SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Maret 04, 2009

POLEMIK AKTA IV STAIN

Oleh Deny Rochman

Proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun 2008 menuai protes. Kali ini keluhan datang dari sarjana pendidikan agama Islam (PAI) lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Mereka yang mendaftar formasi guru agama Islam SMP dan SD ditolak oleh panitia CPNS Kabupaten Cirebon. Alasannya karena akta IV mengajar pelamar tidak relevan dengan formasi yang dibutuhkan.

Dalam akta IV STAIN terdapat keterangan bahwa sarjana yang bersangkutan berhak mengajar pada bidang PAI di MA/SMA. Akibatnya ratusan pelamar harus menelan pil pahit tidak mengikuti tes CPNS tahun ini. Berbagai upaya dialog antara STAIN dengan DPRD dan Pemkab Cirebon, antara pelamar dengan Sekda Kab. Cirebon berakhir dalam kebuntuan.

Para pelamar sempat gembira ketika Sekda Nuriyaman Novianto mengabulkan keinginan pelamar "bermasalah" mengikuti tes CPNS. Untuk menyakinkan dalam dialog di aula Pemkab 4 Desember kemarin, Sekda menyatakan siap di sumpah di bawah Al Qur'an di dalam masjid dan menanggung resiko apapun yang terjadi. Sayangnya pernyataan itu dicabut setelah mendapatkan informasi dari panitia, tidak ada penambahan pelamar.

Sikap Sekda tersebut tentu membuat sesak dada para pelamar karena sekda dinilai "menjilat ludah sendiri". Sekelas pemimpin terlalu gegabah dalam mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang. Beranikah sekda mempertanggung jawabkan ingkar janjinya? Kalau sudah demikian yang menjadi korban adalah pelamar sementara pihak terkait saling lepas tangan.

BEDA PENDAPAT
Muara permasalahan CPNS Kabupaten Cirebon berawal karena perbedaan pendapat dari semua pihak, baik STAIN, panitia CPNS dan pelamar. Paling tidak perbedaan tersebut dalam memahami keterangan akta IV, informasi pengumuman CPNS dan kebijakan Pemkab yang kontroversi.

Perihal kewenangan mengajar dalam akta IV, pihak panitia bersikukuh pada keterangan di akta IV bahwa pemiliknya hanya berhak mengajar pada aliyah dan SMA. Sementara pihak STAIN mengklarifikasi dalam suratnya bahwa keterangan akta IV itu merupakan batas maksimal kewenangan mengajar. Artinya sarjana PAI sangat mungkin mengajar di satuan pendidikan dibawahnya seperti SMP apalagi SD.

Namun klarifikasi dari pihak STAIN itu ibarat teriakan dipadang pasir, anjing menggonggong kafilah berlalu. Panitia CPNS tetap menolak keterangan akta IV STAIN tersebut sekalipun lembaga tersebut yang telah meluluskan sarjana PAI dan diakui oleh pemerintah.

Tentu saja polemik dua institusi tersebut sangat merugikan mahasiswa dan alumninya. padahal kedua belah pihak tanpa disadari terjebak dalam paradigma lama sistem pendidikan nasional. Bisa jadi STAIN menuliskan keterangan akta IV mengajar aliyah/SMA karena pada masa lalu guru SMA berpendidikan S-1, SMP D-3 dan SD D-2. Berbeda dengan paradigma baru, guru yang memiliki kompetensi sarjana (S-1).

Penafsiran kedua dijumpai pada formasi pengumunan CPNS yang ditandatangani Bupati Cirebon. Dalam surat kabar lokal 12 Nopember 2008 lalu disebutkan, untuk formasi guru agama Islam SD dan SMP kualifikasi pendidikan dari S-1 Pendidikan Agama Islam, tanpa keterangan memiliki akta IV.

Pada persyaratan khusus dijelaskan, mereka yang melampirkan akta IV adalah sarjana non pendidikan. Informasi ini yang menjadi dasar bagi pelamar PAI bahwa tanpa akta pun mereka bisa mengikuti tes. Mereka balik bertanya, jika sarjana PAI STAIN ditolak lalu darimana guru agama Islam diperoleh.

