SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Mei 29, 2016

TERNYATA GURU TAKUT MENULIS


Oleh :
Deny Rochman

Menulis itu gampang-gampang susah ternyata. Kata sang penulis, kegiatan menulis itu gampang. Tapi kata yang tidak biasa, menulis itu susah. Banyak alasan seseorang tidak bisa dan tidak mau menulis. Bagi kalangan guru, misalnya, menulis merupakan salah satu kegiatan yang menakutkan. Takut? Yah beberapa dari para pendidik ini mengaku takut menulis khawatir menyinggung perasaan orang lain. Takut mencemarkan nama baiknya sehingga orang itu marah saat disinggung dalam tulisannya.

Ada juga mereka takut karena tulisannya nanti dinilai jelek oleh orang lain. Takut dianggap bodoh karena bahasa, struktur da nisi tulisannya tidak mencerminkan dengan, misalnya, umurnya, jenis kelaminnya, status sosial ekonominya hingga strata pendidikannya. Daripada menimbulkan masalah lebih baik tidak menulis. Alasan lainnya mereka menulis takut kegiatan lainnya terganggu, karena menulis butuh waktu lama dan kosentrasi tingkat tinggi.

Curhatan guru tersebut berhasil terekam dalam berbagai kegiatan pelatihan menulis, apakah menulis artikel, karya tulis maupun menulis berita serta menulis buku. Dua diantara kegiatan tersebut adalah terungkap dalam Workshop Penulisan Karya Tulis Guru SD yang diadakan oleh Kelompok Kerja Guru (KKG) Gugus IV Kalijaga Kec. Harjamukti Kota Cirebon di gedung TB Gramedia Cipto, Sabtu 28 Mei 2016. Menghadirkan penulis Indra Yusuf, guru SMA Negeri 7 Kota Cirebon.


Satu kegiatan lainnya pada acara Bedah Buku di tempat yang sama pada siang harinya yang diadakan Komunitas Gelem Maca (Gerakan Literasi Masyarakat Cirebon Kota) Cirebon Leader’s Reading Challenge. Buku yang di bedah adalah Buku The Worrier’s Guide Book karya Rini Hastuti terbita Elek Media Komputindo (Group Gramedia).

MENULIS=BICARA
Para penulis bilang, menulis itu semudah orang bicara. Ah masa sih? Iya dong, apalagi bagi mereka yang sudah pernah duduk dibangku sekolah tidak ada alasan untuk tidak bisa menulis. Karena syarat utama menulis adalah ia bisa membaca dan bisa menulis huruf, kata dan kalimat. Jika dua syarat itu terpenuhi, tinggal bagaimana merangkaikan huruf, kata dan kalimat menjadi satu rangkaian yang utuh.

Sama halnya saat kita bicara. Ketika kita bisa melafadzkan satu huruf, kata dan kalimat dalam bentuk lisan maka kita pun akan bisa bicara panjang lebar. Tinggal apakah bicara panjang lebarnya itu sistematis, logis, berbobot atau tidak, ngelantur tanpa arah. Artinya jika ada penulis yang bagus, juga ada pembicara yang hebat, pendengar yang baik, serta pembaca yang cerdas. Semua itu bisa bisa terbentuk karena proses latihan.

Saat kita bicara, tentu ada waktu jeda kita berhenti, apakah untuk bernafas atau berganti topik obrolan. Ada bicara pelan, keras atau datar. Bicara langsung dan tidak langsung. Bertanya, memberikan informasi dan membuat pernyataan. Pola berhenti sesaat kala bicara atau bicara pelan, keras dan datar tersebut dikonversikan dalam kemampuan menulis dengan tanda baca: ada titik, koma, tanda seru, tanda Tanya, tanda petik dan sebagainya.

Apabila masih terasa sulit untuk mengalami menulis kalimat pertama, maka rekamlah obrolan atau diskusi kita saat bersama teman. Hasil obrolan tersebut lalu diputar kembali sambil diketik ulang dalam bentuk tulisan. Tinggal pemberian tanda baca dalam setiap sesi obrolan tersebut. Tulisan kemudian dikelompokan sesuai temanya akan memiliki cerita alur yang enak dibaca.

Mulailah menulis hal yang menarik menurut kita, sekalipun hal itu dianggap kecil dan sepele oleh orang lain. Misalnya ada kegiatan arisan keluarga di rumah. Anak merayakan ulang tahun. Rumah tetangga kemalingan. Atau cara membuat masakan sayur asem ala sendiri, dan banyak lagi. Tulis dan tulis apa yang kita pikirkan, yang kita lihat, rasakan dan dengar. Karena sesungguhnya menulis itu melibatkan seluruh panca indera kita.

