SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Oktober 04, 2015

GURU DILARANG KAYA ?


Oleh :
Deny Rochman, S.Sos., M.Pd.I



Profesi guru terus diperdebatkan publik. Bahkan tanpa sadar memicu konflik horizontal baik sesama pegawai negeri non guru maupun dengan masyarakat. Pemicunya tidak lain karena semakin membaiknya kesejahteraan guru pasca digulirkannya kebijakan sertifikasi guru. Pemberian tunjangan profesi tersebut merubah wajah guru yang dulu dijuluki Oemar Bakri, kini disindir sebagai guru Aburizal Bakri. Dua potret guru yang dulu penuh kesederhanaan bahkan hidup dalam keterbatasan, dan kini gaya hidup guru dianggap berkecukupan.

Namun masa kebahagiaan guru mulai terusik, menyusul isu pemerintah akan menghapuskan tunjangan profesi guru. Ketua Umum PB PGRI Sulistyo sangat kencang memprotes rencana pemerintah Jokowi yang hendak menghapus kebijakan sertifikasi guru. Bahkan Sulistyo berani menilai, Presiden Jokowi telah melakukan pengingkaran terhadap janjinya saat Pemilu Presiden yang menegaskan tidak akan menghentikan tunjangan profesi guru.


Kegaduhan di dunia pendidikan tersebut buru-buru ditangkis oleh pemerintah. Melalui Kemendikbud, pemerintah menegaskan tidak akan ada penghapusan kebijakan dana sertifikasi guru. Penegasan tersebut diperkuat dengan sudah dianggarkannya alokasi dana sertifikasi guru untuk tahun 2016 mendatang. Perdebatan isu tersebut dipicu rencana Pemerintah merubah pola penggajian pegawai negeri, yakni gaji pokok, tunjangan kemahalan dan tunjangan kinerja.  

TUGAS BERAT
Boleh saja pemerintah membantah jika kebijakan sertifikasi guru tidak akan dihapus dengan dalih pada tahun 2016 sudah disiapkan alokasi anggaran negara. Namun perubahan pola penggajian oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi membuat guru-guru khususnya PNS dibuat ketar ketir. Dalam system penggajian baru disebutkan ada tiga jenis kesejahteraan yang diberikan kepada PNS yakni gaji, tunjangan kemahalan dan tunjangan kinerja.

Pola penggajian baru tersebut kabarnya seorang PNS akan membawa pulang gaji lebih besar daripada gaji sebelumnya. Sementara itu dana sertifikasi guru akan digantikan dalam bentuk tunjangan kinerja yang dibayar per bulan bersamaan gaji. Namun pemerintah belum mengeluarkan pedoman teknis tentang cara, variable, instrument maupun mekanisme penilaian kinerja guru. Lalu jika sertifikasi masuk dalam tunjangan kinerja per bulan bagaimana dengan guru-guru non PNS yang selama ini sudah menerima dana sertifikasi.

Apabila kebijakan sertifikasi diganti tunjangan kinerja maka dengan kata lain seluruh PNS dari semua kalangan akan menikmati kebijakan tersebut. Artinya tidak ada sesuatu yang istimewa bagi profesi guru dalam menjalankan tugasnya yang semakin berat. Jika itu benar maka isu kesenjangan pendapatan antara PNS guru bersertifikasi dengan PNS non guru (struktural) memang bukan isapan jempol belaka. Lebih-lebih bagi pegawai di lingkungan Dinas Pendidikan yang mengurus dana sertifikasi guru tetapi mereka tidak mendapatkan tunjangan serupa.
Tugas berat karena guru tidak saja mengajarkan (transfer knowledge) kepada peserta didik, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Tetapi tugas guru juga mendidik siswa, menjadi inspirasi, teladan bagi siswa, merubah dan membentuk kepribadian anak menjadi karakter unggul, kuat, mulia. Tidak jarang sekolah disebut sebagai bengkel manusia. Padahal tantangan terberat tugas guru adalah semakin banyak siswa terlibat masalah, baik masalah motivasi belajar, kenakalan remaja hingga tindakan kriminal.

Ironisnya, orangtua merasa gugur kewajibannya untuk mendidik anaknya ketika mereka sudah menyekolahkan. Malah tidak jarang orangtua memposisikan diri sebagai “kelompok penekan” (pressure group) terhadap pihak sekolah, apabila anaknya mengalami masalah sesama siswa, merasa menjadi korban salah ajar guru, pungutan sekolah atau  ada kebijakan yang tidak cocok. Celakanya orangtua sering membawa-bawa pihak lain seperti LSM, wartawan, partai hingga pihak berwajib. Seyogyanya sekolah dan orangtua menjadi mitra yang baik dalam mendidik putera puterinya, bukan mencari-cari masalah tetapi mencari solusi.


