SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Agustus 18, 2020

JEJAK ATLANTIS DAN MOMENTUM AVATAR INDONESIA


(Berburu Warisan Plato: Geologi Populer Cerita Atlantis yang Serba "Konon")

Oleh: Oki Oktariadi dan Oman Abdurahman (Badan Geologi Bandung)

Sering kita mendengar atau menikmati berbagai kisah serba “konon” tentang Atlantis, seakan mendengar cerita antah berantah atau layaknya dongeng pengantar tidur. Jarang dari kita yang tahu bahwa cerita Atlantis itu berasal dari Plato (428 SM – 348 SM) hampir dua ribu lima ratus tahun yang silam dalam bukunya Timaeus and Critias. 

Sejak ratusan tahun yang lalu hingga pertengahan abad 20 M, orang-orang di luar Indonesia yang terobsesi dengan kisah Plato itu hidup dalam “dunia konon”, berteori tentang benua yang hilang; mulai dari Bacon di pertengahan abad 17 M hingga Himmler, Ilmuwan Nazi, pada tahun 1939.

Francis Bacon tahun 1627 dalam novelnya, The New Atlantis (Atlantis Baru), mendeskripsikan komunitas utopia yang disebut Bensalem, terdapat di pantai barat Amerika. 

Karakter tempat dalam novel ini memberikan lukisan tentang Atlantis yang mirip dengan catatan Plato, namun tidak dijelaskan Bacon apakah pantai barat Amerika itu berada di Amerika Utara atau di Amerika Selatan.

Novel Isaac Newton tahun 1728, The Chronology of the Ancient Kingdoms Amended (Kronologi Kerajaan Kuno yang Berkembang), mempelajari berbagai hubungan mitologi dengan Atlantis. 

Pada pertengahan dan akhir abad ke-19, beberapa sarjana Mesoamerika, dimulai dari Charles Etienne Brasseur de Bourbourg, dan termasuk Edward Herbert Thompson dan Augustus Le Plongeon, menyatakan bahwa Atlantis berhubungan dengan peradaban Maya dan Aztek. 

Alexander Braghine tahun 1940 yang terpesona dengan cerita Atlantis dan menelusurinya melalui budaya Amerika Selatan, Eropa, Asia dan Afrika. Francesco Lopez de Gomara berani menyatakan Atlantis terletak di Amerika. 

Konsep Atlantis juga menarik perhatian ilmuwan Nazi untuk mengembangkan ide nasionalis. Pada tahun 1938, Heinrich Himmler mengorganisir sebuah pencarian di Tibet untuk menemukan sisa bangsa Atlantis putih. Menurut Julius Evola (Revolt Against the Modern World, 1934), bangsa Atlantis adalah manusia super atau Übermensch Hyperborea—Nordik yang berasal dari Kutub Utara. Dalam kaitan ini disebut-sebut pula Alfred Rosenberg (The Myth of the Twentieth Century, 1930) yang berbicara juga mengenai kepala ras “Nordik-Atlantis” atau “Arya-Nordik”.

Sejak Donnelly (1882) mempublikasikan Atlantis: the Antediluvian World, terdapat lusinan – bahkan ratusan – usulan lokasi Atlantis yang katanya berdasarkan hasil penelitian arkeologi, fisika, geologi, bahasa, dan keilmuan lainnya. 

Dari sekian banyak usulan beberapa yang terkenal berada di wilayah Eropa, Selat Gibraltar, dan sekitar Laut Hitam. Di wilayah Eropa kebanyakan lokasi yang diusulkan sebagai Atlantis itu berada pulau-pulau di Laut Tengah, yaitu: Sardinia, Kreta dan Santorini, Sisilia, Siprus, Malta, dan Kepulauan Canary di sekitar selat Gibraltar. Ada juga usualan yang berupa kota seperti: Troya, Tartessos, dan Tantalus (di provinsi Manisa), Turki; dan wilayah antara Israel-Sinai atau Kanaan. Di wilayah Eropa Utara, yaitu pulau pulau yang tenggelam di sekitar Swedia dan Irlandia juga dinyatakan sebagai Benua Atlantis yang hilang. 

