SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

September 04, 2022

Generasi AKTIF, Generasi HAPPY

Oleh :
Deny Rochman, S.Sos., M.PdI

Ada pertanyaan yang mengganjal bagi guru-guru baru. Guru baru yang pertama kali mengenal Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). Apa menariknya gerakan ini. Pertama, paradigma yang diajarkan bukan hal yang baru dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Kedua, model pembelajarannya terkesan hanya cocok untuk anak-anak pendidikan dini dan pendidikan dasar. 

Pembelajaran yang menyenangkan sudah lama dikenal dalam kurikulum nasional dari masa ke masa. Sebut saja seperti CBSA, cara belajar siswa aktif. Ada lagi model PAIKEM, Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Dan berbagai sebutan lainnya dalam pendekatan, model, metode dan teknik pembelajaran agar berlangsung menyenangkan.

Apakah beragam pendekatan dan seterusnya itu berjalan 100% dilakukan oleh guru, didukung oleh sekolah dan bersinergi dengan warga sekolah, orang tua siswa ?  Nampaknya realitanya tak seindah tertulis dalam kurikulum. Selalu ada distorsi dalam perjalanannya. Di sinilah perlunya komunitas, organisasi, forum dan sejenisnya hadir kembali meluruskan dan memurnikan kembali paradigma pembelajaran yang menyenangkan. 

GSM mencoba menjawab tantangan jaman tersebut. Tantangan dunia pendidikan di tengah kepungan arus informasi dari segala penjuru arah mata angin. Tantangan di tengah hadirnya "guru-guru baru" berwajah media massa, media sosial, yang cenderung berorientasi pasar. Tantangan mendidik anak-anak yang mengalami kompleksitas kehidupan efek perubahan teknologi informasi.

Potret anak-anak produk era digital akan membuat guru-guru dibuat stres dalam mengajar. Jika metode mengajarnya tetap setia pada ceramah. Jika pendekatannya masih sentralistik, guru selalu benar dan tahu. Siswa tidak boleh tahu dari gurunya. Jangan melebihi dan bisa dari gurunya.

Faktanya, siswa masa kini jauh berbeda dengan guru-gurunya saat menjadi siswa. Perubahan pola perilaku, pola pikir, gaya hidup mereka begitu mengejutkan guru-guru. Herannya, perubahan itu tak lagi dipengaruhi oleh orang tuanya, teman atau lingkungan masyarakat dan media massa konvensional. Seperti teori-teori sosial selama ini kita pelajari.

Media sosial menjadi kekuatan baru, dan lebih dahsyat merubah life style masyarakat. Tak hanya anak-anak sebagai manusia yang masih mencari jati diri dan arah kehidupan. Mereka para orang tua pun ikut terseret pola hidup gaya baru era digital. Termasuk guru-gurunya, ikut terjebak tren yang berkembang.

Kondisi ini memaksa guru-guru harus beradaptasi dengan perubahan jaman. Harus mau dan bisa. Jika tidak, peran dan fungsinya akan tergantikan oleh teknologi. Perangkat media pembelajaran yang tak memahami dan mengenal cinta dan kasih sayang. Warisan genetika yang diberikan Tuhan kepada manusia. 

Disinilah perlunya pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran dengan bingkai cinta dan kasih sayang. Disinilah wajibnya guru-guru memahami sisi psikologis anak. Bisa mengerti ilmu psikologi pendidikan, psikologi pembelajaran anak. Misalnya mengerti cara kerja otak anak dalam belajar.

Munif Chatib, konsultan pendidikan sekaligus penulis buku best seller mengatakan, setiap hari guru mengajar sebenarnya bermain-main dengan otak siswa-siswanya. Bukan lambungnya, bukan ususnya. Naif jika guru tidak mengetahui cara kerja otak. 

Otak akan bekerja dengan baik dalam pembelajaran diperlukan suasana yang nyaman dan menyenangkan. Guru harus hadir dalam alam pikiran dan perasaan siswa agar satu frekuensi, satu hati. Guru memulai masuk ke dunia mereka. Melakukan apersepsi, stimulus pembelajaran.

Masih menurut Munif Chatib, bahwa siswa dalam belajar harus punya selera agar tertarik. Layaknya ketika mereka dihadapkan dengan hidangan makanan perlu selera. Jika siswa tak punya selera belajar, maka proses berfikir mereka akan terhambat.

Pembelajaran disertai dengan tepuk tangan, menyanyi, permainan (games/kuis) atau sejenisnya bagian dari pendekatan pembelajaran menyenangkan. Mendekatkan guru dengan alam pikir dan hati siswa. Guna menggungah selera belajar anak. Membuka mental block, pikiran dan perasaanya.

Model pembelajaran GSM yang happy-happy bagian dari metode memecah kebekuan suasana belajar. Termasuk happy-happy melalui media pembelajaran di ruang-ruang dinding kelas (display kelas). Display kelas bukan sekadar secarik kertas di dinding, coretan tanpa makna. Atau sekadar foto yang menggantung hingga pudar warnanya.

Display kelas adalah jejak keceriaan, mengekspresikan berbagai karakter serta suasana hati dan pikiran. Gambar, foto, tulisan, simbol pada dinding merupakan bagian media pembelajaran. Merupakan lingkungan belajar yang tak terpisahkan dengan ekosistem sekolah. Display kelas berfungsi memuaskan otak reptil anak. 

Manajemen display kelas dibedah tuntas oleh Munif Chatib. Dalam bukunya "Kelasnya Manusia: Memaksimalkan Fungsi Otak Belajar dengan Manajemen Display Kelas".

Lendo Novo, penggagas Sekolah Alam menyebutkan, display kelas bisa menjadi barometer kreativitas dan kualitas guru dalam mengajar. Display juga memacu belajar siswa, berani tampil, melatih kepekaan. Sebagai barometer kerja sama guru dan siswa. Juga sebagai bahan promosi. 

Singkatnya, paradigma GSM ingin mengembalikan kembali ruh pendidikan. Pendidikan yang memanusiakan manusia. Pendidikan yang memperhatikan tiga kodrat manusia. Kodrat rasa ingin tahu yang tinggi. Kodrat manusia selalu ingin berimajinas (berhayal). Dan kodrat memberikan kesempatan kepada anak dalam mengembangkan potensinya secara adil. 

Jadi, masihkah berfikir jika GSM hanya cocok untuk pendidikan anak dini dan pendidikan dasar ? Pliss deeeh.... (*)

*) Penulis adalah pengurus GSM Kota Cirebon, yang juga pengurus PGRI.