KENDALI SISTEM
Sejak kesejahteraan guru mendapat perhatian lebih dari pemerintah sejak program sertifikasi digulirkan, sejak itulah ruang gerak guru dibatasi. Sejumlah kebijakan, program dan system dirancang agar pengorbanan keuangan negara untuk kesejahteraan guru harus berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Terlebih pemerintah sudah menggelontorkan 20% APBN untuk pendidikan seperti dana BOS, beasiswa siswa miskin dan berbagai bantuan yakni dana hibah, program, peralatan maupun sarana dan prasarana sekolah.

Besarnya anggaran negara yang tersedot dan banyaknya jumlah guru bersertifikasi, kinerja guru yang masih dianggap tidak profesional memicu masalah baru. Masalah kesenjangan pendapatan dengan PNS non guru. Keluhan orangtua siswa yang menilai tingkat kemangkiran guru di kelas dan di sekolah yang masih terjadi. Problem pribadi guru yang bergaya hidup konsumtif, hedonis. Oknum guru yang terlibat kasus kekerasan, perselingkuhan, kawin cerai hingga tindak kriminal., menjadi dasar peninjauan kembali pemberian dana sertifikasi.

Aroma inkonsistensi kebijakan sertifikasi memang sudah tercium jauh-jauh hari. Sejak awal digulirkan pemerintah tidak komitmen dengan peraturan tentang sertifikasi, misalnya harus pendidikan sarjana. Namun dalam realitanya banyak guru yang belum berpendidikan S1 mendapatkan dana sertifikasi dengan beragam alasan dan aturan tambahan. Terkesan program sertifikasi bukan lagi peningkatan profesionalisme guru dalam arti sesungguhnya. Alhasil, guru bersertifikasi massal tidak banyak menghasilkan guru yang berkompeten malah memicu masalah baru.

Lahirnya kebijakan sekolah gratis berbutut banyak kebijakan pendidikan yang membatasi program sekolah dan guru, khususnya yang bersentuhan dengan uang. Seperti pelarangan menjual buku dan seragam sekolah, melarang berbagai pungutan dari orangtua dan siswa. Selanjutnya, jam kerja guru bertambah minimal 24 jam, dari kewajiban mengajar 18 jam hingga harus pulang sampai sore hari. Pengajuan kenaikan pangkat guru kini per empat tahun sekali, dari sebelumnya bisa dua tahun sekali sehingga golongan guru PNS cepat melesat dibandingkan PNS struktural dengan masa kerja dan pendidikan yang sama.

Kelengkapan administrasi guru pun kian komplek. Muncul penyusunan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) dan penilaian kinerja guru (PKG). Setiap periode guru-guru khususnya yang sudah bersertifikasi harus menjalani uji kompetensi guru (UKG). Belum lagi seabreg perangkat administrasi pembelajaran versi kurikulum 2013 (kurtilas) dengan beragam penilaian yang menguras energi guru. Berdampak pada komunikasi non formal guru dengan siswa berkurang.

Pola kenaikan pangkat guru tak luput dari agenda reformasi system kepegawaian. Selain masa kenaikan bertambah per empat tahun sekali atau sesuai angka kredit yang ditetapkan pemerintah, juga pola usulan pun berubah. Selain usulan penetapan angka kredit (PAK), secara bersamaan harus diajukan hasil penelitian tindakan kelas (PTK). Kedua usulan itu harus mendapat persetujuan tim penilai. Apabila salah satunya belum memenuhi syarat maka usulan kenaikan pangkat ditolak.

Kebijakan PTK tersebut menjadi perdebatan di kalangan insan pendidikan. Organisasi PGRI misalnya, keberatan dengan kewajiban guru membuat PTK. Menurut organisasi profesi guru ini, melakukan penelitian tindakan kelas bukan bagian dari tugas pokok dan kewajiban guru, sehingga menjadi factor penghambat kenaikan pangkat. Tetapi pemerintah berdalih guru professional harus memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi masalah, kendala, hambatan dan solusinya dalam kegiatan belajar di kelas melalui PTK.

Guru masa kini tidak aman dari kebijakan mutasi. Kebijakan ini dengan dalih pemerataan guru di berbagai sekolah dan daerah. Sekalipun dalam realitanya kebijakan ini tak bersih dari kepentingan politik dan ekonomi. Padahal profesi guru berbeda dengan profesi pegawai pada umumnya. Guru bagi siswa adalah orangtua kedua di sekolah, yang sejak awal harus paham setiap kepribadian mereka. Jika guru terus dimutasi, maka siswa pun mau tak mau berganti-ganti orangtua di sekolah.

Nasib guru memang tak ubahnya seperti Oemar Bakri, sebuah istilah sindiran dari penyanyi Iwan Fals. Sosok guru yang miskin secara ekonomi dan lemah secara politik. Jika guru sejahtera banyak orang yang teriak, sebaliknya ketika guru termiskinkan tak banyak orang yang mau memperjuangkan selain hanya bersikap iba, empati. Tidak demikian jika kesejahteraan itu dialami profesi lain, termasuk pendapatan para pejabat dan anggota dewan yang fantastis. Apakah memang guru dilarang kaya? Wallahu’alam. (*)

*) Penulis adalah guru SMP Negeri 4 Kota Cirebon