Di selat Gibraltar-Samudera Atlantik usulan lokasi Atlantis itu adalah wilayah sekitar Kepulauan Azores dan Pulau Spartel yang telah tenggelam itu. Adapun di sekitar Laut Hitam, daerah yang diduga sebagai Atlantis adalah Bosporus, Ancomah, dan sekitar Laut Azov.

Argumentasi pengusulan lokasi-lokasi tadi sebagai Atlantis pada umumnya didasarkan pada Sejarah Yunani Kuno, kemajuan Bangsa Eropa masa kini, dan secara fisik pada Letusan besar Gunung Thera abad ke-17 atau ke-16 SM yang menyebabkan tsunami besar yang diduga menghancurkan peradaban Minoa di sekitar pulau Kreta. Para ahli Eropa beranggapan bencana seperti itu mungkin juga terjadi pada masa lalu yang menghancurkan Benua Atlantis. Argumen lain adalah kemampuan migrasi suatu bangsa ke berbagai belahan dunia terutama ke Benua Amerika, sebagaimana bangsa Viking untuk argumen pengusulan Eropa Utara sebagai Atlantis.

*Atlantis, Trapobane, dan Sundaland: Eksplorasi temuan Santos*

Dari sejumlah usulan yang ada tentang lokasi Atlantis nyatanya sampai kini belum ada yang berhasil dibuktikan sebagai bekas benua Atlantis yang sesungguhnya, walaupun lokasi-lokasi usulan tersebut memiliki kemiripan karakteristik dengan kisah Atlantis, misal: adanya bencana besar, pulau-pulau yang hilang, dan periode waktu yang relevan. 

Namun, tiba-tiba pada tahun 2005 muncul seorang saintis Brazil bernama Arysio Santos yang – setelah melakukan penelitian mendalam tentang benua-benua yang hilang – menyatakan bahwa “Atlantis: Benua yang hilang itu sudah ditemukan” (Atlantis: the Lost Continent Finally is Found). Sebab kitapun mungkin akan tersentak, penelitian selama 30 tahun itu bermuara pada kesimpulan bahwa benua Atlantis yang hilang itu tenggelam di wilayah Indonesia, yaitu di Sundaland, hingga hanya menyisakan puncak-puncak yang membentuk pulau-pulau dalam sabuk gunung api.

Kesimpulan tersebut berawal dari keyakinan Prof. Santos-saintis Brazil itu – bahwa “Pilar-pilar Herkules” sebagai Selat Sunda; dan Taprobane sebagai “Benua Atlantis” pada zaman es (Pleistosen) atau sebagai “Pulau Sumatera” pada akhir zaman es (Holosen). “Pilar-pilar Herkules” dan ”Taprobane” adalah dua diantara ciri-ciri Atlantis yang hilang yang diceritakan oleh Plato. Menurut Santos, Taprobane adalah Sundaland yang dikisahkan kaya dengan emas, batuan mulia, dan beragam binatang termasuk gajah. 

Kita tahu, Sundaland adalah wilayah yang meliputi Indonesia bagian Barat sekarang, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya, termasuk laut-laut di antaranya; atau sebagian besar wilayah Asia Tenggara saat ini.

Di Taprobane inilah, kata Santos, terdapat Kota Langka, ibukota kerajaan Atlantis. Langka dianggap sebagai lokasi awal Meridian 00 yang tepat berada di atas pusat Sumatera sekarang. 

Tradisi Yunani tentang pulau Taprobane sebenarnya merujuk kepada tradisi Hindu. Taprobane dalam tradisi Hindu adalah benua yang tenggelam yang merupakan tempat dari mana bangsa Dravida berasal dan berada di khatulistiwa. 

Nama “Taprobana Insula” dipopulerkan oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad 2 M. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobane terdapat negeri Barousai yang – menurut Santos – kini dikenal sebagai kota Barus di pantai barat Sumatera. Kota Barus terkenal sejak zaman purba (Fir’aun) sebagai penghasil kapur barus. Namur demikian, serta merta banyak penolakan terhadap pendapat Santos tersebut.

