SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Mei 01, 2009

BENARKAH PEMERINTAHAN USTMAN BIN AFFAN SARAT NEPOTISME?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus tahu apa itu nepotisme? Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karya WIS Poerwadarminta (2005), nepotisme adalah tindakan mementingkan (menguntungkan) sanak saudara atau teman-teman sendiri, khususnya dalam pemerintahan. Pertanyaan selanjutnya, benarkah Ustman bin Affan nepotisme, manusia pilihan pemimpin khalifah Islam sepeninggal Umar bin Khatab? Rasanya sulit untuk dipahami jika seorang beriman sekaliber Ustman dinilai kepemimpinannya penuh dengan nepotisme.

Utsman Bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar Bin Khaththab menjelang wafatnya. Saat menduduki amanah sebagai khalifah Ustman berusia sekitar 70 tahun. Pada masa pemerintahannya, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama. Faktor-faktor ekonomi semakin mudah didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju pola hidup masyarakat perkotaan.

Dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagi alasan motif nepotisme tersebut adalah sebagai berikut :
a. Muawiyah Bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam, Beliau termasuk Shahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.
b. Pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman.
c. Pimpinan Kuffah, Sa’ad Bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid Bin ‘Uqbah, saudara tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id Bin ‘Ash. Sa’id sendiri merupakan saudara sepupu Utsman.
d. Pemimpin Mesir, Amr Bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, yang masih merupakan saudara seangkat ( dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Utsman.
e. Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.
f. Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.

Beberapa penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Utsman tersebut bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan terhadap tindakan Utsman tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai contoh salah satu bentk rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman mengangkat wali-wali negeri dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah kekuasaannya melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya. Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Utsman semakin meluas. Demikian juga tanggungjawab dakwah dimasing-masing wilayah tersebut. Bisa kita bayangkan jika “ekspansi” Islam ke daerah lain tidak didukung personil yang jelas komitmen dan loyalitasnya, yang terjadi bukan memajukan tetapi malah menghancurkan dari dalam.

Dengan kata lain, dalam konteks manajemen, mengangkat pekerja berdasarkan kekerabatan bukan hal yang salah. Kemungkinan pengenalan karakteristik anggota keluarga jelas lebih baik dibandingkan melalui seleksi dari luar keluarga. Jika hal tersebut menyangkut kinerja dan harapan ketercapaian tujuan dimasa mendatang jelas pemilihan bawahan dari pihak keluarga tidak bertentangan dengan sebuah aturan apa pun. Artinya secara mendasar nepotisme sendiri bukan merupakan sebuah dosa. Namun demikian kata “nepotisme’ dewasa ini telah mengalami perubahan makna substansial menjadi perbuatan negative. Bukan hanya bagi Indonesia, namun bagi sejumlah negara “pendekatan kekeluargaan” tersebut telah menempati urutan teratas bagi kategorisasi “dosa-dosa politis” sebuah rezim kekuasaan.

Oleh karena itu maka penjelasan bahwa pemilihan anggota keluarga untuk menempati struktur kepemimpinan dalam kasus khalifah Utsman dengan rasionalisasi pengenalan karakteristik, jelas kurang relevan diterapkan pada masa ini, walaupun bukan berarti tidak benar. Kalau pun ada pihak tetap menyebut pemerintahan Utsman penh nepotisme, bisa saja itu sebagai nepotisme yang baik, halal dan positif. Buktinya, berkat gaya pemerintahannya itu Ustman mampu mengembangkan Islam lebih baik lagi.

Selama pemerintahan Ustman, wilayah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran dilautan. Artinya, langkah Ustman memilih pejabat pemerintahan dari familinya untuk membangun kepercayaan dan memudahkan program pemerintahannya berhasil dengan baik. Apalagi gerakan perlawanan atas Ustman saat menjadi khalifah semakin kuat.