SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Januari 25, 2016

QUO VADIS PENDIDIKAN TRAPSILA

Oleh : Deny Rochman, S.Sos

Mau kemana Pendidikan Trapsila? Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam berbagai pertemuan Trapsila, baik dengan kepala sekolah, guru atau lainnya. Ada pertanyaan yang bernada penasaran tetapi tidak sedikit yang menyimpan keraguan terhadap pelaksanaan kurikulum hasil kerjasama Dinas Pendidikan Kota Cirebon dengan UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund) tersebut.

Walikota Cirebon Subardi ikut mewanti-wanti sejak dini perihal pelaksanaan kurikulum Trapsila di kotanya. Pasalnya dengan di-launching-nya Trapsila oleh Walikota pada 24 Maret 2008 lalu maka pelajaran ini akan diterapkan di seluruh sekolah SMP/MTs se- Kota Cirebon. Walikota mengingatkan agar pelaksanaan Trapsila agar didukung guru pengajar yang mumpuni, baik penguasaan materi lebih-lebih perilakunya harus menjadi sosok yang diteladani.

Penasaran dan keraguan muncul dalam konteks ilmiah dinilai sah-sah saja. Sepanjang sikap kritis tersebut tidak melahirkan apriori permanen sehingga selalu menolak hal-hal baru. Sikap skeptis tersebut karena paradigma yang diusung dalam Pendidikan Trapsila sedikit unik daripada pembelajaran umumnya. Sosialisasi, internalisasi dan aktuliasasi nilai-nilai positif dibangun melalui pendekatan permainan (games), aktif, kreatif dan menyenangkan.

Mereka yang penasaran dengan Trapsila karena pendekatan games, baik di indoor maupun outdoor, hal yang baru dalam kegiatan mengajar siswa. Dengan metode itu kelompok ini yakin pembelajaran siswa akan lebih fresh dan menyenangkan. Bagi kelompok yang meragukan, kendati mereka setuju bahwa permainan akan melepaskan kejenuhan siswa dalam belajar, namun mampukah Trapsila menjadikan anak didik berbudi pekerti yang baik hanya dengan permainan.

BUDI PEKERTI PLUS
Sebenarnya, Pendidikan Trapsila sebagai pendidikan nilai atau pendidikan karakter bukan barang baru. Sebelumnya kita mengenal Pendidikan Budi Pekerti pada era rezim Orde Baru. Entah mengapa kurikulum ini akhirnya ditarik dari peredaran dunia pendidikan nasional. Ada  anggapan karena Budi Pekerti gagal mengemban tugas dalam memperbaiki perilaku anak didik, malah hanya menambah beban belajar siswa.

Meningkatnya masalah siswa di keluarga dan masyarakat belakangan ini membuat pendidikan nilai kembali dilirik. Apalagi berbagai temuan penelitian psikologi bahwa kesuksesan seseorang tidak melulu ditentukan oleh kecerdasan intelektual (kegnitif). Daniel Goleman misalnya menemukan dalam penelitiannya, keberhasilan seseorang terletak kepada kecerdasan emosional. Temuan itu kemudian berkembang ragam kecerdasan seperti kecerdasan spiritual, kecerdasan majemuk, keseimbangan kecerdasan dan sebagainya.

Nah, Pendidikan Trapsila mencoba menyempurnakan kecerdasan siswa, baik dari sisi kognitif (intelektual), afektif-psikomotor (emosional) dan spiritual melalui games, pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan. Mengapa harus dengan games? Permainan merupakan dunia anak-anak. Dalam perspektif marketing jika produk kita bisa dinikmati, harus sesuai selera pemakainya. Jadi games hanya sekadar metode/pendekatan belajar bagi siswa, sama dengan metode lainnya seperti ceramah, diskusi, simulasi dan lainnya.

Berbeda dengan budi pekerti produk sebelumnya, Trapsila memiliki kekhasan dengan aroma budi pekerti plus. Nilai yang diajarkan tidak hanya pada pendidikan budi pekerti seperti sopan santun, tetapi juga pendidikan politik diantaranya bagaimana bernegosiasi, kerjasama, mengatasi konflik, toleransi dan sebagainya. Plus lain dari Pendidikan Trapsila adalah pendekatan pembelajaran yang lebih banyak menggunakan permainan, yang lazim sering digunakan dalam kegiatan Outbond. 