Penolakan terhadap argumentasi Santos pada mulanya adalah suatu keniscayaan karena sangat berjarak dengan alam pikiran umumnya manusia Indonesia. Hal ini didukung pula oleh fakta bahwa hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’. 

Artinya kebudayaan Indonesia tumbuh subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain. Karena itu pula wajar jika banyak geolog Indonesia dengan serta merta menolak pendapat Santos, selain ada pula yang menerimanya. 

Sayangnya penolakan dan penerimaan hipotesis Santos tersebut dilakukan tanpa argumentasi sesuai proses ilmiah yang benar yang dipublikasikan melalui majalah atau jurnal ilmiah terakreditasi di masing-masing lingkungan keilmuaannya. 

Lain halnya para peneliti Eropa dan Amerika yang selalu memberikan respon melalui jurnal ilmiah, konfrensi, atau simposium internasional sehingga data dan argumentasi yang diajukannya dapat teruji secara ilmiah.

*Penelitian DNA Oppenheimer mendukung Santos*

Argumentasi Santos masih memerlukan verifikasi dan validasi, baik keseluruhannya maupun masing-masing indikatornya. Salah satu validasi data yang dapat digunakan untuk membuktikan hipotesis Santos datang dari Stephen Oppenheimer, seorang dokter ahli genetik yang belajar banyak tentang sejarah peradaban. 

Oppenheimer sependapat dengan Santos bahwa kawasan Asia Tenggara adalah tempat cikal bakal peradaban kuno dan bahwa Atlantis yang hilang itu itu berada di Sundaland. Menurutnya, kemunculan peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara akibat berakhirnya Zaman Es. 

Bagi peneliti lain pendapat Oppenheimer sepertinya kontroversial, padahal, tesisnya sarat didukung oleh data yang diramu dari hasil kajian arkeologi, etnografi, linguistik, geologi, maupun genetika. Oppenheimer membutuhkan waktu 10 tahun untuk menghasilkan sebuah buku berjudul “Eden in the East, the Drowned Continent of Southeast Asia” yang memuat argumentasi bahwa Atlantis yang hilang itu adalah Sundaland. Kekuatan argumen Oppenheimer terletak pada hasil penelitian DNA yang menentang teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia Tenggara sekarang (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 tahun yang lalu (zaman Neolithikum).

Salah satu sanggahan terhadap Oppenheimer datang dari para ahli bidang mitologi (Association for Comparative Mythology) dalam sebuah konferensi internasional yang berlangsung di Edinburgh 28-30 Agustus 2007. 

Tema konferensi internasional tersebut adalah ”A new Paradise myth? An Assessment of Stephen Oppenheimer’s Thesis of the South East Asian Origin of West Asian Core Myths, Including Most of the Mythological Contents of Genesis 1-11”. Binsbergen salah seorang pemakalah dalam konferensi itu menyanggah Oppenheimer dengan argumentasi yang juga berdasarkan complementary archaeological, linguistic, genetic, ethnographic, dan comparative mythological perspectives.

Menurut Binsbergen, Oppenheimer hanya mendasarkan Sundaland yang ia hipotesiskan sebagai prototip mitologi Asia Tenggara atau Oseania hanya berdasarkan mitologi Asia Barat (Taman Firdaus, Adam dan Hawa, kejatuhan manusia dalam dosa, Kail dan Habil, Banjir Besar, Menara Babel).

Namun bantahan Binsbergen ini dipatahkan kembali oleh Richards et al., (2008) yang menulis makalah pada sebuah jurnal berjudul “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia”. 

Richards menunjukkan bahwa penduduk Taiwan justru berasal dari Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland. Demikian pula ciri garis-garis DNA menunjukkan migrasi ke Taiwan pada arah utara, ke New Guinea dan Pasifik pada arah timur, dan ke daratan utama Asia yang di mulai pada 10.000 SM. Menunjukkan penyebaran populasi yang bersamaan dengan naiknya muka laut di wilayah Sundaland.

