Oleh :
Deny Rochman, S.Sos.,M.Pd
Revolusi mental tampaknya menjadi senjata pamungkas bagi Presiden Joko
Widodo dalam melakukan bersih-bersih pemerintahannya. Bisa jadi paradigma ini
lahir setelah pengusaha kayu tersebut memasuki dunia baru, dari seorang
entrepreneur menjadi seorang birokrat sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI
Jakarta. Selama menjadi orang nomor satu
di pemerintahan daerah Jokowi melihat, berbagai persoalan bangsa bermuara dari
problem mentalitas para petinggi pemerintah.
Menjawab berbagai persoalan birokrasi, membuat Jokowi menentukan
pilihan calon menteri kabinetnya adalah orang-orang yang punya visi perubahan
dan bisa bekerja cepat. Mempercepat penyelesaian berbagai persoalan yang
mendera bangsa ini, termasuk persoalan yang krusial dalam dunia pendidikan.
Anies Baswedan, satu diantaranya yang dianggap Jokowi sebagai tokoh yang mampu
mengatasi masalah-masalah pendidikan, sehingga menempati jabatan Menteri
Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah pada 26 Oktober 2014.
Potret pendidikan bangsa ini belum cukup menggembirakan, jika tidak
boleh disebut memprihatinkan. Memprihatinkan dalam perspektif revolusi mental. Kekerasan,
pelecehan seksual, pencabulan, merokok, minuman keras, pencurian, kebohongan
hingga praktek kolusi, korupsi dan nepotisme telah banyak mengiasi halaman
utama media massa. Berbagai problem tersebut bersumber dari krisis moralitas.
Keringnya spiritualitas manusia Indonesia terbentuk melalui proses
yang panjang. Ini akibat kurang diperhatikannya pembangunan mentalitas yang
kerap diabaikan oleh Pemerintahan Orde Baru yang lebih menekankan pada
pembangunan fisik. Begitu juga 17 tahun reformasi belum mampu mengatasi
berbagai persoalan sosial, pendidikan, politik, hukum dan birokrasi. Reformasi
masih berkutat kepada penataan institusi kelembagaan pemerintahan.
PENTINGNYA MENTALITAS
Lalu, seberapa pentingkah
revolusi mental dalam mereformasi system bangsa ini? Revolusi mental memiliki
relevansi dengan pendidikan karakter, budi pekerti, moral atau akhlak. Esensi
pendidikan itu kepada perubahan sikap, perilaku dan cara berfikir seseorang
kepada hal yang positif. Mental menjadi hal yang sangat penting karena
mempengaruhi perilaku seseorang. Jika mental baik maka perbuatan orang tersebut
akan menjadi baik, berpihak kepada kebenaran.
Pentingnya mentalitas dalam pendidikan menjadi
perhatian banyak pihak, termasuk dalam agama pun sangat menekankan pendidikan
akhlak. Sebut saja tokoh spiritual India Mahatma Gandhi, Presiden Amerika
Serikat Theodore Roosevelt
dan banyak lagi. Dalam agama pun ditegaskan, sebaik-baiknya manusia adalah yang
baik akhlaknya. Itu artinya, rusaknya mental, moralitas bangsa menjadi
barometer maju mundurnya sebuah bangsa.
Thomas Lickona - seorang profesor pendidikan dari Cortland University -
mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai sebuah
bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah meningkatnya kekerasan di
kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, pengaruh peer-group
yang kuat dalam tindak kekerasan, meningkatnya perilaku merusak diri,
seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas.
Selain itu, semakin
kaburnya pedoman moral baik dan buruk, menurunnya etos kerja, semakin rendahnya
rasa hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu
dan warga negara, membudayanya ketidakjujuran, dan adanya rasa saling curiga
dan kebencian di antara sesama. Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda jaman
tersebut sudah ada di Indonesia.
Pentingnya mentalitas, sehingga menjadi poin penting dalam kriteria
guru professional. Seorang guru professional selain memiliki kompetensi
pedagogik, sosial dan professional, juga harus memiliki kompetensi kepribadian.
Kompetensi yang terakhir ini sangat lekat dengan mentalitas. Itu artinya, guru
yang baik kepribadiannya akan melahirkan siswa didik yang baik. Guru yang
pintar akan melahirkan peserta didik yang pintar. Begitu juga sebaliknya.
POLITIK PENDIDIKAN
Paradigma revolusi mental Jokowi boleh jadi bukan barang baru bagi
sejarah pendidikan nasional. Pada era Orde Baru kurikulum pendidikan nasional
sudah diterapkan Pendidikan Budi Pekerti, Agama, Pendidikan Moral Pancasila dan
sebagainya. Pada era reformasi Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali
menekankan pentingnya pendidikan karakter bangsa dalam kurikulum sekolah, baik
diajarkan secara terpadu maupun mandiri.
