SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Agustus 26, 2013

HAK-HAK GURU DIKEBIRI

Oleh : 
Deny Rochman, S.Sos.,M.Pd

Guru professional. Demikian gelar hebat yang dialamatkan kepada guru-guru era baru dalam sistem pendidikan nasional era reformasi. Cirinya harus memenuhi empat kompetensi yaitu pedagogik, social, professional dan kepribadian. Melalui program sertifikasi, martabat guru dicoba untuk diangkat melalui pemberian tunjangan profesii. Sebuah kebijakan untuk memupus stigma guru kaum marginal secara ekonomi dan gelar pahlawan tanpa tanda jasa.

Program sertfikasi tentu membawa harapan baru bagi masa depan kualitas pendidikan negeri ini. Kendati dalam proses awal masih perlu banyak dibenahi dalam system sertifikasi tersebut. Sebagai tenaga professional, guru memiliki hak-hak dalam menjalankan tugasnya. Apa saja hak-hak guru tersebut dan bagaimana realisasi hak-hak guru setelah diberi penghargaan guru professional ?

Hak-hak guru secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008. Peraturan ini merupakan penjabaran Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Menyusul diberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003. Hak-hak guru penting untuk dikemukakan karena dalam proses sistem pendidikan, guru menjadi sub system yang sering dirugikan oleh kebijakan politik pendidikan.

Hak guru professional akan mendapatkan tunjangan profesi dari pemerintah. Tentu tunjangan ini memiliki system dan mekanisme tersendiri yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Tunjangan profesi ini dalam PP No. 74 Tahun 2008 disebut sebagai hak guru. Kendati dalam prosesnya untuk mendapatkan hak ini guru harus mengeluarkan keringat.

Pendataan calon guru sertifikasi, misalnya, guru-guru harus mencari informasi sendiri ke berbagai sumber seperti internet, Dinas Pendidikan di daerah bahkan hingga tingkat propinsi dan pusat. Bahkan untuk masuk pendataan tidak jarang guru terlibat adu argument dengan pihak Dinas Pendidikan setempat. Kasus di Kota Cirebon pada tahun 2012 contohnya, untuk mendapatkan haknya guru harus melakukan “perlawanan”. Kesabaran guru diuji kembali ketika pencairan dana sertifikasi harus menunggu berlama-lama kendati pusat sudah mengucurkan ke daerah.

Selain tunjangan profesi, guru juga memperoleh penghargaan dalam bentuk lain baik dari pemerintah maupun dari masyarakat disesuaikan dengan prestasi dan kinerjanya. Baik mulai kenaikan pangkat, tanda jasa maupun dalam bentuk materi. Nyata-nyatanya di lapangan masih terjadi penghambatan terhadap karir guru. Misalnya soal kenaikan pangkat guru, ada kepala sekolah yang mengatakan bahwa kenaikan pangkat adalah hak guru yang terbatas. Jika kepala sekolah tidak menyetujui atau mengajukan maka guru tidak bisa naik golongan. Perlawanan guru akan berujung pada mutasi.

Hak guru berikutnya adalah guru memiliki kebebasan memberikan penilaian hasil belajar, menentukan kelulusan, penghargaan hingga sanksi kepada peserta didiknya. Dalam prakteknya hak ini belum berjalan sesuai harapan peraturan. Tidak jarang guru harus berhadapan bahkan berbenturan dengan kekuasaan politik pendidikan setempat. Entah di tingkat satuan pendidikan, di tingkat dinas maupun kota.


Intervensi sangat terasa manakala pemberian nilai raport dan kelulusan. Guru dengan segala sisi kemanusiaannya diminta untuk membantu anak didiknya agar bisa melanjutkan ke jenjang kelas atau sekolah berikutnya. Tidak ada istilah tunda kelas, yang ada belum memenuhi KKM (kriteria ketuntasan minimal) dalam kurikulum KTSP. Demikian yang sering didengar alasan klise dari pihak yang berwenang. Akibatnya bagaimana caranya guru melakukan upaya “rekayasa” remedial agar anak bersangkutan bisa lolos walau gurunya leulues (lelah).

Tentang pemberian penghargaan secara formal guru lebih bergantung kepada kepala sekolah. Ini terkait dengan anggaran sekolah tersebut. Ada beberapa alasan pihak sekolah menolak program seperti anggaran tidak ada, anggaran belum cair, program tidak masuk dalam program kerja sekolah, program menghabiskan anggaran dan sebagainya.

