SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

November 25, 2014

MENANTI GEBRAKAN REVOLUSI MENTAL PENDIDIKAN

Oleh :
Deny Rochman, S.Sos.,M.Pd

Revolusi mental tampaknya menjadi senjata pamungkas bagi Presiden Joko Widodo dalam melakukan bersih-bersih pemerintahannya. Bisa jadi paradigma ini lahir setelah pengusaha kayu tersebut memasuki dunia baru, dari seorang entrepreneur menjadi seorang birokrat sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta.  Selama menjadi orang nomor satu di pemerintahan daerah Jokowi melihat, berbagai persoalan bangsa bermuara dari problem mentalitas para petinggi pemerintah.


Menjawab berbagai persoalan birokrasi, membuat Jokowi menentukan pilihan calon menteri kabinetnya adalah orang-orang yang punya visi perubahan dan bisa bekerja cepat. Mempercepat penyelesaian berbagai persoalan yang mendera bangsa ini, termasuk persoalan yang krusial dalam dunia pendidikan. Anies Baswedan, satu diantaranya yang dianggap Jokowi sebagai tokoh yang mampu mengatasi masalah-masalah pendidikan, sehingga menempati jabatan Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah pada 26 Oktober 2014.

Potret pendidikan bangsa ini belum cukup menggembirakan, jika tidak boleh disebut memprihatinkan. Memprihatinkan dalam perspektif revolusi mental. Kekerasan, pelecehan seksual, pencabulan, merokok, minuman keras, pencurian, kebohongan hingga praktek kolusi, korupsi dan nepotisme telah banyak mengiasi halaman utama media massa. Berbagai problem tersebut bersumber dari krisis moralitas.

Keringnya spiritualitas manusia Indonesia terbentuk melalui proses yang panjang. Ini akibat kurang diperhatikannya pembangunan mentalitas yang kerap diabaikan oleh Pemerintahan Orde Baru yang lebih menekankan pada pembangunan fisik. Begitu juga 17 tahun reformasi belum mampu mengatasi berbagai persoalan sosial, pendidikan, politik, hukum dan birokrasi. Reformasi masih berkutat kepada penataan institusi kelembagaan pemerintahan.

PENTINGNYA MENTALITAS

Lalu, seberapa pentingkah revolusi mental dalam mereformasi system bangsa ini? Revolusi mental memiliki relevansi dengan pendidikan karakter, budi pekerti, moral atau akhlak. Esensi pendidikan itu kepada perubahan sikap, perilaku dan cara berfikir seseorang kepada hal yang positif. Mental menjadi hal yang sangat penting karena mempengaruhi perilaku seseorang. Jika mental baik maka perbuatan orang tersebut akan menjadi baik, berpihak kepada kebenaran.

Pentingnya mentalitas dalam pendidikan menjadi perhatian banyak pihak, termasuk dalam agama pun sangat menekankan pendidikan akhlak. Sebut saja tokoh spiritual India Mahatma Gandhi, Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt dan banyak lagi. Dalam agama pun ditegaskan, sebaik-baiknya manusia adalah yang baik akhlaknya. Itu artinya, rusaknya mental, moralitas bangsa menjadi barometer maju mundurnya sebuah bangsa.

Thomas Lickona - seorang profesor pendidikan dari Cortland University - mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas.

Selain itu, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, menurunnya etos kerja, semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, membudayanya ketidakjujuran, dan adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda jaman tersebut sudah ada di Indonesia.

Pentingnya mentalitas, sehingga menjadi poin penting dalam kriteria guru professional. Seorang guru professional selain memiliki kompetensi pedagogik, sosial dan professional, juga harus memiliki kompetensi kepribadian. Kompetensi yang terakhir ini sangat lekat dengan mentalitas. Itu artinya, guru yang baik kepribadiannya akan melahirkan siswa didik yang baik. Guru yang pintar akan melahirkan peserta didik yang pintar. Begitu juga sebaliknya.

POLITIK PENDIDIKAN
Paradigma revolusi mental Jokowi boleh jadi bukan barang baru bagi sejarah pendidikan nasional. Pada era Orde Baru kurikulum pendidikan nasional sudah diterapkan Pendidikan Budi Pekerti, Agama, Pendidikan Moral Pancasila dan sebagainya. Pada era reformasi Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali menekankan pentingnya pendidikan karakter bangsa dalam kurikulum sekolah, baik diajarkan secara terpadu maupun mandiri.