Dukungan lainnya terhadap Oppenheimer muncul berdasarkan hasil penelitiannya Soares et al., (2008) pada jurnal “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam makalah berjudul: “Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia”. 

Soares et al.menunjukkan bahwa haplogroup E, suatu komponen penting dalam salah satu bagian dari DNA, yaitu mitokondria, berevolusi selama 35.000 tahun terakhir dan secara dramatik tiba-tiba pada awal Holosen menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara, bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi lautan. Komponen tersebut mencapai Taiwan dan Oseania lebih baru lagi, yaitu sekitar 8.000 tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa global warning dan sea-level rises pada ujung Zaman Es 15.000–7.000 tahun yang lalu merupakan penggerak utama human diversity di wilayah ini.

Pendapat Oppenheimer dan ahli-ahli yang dapat dianggap mendukungnya, telah memperkuat argumentasi Santos dan memperjelas penemuan berbagai artefak yang penuh misteri seperti penemuan keris di sebuah kuil purba di Okinawa Jepang, penemuan keris purba di Rusia, kendi purba di Vietnam, Kemboja, dan Pahang; gendang Dong Son dan Kapak Tua Asia Tengah, dan penemuan kota purba yang dinamakan Jawi atau Jawa di Jordania.

Pada gambar menunjukkan para arkeolog sedang memperkirakan usia kota purba Jawa di Yordania dengan metode karbon. Hasilnya menunjukkan kota purba tersebut berumur 4000 SM. 

Demikian pula pahatan gambar sepasang kerbau atau seorang pria dengan tanduk kerbau muncul juga dalam ikonografi dari Sumeria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau di Sumeria adalah jenis kerbau rawa-rawa Asia. Situs arkeologi kerbau Sumeria tersebut berumur 3000 SM.

Selain itu, berdasarkan hasil test DNA dapat terjawab pula misteri asal usul bahasa Austronesia. Semula, bahasa Austronesia diduga berasal dari Taiwan, namun dengan bukti-bukti dari hasil riset DNA itu justru sebaliknya bahwa bahasa Austronesia pun berasal dari Sundaland dan dapat diduga pula sebagai bahasa dari bangsa Atlantis atau Taprobane. 

Kita ketahui bahwa sebelum 1500 SM bahasa Austronesia termasuk salah satu keluarga bahasa yang paling banyak tersebar di dunia dengan tingkat penyebaran lebih dari setengah jarak keliling dunia, yaitu dari Madagaskar ke Kepulauan Easter. Sekarang, kelompok penutur bahasa Austronesia adalah hampir atau semua populasi asli Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Madagaskar juga dapat ditemukan di Taiwan, di bagian selatan Vietnam dan Kamboja, Kepulauan Mergui, Kepulauan Hainan di selatan Cina.

Lebih jauh ke arah timur, bahasa Austrronesia pun dituturkan di beberapa wilayah pantai di Papua Nugini, New Britain, New Ireland, dan di bagian rantai Kepulauan Melanesian yang melewati Kepulauan Solomon dan Vanuatu; juga New Caledonia dan Fiji serta mencakup semua bahasa Polinesia. Penyebaran bahasa Austronesia kea rah utara mencakup semua bahasa Mikronesia. Sekitar dua juta penutur bahasa Austronesia hidup di daerah garis barat yang ditarik dari utara ke selatan sekitar 130º garis bujur timur, memanjang dari arah barat Kepulauan Caroline ke arah timur Bird’s Head di Pulau New Guinea dan berhubungan erat dengan lebih dari 500 bahasa pada sisi garis pembagi 130º garis bujur timur.

Diperkirakan terdapat antara 1.000 sampai 1.200 varian bahasa Austronesia, berdasarkan kriteria bahasa yang membedakannya lebih jauh dan dialek. Bahasa-bahasa ini dituturkan oleh sekitar 270 juta orang dengan persebaran yang benar-benar tidak merata. 

Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004) menyebut kelompok masyarakat berbahasa Austronesia ini sebagai perintis yang merajut kepulauan di Asia Tenggara ke dalam sistem perdagangan global. 