Pernyataan Sekretaris Daerah Nuriyaman Novianto dalam dialog dengan pelamar 4 Desember 2008 lalu berbuntut perdebatan di dalam forum. Belum lagi pihak BKD yang mengancam mogok kerja jika ada penambahan pelamar. Menurut Sekda penerimaan CPNS daerah harus mengacu standar prosedur BKN. Pertanyaannya mengapa di daerah lain akta IV STAIN tidak bermasalah jika standar prosedurnya sama.

Celakanya lagi ditengah penolakan akta IV bermasalah, ada pelamar STAIN yang sudah menerima kartu tes. Sehingga muncul dugaan bahwa kebijakan penolakan akta IV STAIN merupakan kebijakan di tengah jalan, bukan standar aturan CPNS yang sudah ditetapkan. Jika ini memang terjadi mestinya persoalan akta IV tersebut menjadi bahan evaluasi penerimaan CPNS tahun berikutnya, tidak di cut di jalan.

Faktor lain yang memicu permasalahan CPNS adalah mekanisme pengiriman berkas lamaran. Pengiriman melalui jasa PT Pos dinilai kurang efektif dan transparan. Mulai awal pendaftaran pelamar harus antre panjang untuk mengirimkan berkas. Belum lagi harus mengikuti syarat ketentuan Pos yang tidak bisa ditolak pelamar.

Proses pengiriman itu membuat pelamar tidak bisa melakukan perbaikan di tengah jalan ketika ada kesalahan administratif. Misalnya tanggal legalisir tidak dicantumkan, berkas harus asli, termasuk formasi yang salah.

Masalah lainnya adalah pendistribusian surat jawaban tes oleh Pos. Hingga H-1 masih banyak surat yang belum sampai ke para pelamar. Malah sebagian pelamar mendapatkan surat balasannya langsung mendatangi kantor pos setempat. Ironis. Yang jadi masalah besar, bagaimana jika surat tes itu datang setelah seleksi CPNS selesai. Siapa yang mau disalahkan?

CITRA NEGATIF
Persoalan CPNS STAIN menjadi contoh kecil carut marutnya pendidikan negeri ini. Antara produsen sumber daya manusia (baca: perguruan tinggi) dengan penggunanya (termasuk pemerintah) tidak sejalan. Sehingga memberikan kesan negatif dalam benak masyarakat. Jika tidak segera diselesaikan ini akan menjadi bumerang bagi semua pihak.

Bagi STAIN, masyarakat akan beranggapan bahwa lulusan sekolah tinggi itu tidak bisa diserap dunia kerja. Untuk itu akar persoalan yang menjadi kendala para lulusan harus dicarikan solusi yang tepat. Ini untuk menepis adanya bisnis pendidikan yang kini banyak disorot bahwa lembaga pendidikan hanya berlomba-lomba mencari mahasiswa tanpa memikirkan outcome-nya.

Kendati kita tahu persoalan CPNS yang merugikan STAIN ini bukan pertama terjadi di Kabupaten Cirebon dan daerah lain. Pada beberapa tahun sebelumnya CPNS kabupaten juga diwarnai masalah yang serupa. Tadris STAIN dipersoalkan. Namun kala itu ada kebijakan pelamar boleh mengikuti tes. Jika kisruh CPNS terus terulang bisa jadi pihak pemda akan jera membuka formasi guru agama Islam.

Pihak pemda pun harus mulai belajar dari pengalaman sebelumnya. Sehingga dalam menyampaikan informasi lowongan CPNS tidak menimbulkan banyak penafsiran. Selama ini sudah kadung berkembang ada dikotomi pendidikan, antara pendidikan agama ditangani Departemen Agama dan pendidikan umum dibawah Dinas Pendidikan. Sehingga munculnya isu diskriminasi lulusan STAIN tidak bisa dihindari.

Ada baiknya mekanisme penerimaan CPNS tahun ini ditinjau ulang. Pengajuan berkas lamaran secara langsung masih layak untuk dipertimbangkan. Asalkan secara teknis bisa diatur sedimikian rupa sehingga tetap memberikan kemudahan kepada pelamar. Misalnya berkas lamaran dibagi kepada SKPD sesuai formasinya. Di dalamnya disusun meja sesuai formasinya sehingga tidak terjadi antrian panjang.
Secara nasional harus ada penyeragaman kebijakan agar tidak terjadi polemik di daerah-daerah. Paling tidak untuk cakupan lokal pemimpin pemda bertemu se wilayah III menyepakati adanya ketentuan umum yang tidak bertabrakan. (*)

**) penulis adalah seorang guru, tinggal di Kota Cirebon