SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Maret 28, 2017

ANTI SEJARAH ITU ORANG "SAKIT JIWA"

Apakah anda termasuk orang tak suka bahkan alergi dan merasa gak penting dengan sejarah ? Jika iya, bergegaslah periksa ke dokter sakit jiwa karena khawatir anda mengidap lupa ingatan. Jangan sampai anda terlambat lalu masuk menjadi pasien rumah sakit jiwa. Mereka gila karena hilang ingatannya.

"Siapa yang tidak suka dan tidak melihat penting sejarah, ia adalah orang yang tidak kenal dirinya sendiri. Apa bedanya dengan mereka pasien rumah sakit jiwa. Mereka masuk RSJ karena hilang ingatan. Ingatan tentang masa lalunya," sindir Prof Dr Sulasman, M.Hum dihadapan peserta Pelatihan Penelitian Sejarah MPI PWM Jawa Barat di Pondok Pesantren Syamsul 'Ulum Ujungberung kota Bandung, Sabtu (25/3).

Pentingnya sejarah bagi manusia sangat dirasakan oleh masyarakat Barat. Di negara maju tersebut, sebelum anak belajar ilmu lain ia harus belajar sejarah. Tujuannya agar anak tahu dan mengerti mengapa dan bagaimana sejarah itu terjadi serta hikmah apa yang diambil pelajaran.

Menurut dosen UIN Bandung ini, sejarah itu penting bagi hidup agar manusia bisa mengambil pelajaran kejadian masa lalu. Jika kejadian itu baik maka menjadi inspirasi bagi manusia kekinian untuk melakukan hal yang sama. Jika sejarah itu buruk maka jangan sampai kejadian serupa menimpa atau terjadi kembali. Pentingnya sejarah karena sejarah terjadi hny satu kali dalam hidup. Jika pun terjadi serupa terulang itu hanya modelnya sama.

Perlunya masyarakat peduli sejarah agar catatan sejarah tak terjadi subyektif dan personal bayes. Jika sejarah tak dikontrol maka seringkali terjadi distorsi fakta sejarah. Akibatnya sejarah sering menjadi alat legitimasi kekuasaan. Beberapa kasus sejarah menguatkan asumsi tersebut. Misalnya peringatan Hardiknas mengapa diperingati setiap 2 Mei, bersamaan lahirnya Ki Hajar Dewantara, bukan KH Ahmad Dahlan yang lebih awal mendirikan sekolah.

Kasus lainnya peringatan hari TNI pada 5 Oktober mengambil momentum TKR berganti TRI bukan peralihan BKR ke TKR. Sama halnya peringatan hari kebangkitan nasional lebih merujuk pada gerakan Boedi Oetomo tanggal 20 Mei. Bukan kepada gerakan Sarekat Islam yang sudah punya jiwa nasionalisme saat itu. Keadaan ini karena sejarah dilihat dari sudut pandang politik.

Perbedaan sejarah tersebut disebabkan karena interprestasi berbeda dari pihak2 terkait. Kendati perbedaan itu hal yang wajar sepanjang dalam proses penulisan sejarah melalui kaidah dan ketentuan metodologi penelitian dengan baik dan benar. Asalkan perbedaan interprestasi sejarah itu tidak sampai menimbulkan anarkhisme kekerasan.

"Kasus buku Jokowi Under Cover, misalnya, presiden bagusnya gak perlu melakukan perlawanan bahkan hingga pidanakan. Buku yang dianggap fitnah dan menyesatkan harus dijawab kebenarannya dengan buku lagi, sejenis buku putih. Justeru jika buku itu terus dilawan masyarakat malah bertanya tanya, jangan-jangan isi buku itu benar," ujar Prof Sulasman menjawab pertanyaan Deny Rochman, peserta dari MPI PDM kab. Cirebon menyikapi kasus pidana buku Jokowi Under Cover.

Sulasman mengakui bahwa masih ada sejarawan yang "sakit gigi" dalam melihat fakta kebenaran sejarah. Pilihannya jika tidak menulis sesuai keinginan pihak pemesan atau memilih diam tak berkomentar. Dengan kondisi tersebut pihaknya mengaku perihatin sikap sebagian peneliti yang mestinya independen dan bebas bersikap sebagai intelektual. (*)