Dengan kemampuannya tersebut, sangat beralasan jika para ahli bahasa beranggapan bahwa Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut dalam “mitos” Plato. 

Lebih jauh lagi, berbagai penelusuran di atas ternyata segala mitos dan tradisi-tradisi suci pada semua bangsa di seluruh dunia, semuanya menuju ke suatu daerah, yaitu kawasan tempat asal mula Bangsa Austronesia sebagai dataran-dataran rendah Atlantis Eden yang sekarang tenggelam berada di bawah permukaan laut.

Kalau memang Atlantis (Taprobane) benar berada di Sundaland, maka bangsa Austronesia itu tidak lain adalah Bangsa Atlantis dan diduga memiliki kekuasaan tidak hanya di Sundaland, tetapi meliputi pula wilayah luas sesuai dengan pola penyebaran bahasa Austronesia. 

Pengaruh lebih luas terjadi ketika zaman es berakhir yang ditandai dengan tenggelamnya ‘benua Atlantis’, ketika bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru dunia. Mereka lalu menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau.

Salah satu contoh penyebaran bangsa Austronesia ke seluruh dunia yang dibuktikan secara genetik adalah keberadaan suku Zanj – termasuk orang-orang Malagasi – yang merupakan ras Afro-Indonesia yang menetap di Afrika Timur sebelum kedatangan pengaruh Arab atas Swahili. 

Hal tersebut dibuktikan berdasarkan hasil test kromosom cDe orang Malagasi yang menunjukkan 62% gen Afrika dan 38% gen Indonesia, sementara kromosom cDe pada umumnya disana menunjukkan 67% gen Afrika dan 33% gen Indonesia. Suku Zanj umumnya mendominasi pantai timur Afrika hampir sepanjang millennium pertama masehi. Kata Zanj merupakan asal dari nama bangsa Azania, Zanzibar dan Tanzania. Ada dugaan yang mengarahkan kesamaan Zanj Afrika dengan Zanaj atau Zabag di Sumatera. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.

*Atlantis Sundaland dan Budaya Maritim*

Alat transportasi laut (kapal purba ) ada di relief candi Borobudur.

Diduga kapal tersebut pernah mendominasi perdagangan pada masanya.

Sejak 5000 tahun sebelum Masehi hingga awal Masehi, bangsa Atlantis yang tersisa mengalami perubahan orientasi budaya dari budaya kontinental menjadi budaya maritim, yaitu budaya yang lebih terbuka dan toleran sehingga mudah menyesuaikan diri dengan wilayah samudera lainnya. Budaya maritin pada saat itu dikenal sebagai pelaut Nusantara. Hipotesis di atas juga diperkuat oleh Dick-Read (2008) dalam bukunya yang berjudul “Penjelajah Bahari”. 

Hasil penelusurannya menemukan bukti-bukti mutakhir bahwa pelaut Nusantara pada awal tahun Masehi telah menaklukkan samudra Hindia dan berlayar sampai Afrika jauh sebelum bangsa Eropa, Arab, dan Cina memulai penjelajahan bahari mereka. Antara abad ke-5 dan ke-7 M, kapal-kapal Nusantara banyak mendominasi pelayaran dagang di Asia. 

Pada waktu itu perdagangan bangsa Cina banyak bergantung pada jasa para pelaut Nusantara. Adalah fakta bahwa perkapalan Cina ternyata banyak mengadopsi teknologi dari Indonesia, sebagai contoh: kapal Jung. Demikian pula nelayan Madagaskar dan pesisir Afrika Timur banyak menggunakan Kano, sejenis perahu yang mempunyai penyeimbang di kanan-kiri, yang mirip perahu khas Asia timur.

Hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut Indonesia pada masa pasca zaman Es atau masa akhir keberadaan Atlantis. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia di abad ke-5 M dari Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun yang lalu nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati. 

Tesis Dick-Read bahkan lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan di Mediterania.