Dalam penindakan sanksi dan hukuman, kebijakan guru harus terkalahkan dengan keputusan pimpinan. Guru yang sering berbenturan adalah guru bimbingan konseling. Setiap kasus siswa bermasalah yang direkomendasikan untuk tidak naik kelas, dipindahkan bahkan dikeluarkan berujung pada kekecewaan. Kepala sekolah punya dalil lain bahwa program wajib belajar sekolah tidak boleh mengeluarkan siswa. Sebagai guru harus punya tanggung jawab moral meluluskan anak dan sebagainya.

Masalah serius hak guru adalah menyakut perlindungan hukum. Kebebasan era reformasi mengganggu kepada kenyaman guru mendidik siswa. Sebelum program sertifikasi, pelecehan guru lebih kepada status ekonomi yang dianggap kelas marginal. Ketika martabat guru sisi financial mulai membaik, tekanan guru lebih kepada kemerdekaan politik guru dalam mendidik anak. Tekanan datang mulai bersifat verbal hingga yang fisik bahkan hingga tekanan hukum (kriminalisasi guru).

Kasus guru SD di Majalengka, misalnya, kasus yang sangat melukai bagi dunia pendidikan. Tindakan guru menghukum potong rambut siswanya harus ditebus dengan penjara. Kasus lainnya tindakan guru di Cirebon yang menghukum siswanya hingga berbuntut kematian siswa. Akibatnya guru tersebut harus berurusan dengan aparat hukum, kendati orangtua siswa korban sudah memaafkan.

Ada juga kejadian lain menimpa guru BK sekolah. Gara-gara mengamankan ponsel siswa karena menegakkan aturan sekolah, guru yang bersangkutan harus diusir dari rumah orangtua siswa ketika akan mengembalikan ponsel tersebut. Kejadian lainnya adalah murka orangtua ke seorang guru karena aduan anaknya bahwa dirinya ditampar oleh guru tersebut. Setelah diklarifikasi ternyata siswa itu yang bermasalah karena ketika jam pelajaran anak itu bolos. Guru yang bertemu anak tersebut lalu menghampiri dan menepak (bukan menampar) pipir siswa tersebut. Kejadian lainnya ada guru hingga dipukuli bareng oleh siswa dan keluarganya di halaman sekolah gara-gara guru tersebut sebelumnya menghukum siswa tersebut.

Terlalu banyak kasus-kasus hukum yang melibatkan guru di negeri ini yang berujung pada penderitaan guru. Memang harus diakui sebagai manusia guru juga tidak luput dari salah. Namun bertindak main hakim sendiri atau mengkasuskan tindakan guru dalam ranah pendidikan merupakan tindakan berlebihan. Kecuali jika tindakan guru tersebut sangat membahayakan nyawa anak didik. Lalu dimanakah perlindungan hukum guru? kemana saja pimpinan sekolah ?

Hak guru lain yang kerap kebiri adalah hak politik guru dalam berserikat, berkumpul dan berpendapat. Padahal hak-hak guru tersebut dilindungi oleh Negara.  Dalam berserikat dan berkumpul guru hanya terkooptasi dengan organisasi PGRI. Kendati organisasi plat merah ini dalam geraknya tidak maksimal yang diharapkan guru. Namun guru tidak berdaya untuk menolak iuran PGRI apalagi untuk pindah atau mendirikan organisasi profesi guru lainnya.

Di tingkat satuan pendidikan, guru jarang sekali dilibatkan secara aktif dalam menentukan arah kebijakan dan rencana strategis sekolah. Terlebih dalam soal anggaran sekolah, dianggap sebagai wilayah tabu yang disentuh oleh guru. Pelibatan guru oleh kepala sekolah sebatas sebagai alat legitimasi untuk program kerja dan kegiatan sekolah. Separuhnya lebih banyak didominasi oleh kepala sekolah dan orang-orang kepercayaannya.

Hak-hak guru yang terkebiri tersebut akan menjadi hambatan bagi proses profesionalisme guru. Menjadi guru tidak cukup hanya penguasaan terhadap urusan administrative kegiatan pembelajaran. Semua itu tidak akan berjalan sesuai aturan manakala tidak didukung oleh kebijakan politik pendidikan. Mari guru-guru kita perkuat kekuatan politik guru demi profesionalisme pendidik. Semoga. (*)

Lembang, 27 Juni 2012