Nilai-nilai positif itu dibangun melalui games education. Boyett dan Boyett (dalam Djamaludin Ancok, 2002) menjelaskan tahap-tahap pembelajaran nilai yang efektif meliputi (1) Pembentukan pengalaman (experience);  (2) Perenungan pengalaman (reflect); (3) Pembentukan konsep (form concept); (4) Pengujian konsep (test concept). Permainan gobak sodor (galaxi), misalnya, untuk mempraktekan kompetensi Ketahanan Sekolah. Setelah permainan itu siswa diajak menjelaskan nilai (reflect).

Pengalaman penulis, siswa memahami nilai permainan itu seperti perlunya kerjasama, kosentrasi, kecepatan, kecerdikan dan sebagainya. Pemahaman anak tersebut guru membentuk dalam pemahaman konsep (form concept) dikaitkan dengan ketahanan sekolah. Sebagai institusi yang memiliki wilayah, sekolah harus dijaga dari ancaman dari luar. Seperti gobak sodor, setiap siswa harus menjaga wilayahnya jangan dimasukin lawannya. Terakhir adalah tes konsep yang sudah dipahami siswa tersebut.

PENILAIAN HOLISTIK
Target keberhasilan Pendidikan Trapsila jangka panjang adalah adanya perubahan sikap, sifat dan perilaku siswa yang lebih positif. Dalam jangka pendek, seluruh siswa bisa mentaati ketentuan yang berlaku dalam lingkup sekolah. Namun untuk target pertama membutuhkan proses yang lama. Apalagi perilaku siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti keluarga, teman dan lingkungan masyarakatnya. Sementara siswa berada di sekolah waktunya sangat terbatas sekitar 6 jam. Disinilah perlu ada kerjasama antara sekolah dan keluarga.

Pada prinsipnya Pendidikan Trapsila mengembangkan tiga kecerdasan sekaligus, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Nilai ranah kognitif dan afektif dari tes konsep yang dikembangkan dari bahan ajar. Sementara nilai psikomotor diambil dari pembiasaan (pergaulan) siswa di sekolah dan permainan dalam KBM. Artinya pengajaran Trapsila harus melibatkan banyak pihak sehingga penilaian terhadap anak mendekati obyektif. Jika digambarkan seperti dibawah ini :


Pemahaman nilai siswa dibentuk melalui kegiatan belajar mengajar Trapsila, baik dalam bentuk permainan ataupun penugasan. Pada waktu bersamaan praktek nilai-nilai itu bisa diihat dari pergaulan siswa sehari-hari di sekolah. Apakah anak itu rajin, disiplin, jujur, bisa bekerja sama, punya toleransi, motivasi dan sebagainya. Aspek ini membutuhkan kerjasama antara guru Trapsila dengan guru-guru lainnya (tim) seperti PKn, Bahasa Indonesia, agama, BP/BK, wali kelas.

Jadi, keberhasilan Pendidikan Trapsila bagi siswa tidak karena kehebatan guru pengajarnya. Keberhasilan itu, khususnya dalam jangka pendek, harus didukung oleh sistem yang berjalan di sekolah. Ada kerjasama antar-warga sekolah, kebijakan kepala sekolah dan peraturan lainnya. Dengan kata lain, keteladanan bukan hak paten guru Trapsila tetapi merupakan label yang harus diusung oleh semua guru bahkan semua orang yang menjadi figur publik, dimana pun mereka berada.  

Akhir kata, lahirnya Pendidikan Trapsila harus disambut dengan baik dalam mengembangkan kecerdasan siswa dalam sisi sosial, emosional dan spiritual. Sebagai pelajaran yang baru, Trapsila jangan dianggap tumpang  tindih apalagi berbenturan dengan pendidikan nilai yang sudah ada. Sebaliknya justeru untuk melengkapi yang sudah ada, agar pembinaan karakter siswa semakin baik.
Pendekatan games pada Trapsila hanya sebagai metode penyampaian kepada siswa. Artinya, guru Trapsila dalam mengajar waktunya jangan terkuras untuk permainan sehingga nilai-nilai dalam permainan itu malah terlupakan. Yang pasti, penilaian Trapsila membutuhkan proses dengan melibatkan tim guru lain. Ini untuk menutup bolong subyektifitas penilaian terhadap keberhasilan Pendidikan Trapsila.

Mau kemana Trapsila, mari kita kawal bersama-sama setelah Walikota Cirebon sudah meresmikannya. Dengan demikian, Trapsila bukan hanya milik Dinas Pendidikan, tim penyusun atau guru Trapsila semata, tetapi milik warga Kota Cirebon yang bercita-cita menjadikan hidup ini lebih baik lagi. Trapsila diharapkan bisa menjadi obat penawar dalam membangun karakter (character building) siswa. Semoga! (*)


Penulis adalah tim penyusun Trapsila
dan Guru SMP Negeri 4 Kota Cirebon