Banyaknya jejak kebudayaan di seluruh Afrika seperti adanya keterkaitan antara kebudayaan suku Bajo dan Mandar di Sulawesi dengan Suku Bajun dan Manda di pesisir Afrika Timur. Bukti lain pengaruh Indonesia terhadap perkembangan Afrika adalah banyaknya kesamaan alat-alat musik dengan yang ada di Nusantara. 

Di sana, ditemukan sebuah alat musik sejenis Xilophon atau yang kita kenal sebagai Gambang dan beberapa jenis alat musik dari bambu yang merupakan alat musik khas Nusantara. Malahan gambang ditemukan di Sierra Lions letak sebuah negara di wilayah pesisir Afrika Barat. 

Selain itu juga adanya kesamaan pada seni pahat patung milik suku Ife di Nigeria dengan patung dan relief perahu yang ada di Borobudur.

*Ikonik Atlantis di Bumi Indonesia*

Penelusuran jejak Atlantis di Indonesia saya kira cukup memberikan gambaran atau alasan untuk melakukan pembenaran bahwa Atlantis yang hilang itu terletak di kawasan Indonesia, walaupun masih banyak jejak-jejak yang perlu ditelusuri dan diungkap sebagai bukti atau fakta-fakta yang menguatkan. Fenomena Atlantis di Indonesia nyatanya telah mempengaruhi pola fikir arkelog kita dalam melakukan penilaian dan pengungkapan berbagai artefak baru, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus Aris Munandar Dosen Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ia menduga bahwa di lereng Gunung Dempo Sumatera Selatan – yang dikemukakan Santos sebagai salah satu puncak gunung Atlantis – terdapat situs prasejarah yang kronologinya dapat lebih tua dari kebudayaan perunggu Dong-son yang berumur 300 SM. Situs itu adalah Pasemah yang berumur 3.000 SM.

Disebut “Pasemah Warrior” karena berada di wilayah Pasemah, Gunung Dempo, yang menunjukkan pria dengan busana warrior (pahlawan). 

Sebuah ikon yang tidak dikenal dalam kebudayaan prasejarah manapun, baik di Asia Tenggara, Cina, ataupun India. Sementara itu sejumlah topeng perunggu dari Goa Made Jombang Jawa Timur memperlihatkan topi perang yang tidak pernah dikenali dalam kebudayaan prasejarah di Asia atau pun dunia. 

Agaknya topeng itu merupakan topi logam pelindung kepala dengan dilengkapi bagian yang mencuat di puncak kepalanya. Kronologi akurat menyimpulkan bahwa benda-benda perunggu itu ada yang berasal dari tahun 3000 SM. Demikian pula arca-arca pilar di Lembah Bada Sulawesi Tengah sebenarnya juga menggambarkan topeng yang wajahnya mirip dengan topeng-topeng perunggu di Goa Made, wajah asing yang bukan Malayan-Mongoloid.

Ketiga lokasi artefak tersebut (Pasemah-Gunung Dempo, Goa Made-Jombang, dan Lembah Bada – Sulawesi Tengah) terletak di pedalaman, di dataran yang relatif tinggi dari daerah sekitarnya, seakan-akan sengaja dibuat di suatu ketinggian. Menurut Agus Aris Munadar kemungkinan hal itu untuk menghindari terjadinya kembali gelombang besar dari lautan yang menerjang daerah-daerah rendah.

Selanjutnya Agus pun menyatakan apabila ketiga situs di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi itu dihubungkan dengan garis maya, maka terdapat bentuk segi tiga. Dalam peta wilayah yang menjadi bagian dalam segitiga itu terdapat Laut Jawa yang diduga oleh Santos sebagai bekas dataran agung Atlantis yang menjadi laut pada sekitar 11.600 tahun yang lalu. 

Perkembangan sejarah Indonesia saat ini menunjukkan arus balik pola pikir yang dapat mengarah pada paradigma baru sehingga diperlukan penelusuran dan rekontruksi sejarah yang sesungguhnya. Sebab, kisah pengembaraan bangsa Indonesia berpotensi untuk menjadi sebuah epik yang teramat panjang, lebih panjang dari epik Homer, The Iliad and the Odyssey sehingga disana banyak ruang yang belum terisi atau missing link.