Namun landasan filosofi pendidikan nasional bersandarkan pada
mentalitas dan karakter serta nilai-nilai agama, tetapi belum bisa
terinternalisasi dalam kehidupan secara baik. Malah tren yang berkembang,
patologi social semakin hari semakin banyak dijumpai di sekitar kita. Berbagai
teori, konsep, kurikulum dan kebijakan pendidikan hanya bagus dalam tulisan dan
retorika belaka. Masih tumpul sebagai pendekatan solusi masalah social yang
mencuat.
Dalam implementasinya masih berjalan apa adanya bahkan terkesan asal
jalan dan membiarkan, serta belum terintegrasi dan mendapat dukungan dari
berbagai pihak. Mentalitas “proyek” masih menjadi virus yang menggerogoti mengganggu
sistem birokrasi bangsa ini sehingga semua program berjalan secara formalitas
tanpa makna.
Untuk mendukung idealisme program kerja pemerintah maka diperlukan
adanya revolusi mental bangsa ini, khususnya mereka pengambil kebijakan di
semua lini. Apabila mentalitas birokrasi sudah diperbaiki, maka akan
berimplikasi kepada bawahannya dan pelaksanaan program-program dilapangan.
Harapan itu yang hendak diberikan oleh Pemerintahan Jokowi-JK melalui kabinet
kerjanya. Disinilah perlunya political
will pemerintah dalam memperbaiki dunia pendidikan nasional.
Politik pendidikan menjadi sangat penting dalam mengatasi persoalan
pendidikan. Karena semua program pendidikan nasional berawal dari “produk
politik” yang diprakarsai apakah oleh eksekutif atau legislative atas aspirasi
yang berkembang. Kasus ujian nasional, misalnya, sekalipun kontroversial,
walaupun sempat akan dihentikan, namun proses politik di DPR membuat sistem
evaluasi nasional tersebut tetap dilaksanakan. Hal sama kebijakan sertifikasi
guru dan kurikulum 2013 (kurtilas) yang berhasil diketok palu karena ada proses
politik di gedung Dewan, sekalipun mengundang pro dan kontra.
Termasuk political will
dalam memproteksi kurtilas sebagai kebijakan dipenghujung pemerintahan SBY.
Sekalipun sejumlah pihak menegaskan bahwa esensi nilai-nilai kurtilas sangat
relevan dengan konsep revolusi mental Presiden Jokowi. Harapan baru kurtilas
karena mengajarkan ranah pengetahuan, sikap dan ketrampilan bagi siswa sehingga
melahirkan siswa yang cerdas berkarakter. Ini bisa diterapkan manakala revolusi
mental sudah terjadi pada guru-guru di sekolah.
Begitu juga dengan semangat revolusi mental Pemerintah Jokowi. Jika
tidak diproteksi dengan kebijakan dan kekuatan politik maka paradigma itu hanya
laku pada saat kampanye, hanya rame saat diseminarkan dan hanya ideal ditataran
konsep. Melalui kementerian pendidikan, Anies Baswedan tampaknya akan mampu
melakukan revolusi mental dalam dunia pendidikan. Walaupun secara kompetensi
akademik, pria kelahiran Kuningan Jawa Barat ini bukan murni dari ilmu pendidikan.
Semangat perubahan progresif yang sering diteriakan oleh penggagas
program Indonesia Mengajar ini. Sebuah terobosan program antitesis terhadap
ironi wajah pendidikan negeri ini. Program pengiriman guru-guru muda berbakat
untuk mengajar ke daerah-daerah terpencil. Sebuah modal besar untuk memberesi
masalah pendidikan, khususnya untuk pemerataan akses pendidikan di tanah air.
Dalam kondisi pendidikan bangsa yang carut marut memang membutuhkan
orang-orang yang gila kerja, visioner, kreative dan memiliki komitmen yang
kuat, sekalipun harus menabrak sesuatu yang selama ini tabu. Pengalaman dan
prestasi kerja menjadi hal yang lebih penting dalam kerja kabinet daripada latar
belakang pendidikan, seperti rekam jejak pendidikan Anies Baswedan yang bukan
dosen pendidikan.
Latar belakang pendidikan Anies sebagai master dan doctor dalam bidang
ekonomi politik dan kebijakan publik membuat Rektor Universitas Paramadina ini
bisa diharapkan dalam membongkar kebijakan politik pendidikan di dalam
kementeriannya. Kebijakan yang akan melakukan revolusi mental jajaran
birokrasinya, sehingga melahirkan program kerja pendidikan berorientasi mutu
dan mensejahterakan. Bukan program kerja berbasis “proyek” atau program
berbasis “kebutuhan perut”. Selamat bekerja, kabinet kerja ! (*)
*) Penulis adalah guru
SMP Negeri 4 Kota Cirebon