Namun landasan filosofi pendidikan nasional bersandarkan pada mentalitas dan karakter serta nilai-nilai agama, tetapi belum bisa terinternalisasi dalam kehidupan secara baik. Malah tren yang berkembang, patologi social semakin hari semakin banyak dijumpai di sekitar kita. Berbagai teori, konsep, kurikulum dan kebijakan pendidikan hanya bagus dalam tulisan dan retorika belaka. Masih tumpul sebagai pendekatan solusi masalah social yang mencuat.

Dalam implementasinya masih berjalan apa adanya bahkan terkesan asal jalan dan membiarkan, serta belum terintegrasi dan mendapat dukungan dari berbagai pihak. Mentalitas “proyek” masih menjadi virus yang menggerogoti mengganggu sistem birokrasi bangsa ini sehingga semua program berjalan secara formalitas tanpa makna.

Untuk mendukung idealisme program kerja pemerintah maka diperlukan adanya revolusi mental bangsa ini, khususnya mereka pengambil kebijakan di semua lini. Apabila mentalitas birokrasi sudah diperbaiki, maka akan berimplikasi kepada bawahannya dan pelaksanaan program-program dilapangan. Harapan itu yang hendak diberikan oleh Pemerintahan Jokowi-JK melalui kabinet kerjanya. Disinilah perlunya political will pemerintah dalam memperbaiki dunia pendidikan nasional.

Politik pendidikan menjadi sangat penting dalam mengatasi persoalan pendidikan. Karena semua program pendidikan nasional berawal dari “produk politik” yang diprakarsai apakah oleh eksekutif atau legislative atas aspirasi yang berkembang. Kasus ujian nasional, misalnya, sekalipun kontroversial, walaupun sempat akan dihentikan, namun proses politik di DPR membuat sistem evaluasi nasional tersebut tetap dilaksanakan. Hal sama kebijakan sertifikasi guru dan kurikulum 2013 (kurtilas) yang berhasil diketok palu karena ada proses politik di gedung Dewan, sekalipun mengundang pro dan kontra.

Termasuk political will dalam memproteksi kurtilas sebagai kebijakan dipenghujung pemerintahan SBY. Sekalipun sejumlah pihak menegaskan bahwa esensi nilai-nilai kurtilas sangat relevan dengan konsep revolusi mental Presiden Jokowi. Harapan baru kurtilas karena mengajarkan ranah pengetahuan, sikap dan ketrampilan bagi siswa sehingga melahirkan siswa yang cerdas berkarakter. Ini bisa diterapkan manakala revolusi mental sudah terjadi pada guru-guru di sekolah.

Begitu juga dengan semangat revolusi mental Pemerintah Jokowi. Jika tidak diproteksi dengan kebijakan dan kekuatan politik maka paradigma itu hanya laku pada saat kampanye, hanya rame saat diseminarkan dan hanya ideal ditataran konsep. Melalui kementerian pendidikan, Anies Baswedan tampaknya akan mampu melakukan revolusi mental dalam dunia pendidikan. Walaupun secara kompetensi akademik, pria kelahiran Kuningan Jawa Barat ini bukan murni dari ilmu pendidikan.

Semangat perubahan progresif yang sering diteriakan oleh penggagas program Indonesia Mengajar ini. Sebuah terobosan program antitesis terhadap ironi wajah pendidikan negeri ini. Program pengiriman guru-guru muda berbakat untuk mengajar ke daerah-daerah terpencil. Sebuah modal besar untuk memberesi masalah pendidikan, khususnya untuk pemerataan akses pendidikan di tanah air.

Dalam kondisi pendidikan bangsa yang carut marut memang membutuhkan orang-orang yang gila kerja, visioner, kreative dan memiliki komitmen yang kuat, sekalipun harus menabrak sesuatu yang selama ini tabu. Pengalaman dan prestasi kerja menjadi hal yang lebih penting dalam kerja kabinet daripada latar belakang pendidikan, seperti rekam jejak pendidikan Anies Baswedan yang bukan dosen pendidikan.

Latar belakang pendidikan Anies sebagai master dan doctor dalam bidang ekonomi politik dan kebijakan publik membuat Rektor Universitas Paramadina ini bisa diharapkan dalam membongkar kebijakan politik pendidikan di dalam kementeriannya. Kebijakan yang akan melakukan revolusi mental jajaran birokrasinya, sehingga melahirkan program kerja pendidikan berorientasi mutu dan mensejahterakan. Bukan program kerja berbasis “proyek” atau program berbasis “kebutuhan perut”. Selamat bekerja, kabinet kerja ! (*)

*) Penulis adalah guru SMP Negeri 4 Kota Cirebon