*Memanfaakan Isu Atlantis untuk Pariwisata*

Hasil penelitian Santos dan Oppenheimer adalah pintu masuk untuk menyusun kembali tulang belulang yang berserakan dengan metode keilmuan yang benar, walaupun membutuhkan waktu yang panjang dan berliku. 

Sementara itu popularitas Indonesia yang sudah dibangun oleh Santos dan Oppenheimer secara gratis dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kepariwisataan Indonesia tidak harus menunggu pembuktian karena tidak ada yang salah dengan mitologi, apalagi argumen Santos dan Oppenheimer sudah lebih maju. 

Tugas Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata lah yang harus mengelola dan memanfaatkan situasi ini dengan baik. Sudah banyak negara lain seperti Spanyol, Cyprus, Uni Emirat Arab, dan lainnya menghadapi situasi dan kondisi seperti yang dihadapi Indonesia saat ini. Namun, mereka memanfaatkan situasi dan kondisi itu untuk berbagai kepentingan bangsanya. 

Cyprus sukses mendatangkan wisatawan pencari Atlantis setelah seorang Arkelog Cyprus, Flurentzos, membuat artikel berjudul: ”Statement on the alleged discovery of atlantis off Cyprus”. Walaupun mendapat penolakan dari Santos, sampai saat ini Cyprus mampu mendatangkan wisatawan Atlantis karena tulisan tersebut menggambarkan Cyprus sebagai lokasi Atlantis yang hilang itu. 

Hal yang sama dilakukan Spanyol. Setelah banyak hasil penelitian yang menghipotesiskan Selat Gilbaltar sebagai selat sempit yang dianggap sebagai ”pilar-pilar Hercules”, serta merta pemerintahnya menyambut dan membuat berbagai objek wisata yang dikaitkan dengan ikon-ikon Atlantis yang hilang itu, seperti pilar-pilar Herkules pada obyek Wisata The Pillars Of Hercules. Fungsi sebenarnya dari perwujudan ikon-ikon Atlantis itu tiada lain untuk menarik wisatawan.

Penelitian Atlantis terkini di Indonesia, di antaranya dilakukan NASA, NOAA, dan sejumlah penelitian oseanografis yang dilakukan dengan kapal selam, telah menemukan jejak-jejak di dasar laut. Jejak-jejak tersebut berhasil memverifikasi bahwa pada Zaman Es, Laut Jawa, dan Selat Sunda merupakan dataran yang luas. 

Paparan laut Jawa – dataran yang luas itu – berbentuk persegi empat berukuran sekitar 600 x 400 km2, persis sama dengan gambaran Plato tentang “Dataran Agung Atlantis”. Dataran seluas itu memang sangat langka di dunia. Pulau-pulau Indonesia yang ada sekarang, pada Zaman Purba, yaitu di akhir Zaman Es, merupakan dataran tinggi dan puncak-puncak gunung yang tersisa ketika permukaan laut di seluruh dunia naik antara 130 m hingga 150 m dan menenggelamkan dataran-dataran rendahnya. Dataran Atlantis diduga berada di kedalaman sekitar 60 m di bawah permukaan laut kini.

Bagi Pemerintah Indonesia hipotesis Atlantis di Sundaland dari Santos, Oppenheimer, dan para pendukungnya itu adalah sebuah promosi gratis tentang wisata ilmiah. 

Apabila dikelola dengan baik, terutama oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Kementerian Pendidikan, maka hal itu dapat memperkaya dunia wisata dan jumlah kunjungan wisatawan, khususnya wisata ilmiah (scientist tourism) yang di negara kita belum begitu berkembang dan terkelola dengan baik. Untuk itu, serangkaian kegiatan wisata atau pun ilmiah dapat dilakukan di lokasi-lokasi yang diduga kuat sebagai peninggalan-peninggalan Atlantis di Sundaland dapat dilaksanakan.