Dimana dan kemana kita menulis? Tempo dulu kebiasaan orang menulis kegiatan harian dituangkan dalam buku catatan harian (diary). Namun masa itu sudah lewat, walaupun masih ada beberapa orang lebih suka menulis catatannya dalam buku harian biasa. Dengan perkembangan internet yang pesat, tulisan kita bisa dipublish melalui blog, email, facebook, tweeter dan sejenisnya.

Jika masih merasa malu, tulisan yang dipublish cukup di hidden atau masuk dalam kategori privat. Namun alangkah baiknya, jika tulisan itu tidak bersifat pribadi dan rahasia sebaiknya dipublish ke publik. Kita akan menunggu reaksi pembaca, apa saran dan kritiknya terhadap tulisan yang kita buat. Semakin sering kita menulis, maka semakin bagus tulisan kita.

Banyak yang menjadi inspirasi yang menjadi sumber tulisan kita. Pasang saja panca indera kita, untuk melihat, mendengar, mencium, merasakan dan meraba fenomena yang ada di sekitar kita. Membaca fenomena secara telanjang kasat mata, maupun membaca fenonema melalui isyarat atau tren yang ada.

Menulis dengan panca indera ini pernah dilakukan oleh Ibu Rini Hastuti dan penulis lainnya. Melalui bukunya The Worrier’s Guide Book ibu tiga anak ini berhasil menangkap fenomena yang terjadi di lingkungannya. Apakah lingkungan keluarganya, tempat kerja, maupun masyarakat dimana ia berada. Hasilnya sebuah buku yang enak dibaca, renyah dirasa dan mudah dicerna.

Tentu tidak mudah untuk menangkap ide tulisan jika tidak terlatih. Maka kecanggihan teknologi smartphone harus bisa dimanfaatkan secara maksimal. Dimana dan kapan pun sedang ada ide menulis, maka tulislah di media sosial yang ada. Paling tidak kalimat inti yang bisa dikembangkan dikemudian dalam waktu yang khusus. Bila perlu abadikan peristiwa tersebut melalui gambar foto atau video, akan lebih sempurna. Jika tidak demikian, ide-ide bagus itu lewat menguap berterbangan tanpa arah.

Jangan pernah malu atau tidak percaya diri dengan tulisan sendiri. Paling tidak kita harus bangga dengan tulisan sendiri, jika orang lain tidak memberikan penilaian. Toh kita tidak pernah merepotkan dan minta makan kepada mereka. Iya toh?

Hal yang perlu diingat adalah menulis itu ibarat orang memasak, beda koki beda rasa sekalipun dengan jenis dan bumbu masakan yang sama. Begitu juga dalam menulis. Menulis itu perlu bahan-bahan untuk diracik dan dituangkan dalam tulisan. Bahan-bahan itu harus kita cari, gali dan mungkin harus dibeli.

Citra rasa dan jenis tulisan dipengaruhi oleh banyak factor, satu diantaranya watak dan suasana hati penulisnya. Jika sedang marah, kecewa tentu akan menulis dengan bahasa tegas atau heroik. Mereka yang punya kepribadian melankolis tentu akan memiliki daya tarik topic tulisan yang berbeda dengan penulis yang berkepribadian sanguinis dan sebagainya.

Terkait rasa takut keamnan penulis itu bergantung pada topic apa yang menjadi perhatian penulis. Tulisan yang menyangkut rasa aman karena menyinggung pihak lain. Jika pun itu harus dilakukan maka siapkan data dan fakta yang menguatkan tulisan tersebut dengan jenis dan gaya bahasa tulisan yang elegan. Namun rasanya masih banyak topic tulisan yang bagus namun tidak beresiko yang bisa dijumpai di sekitar kita.

Yang terakhir, budaya menulis sangat lekat dengan budaya membaca. Maka jika kita ingin menjadi penulis produktif, maka jangan pernah berhenti untuk membaca. Membaca buku, majalah, jurnal bahkan membaca isyarat alam, fenomena masyarakat di sekitar kita. Selamat mencoba…!! (*)

*) Penulis adalah penggiat Gerakan Literasi Sekolah
Jurnalis yang memilik jadi guru di SMP Negeri 4 Kota Cirebon