi menjadi guru kalau malam bekerja di Koran Radar Cirebon. Mudahnya pembagian waktu bekerja aku karena di Koran bertugas melakukan pengeditan naskah berita wartawan sebelum di layout dan naik cetak. Sayang situasi tersebut tidak berlangsung lama. Pihak pimpinan redaksi akhirnya meminta agar aku bisa memilih, antara Koran dan guru. Bos Yanto S Utomo berharap aku bisa melanjutkan karirnya menjadi guru karena lebih menjamin masa depan. 

“Jika kamu tidak ambil tuh PNS, maka kamu akan melukai perasaan banyak orang, karena mereka berharap lulus tes tapi kamu sudah lulus malah tidak diambil,” pesan bos Koran kepada aku yang masih galau. 

Ditengah kegalauan tersebut aku tetap mencoba mencintai pekerjaan ku yang baru, sebagai guru IPS SMP. Baru suasananya, baru jam kerjanya, baru menghadapi suasana kerjanya, baru sistem gaji dan karirnya dan baru baru segalanya. Sebagai mantan wartawan, idealisme ku masih membara. Berbagai realita sekolah selalu aku kritisi, termasuk kebijakan kepala sekolah yang tidak sejalan dengan peraturan yang ada. Forum Tanya jawab yang dibuka saat rapat tidak pernah aku lewatkan untuk bicara. Aspirasi guru-guru aku galang dalam kekuatan satu untuk melawan kedzoliman kepala sekolah.  Sikap kritis ini membuat aku diisolasi oleh kepala sekolah. Tidak pernah dikasih jabatan wali kelas atau pun kepanitiaan, selain hanya mengajar, mengajar dan mengajar. 

Berbagai arsip dokumen pergerakan masa kuliah aku mulai cari sebagai bahan referensi melakukan gerakan guru melawan kepala sekolah. Tumpukan dokumen di berbagai tempat dicoba terus dibongkar. Aku menemukan buku diary kegiatan ku semasa aktif di organisasi kuliah dulu. Tatapan mata ku terpana, denyut jantungku bergerak lebih cepat, tubuh ku mulai bergetar dan tanpa terasa mata ku mulai keluar air. “Subhanullah…. Ternyata Allah mendengar doa ku dan mengabulkannya,” tutur ku lirih sambil menahan air mata jatuh ke pipi.

Aku mulai sadar jika keinginan menjadi PNS adalah cita-cita lama ku. Saat kuliah aku menuliskan dalam buku diary kecil ku program rencana hidup masa depan pasca kuliah. Tercatat pada tahun 2000-an aku akan menjadi seorang PNS. Sebuah rencana yang lama terkubur bersama tumpukan dokumen kuliah di lemari rumah. Sejak itulah aku memantapkan diri menjadi seorang guru PNS. Mulai focus pengembangan diri di bidang pendidikan. Maka setiap kali ada kawan yang bertanya alasan aku memilih menjadi guru PNS dan meninggalkan pekerjaan lama, aku menjawabnya, jika ku hidup ini hanya menjalani takdir. Yah menjalani takdir yang sudah aku rencanakan lama dan dikabulkan oleh Tuhan. Sekalipun aku adalah sarjana yang tersesat d jalan yang benar. Bukan sarjana pendidikan namun bekerja sebagai guru. (*) 

*) True Story ini pernah dilombakan tentang Lomba Menulis Kisah Nyata tentang Guru yang diselenggarakan oleh Az-Zahra 25 Nopember 2015 (http://www.az-zahra-online.com/2015/10/lomba-menulis-kisah-nyata-tentang-guru.html)