Salah satu objek wisata Atlantis yang memiliki prospek cukup baik adalah Selat Sunda karena diduga adanya keterkaitan lokasi tersebut dengan ”pilar-pilar Herkules” sebagaimana dikatakan Plato. 

Santos pun dalam bukunya sering mengatakan bahwa Selat Sunda sebagai selat sempit yang diduga sebagai salah satu penyebab terpisahnya Pulau Sumatera dan Pulau Jawa, serta pemungkas Zaman Es. 

Di kedua belah sisi selat Sunda terdapat banyak Gunung Api yang dikiaskan Plato sebagai ”pilar-pilar Herkules”. Seiring dengan rencana pembangunan jembatan Sumatera-Jawa, diharapkan penamaan jembatan tersebut dapat dikaitkan dengan fenomena Atlantis agar dapat menambah daya tarik wisatawan mancanegara. 

Penamaan jembatan Sumatera-Jawa dengan menggunakan ikon Atlantis juga sebagai simbol kembalinya kejayaan Atlantis dalam bentuk kesatuan Republik Indonesia. Sebagai contoh nama jembatan tersebut dapat saja menggunakan nama: ”Taprobane bridge” atau ”Hercules bridge” atau nama lain yang memuat ikon-ikon Atlantis.

*Isu Atlantis di Sundaland dan Avatar Indonesia*

Pada akhirnya, upaya kita melakukan promosi bahwa Atlantis yang hilang itu adalah Sundaland bukan untuk membangkitkan kebanggaan sempit yang didorong oleh emosi, melainkan sebagai pembelajaran sejarah sambil mengembangkan nalar sehingga kita mampu memecahkan persoalan yang kita hadapi sekarang dan menyongsong masa depan yang lebih baik. Inilah pandangan avatar atau representasi Atlantis yang hilang itu didalam Indonesia kini, yakni inkarnasi Indonesia yang sebenarnya, yang sepantasnya, mengingat kejayaan masa lalunya di zaman Atlantis itu; dan segenap potensinya dalam menghadapi masa kini dan masa depan.

Sebagaimana avatar yang dimengerti oleh James Cameron, avatar Indonesia semestinya secara fisik, emosional-spritual dan intelektual adalah sosok baru dengan sebuah sinergi atau larutan atau hibrida baru yang dapat menghadapi perkembangan dunia yang dinamis; dan mampu merebut ruang dan waktu barunya sendiri ke depan karena tersambung dengan

masa lalunya yang gemilang. Semua itu dimulai dengan perhatian terhadap sejarahnya, yakni ruang dan waktu lebih dari 10.000 tahun yang lalu ketika masyarakat yang menempatinya menjadi sumber dari seluruh ras dan peradaban dunia. Atlantis dan Trapobane yang menjadi Avatar Indonesia kini semestinya menguak kembali potensi sejarah Indonesia yang benar

Sejarah yang selama ini memutus hubungan Indonesia terhadap Atlantis itu mungkin memang sengaja dibuat oleh kolonialis. Namun, kita tidak menyalahkan siapa-siapa karena memang watak kolonialisme itu diantaranya adalah penghancuran identitas suatu bangsa. Kalaupun ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali “tidak meyakinkan” untuk dapat dikatakan sebagai pewaris bangsa Atlantis, maka hal itu wajar saja sebagai suatu proses maju atau mundurnya peradaban dalam ruang dan waktu lebih dari 10.000 tahun. Apa yang diperlukan kini adalah bangkit dalam kemerdekaan kedua berkaitan dengan sejarahnya dan mengisinya dengan suatu keyakinan dan pandangan baru. Sebagaimana Avatar-nya Cameron yang menggambarkan perkembangan kehidupan dan peradaban yang seharusnya, maka Avatar Indonesia yang tersambung ke Atlantis itu seharusnyalah mewujudkan kembali kejayaan lamanya.

Penulis pertama (okigtl@yahoo.com) bekerja pada Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi

Penulis kedua (omanarah@gmail.com), bekerja pada Sekretariat Badan Geologi, Badan Geologi.

Sumber : http://www.bgl.esdm.go.id/dmdocuments/warta201001.pdf