SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

September 15, 2025

INTUISI MENYEMPURNAKAN ILMU

Bagi sebagian banyak orang, keputusan kuliah S3 di usia tidak muda lagi bukan hal populis. Terlebih bagi mereka yang berprofesi bukan seorang akademisi atau dosen. Apalagi bagi seorang pegawai negeri, bukan kebutuhan mendesak. Terlebih gelar doktor, tak berpengaruh signifikan terhadap gaji atau karir jabatan.

"Kuliah S3 itu kebutuhan tersier bagi PNS. Ia bukan jalan bisa kaya. Tak berpengaruh pada karir jabatan. Negara pun tak membiayai. Sedangkan keluarga masih perlu biaya." Demikian kira-kira penjelasan dari seorang pejabat yang biasa menangani urusan tugas belajar PNS.

Dan asumsi atau pendapat itu barangkali banyak orang  setuju. Termasuk para abdi negara negeri ini. Itu juga yang menjadi pergulatan batin dan pikiran bagi PNS yang berniat melanjutkan pendidikan jenjang lebih tinggi. 

Mereka yang sudah berkeluarga, dengan anak-anak masih sekolah atau kuliah plus ada tanggungan cicilan pasti berfikir dua kali untuk kuliah. Kuliah buat apa? Ambil jurusan apa? Dananya dari mana? Pertanyaan mendasar yang wajib dijawab bagi mereka PNS yang kuliah program doktoral.

Bagi PNS struktural, untuk menduduki jabatan eselon, tak perlu S2 apalagi S3. Dengan pendidikan sarjana saja sudah cukup. Maka memaksakan kuliah S3 tanpa ada orientasi hidup ke depan dianggap hanya pemborosan anggaran. Tabungan yang ada sebaiknya untuk keperluan keluarga, termasuk kebutuhan pendidikan anak.

Jika tetap memilih mengasah otak di jenjang S3, lalu jurusan apa yang cocok? Bagi mereka PNS fungsional tentu pilihan jurusan harus linier dengan pendidikan sarjana atau magister. Karena itu akan memperkaya kompetensi. Selain mempermudah pengurusan surat tugas belajar dari pemerintah setempat.

Berbeda dengan PNS struktural. Tidak ada keharusan disiplin ilmu S3 linier dengan S1 dan S2. Kecuali jika yang bersangkutan berencana alih fungsi atau pasca pensiun menjadi dosen. Pertimbangan linierisasi disiplin ilmu itu wajib. Dengan catatan, yang bersangkutan sudah ngampus di perguruan tinggi, baik negeri (sebagai honorer) maupun kampus swasta.

Walaupun rencana alih fungsi menjadi dosen PNS tidak semudah yang dibayangkan. Konon sudah lama pemerintah membatasi alih fungsi dosen dari PNS pemda ke dosen PTN. Pihak kampus lebih memprioritaskan dosen-dosen muda dari CPNS.

BISIKAN INTUISI
Di tengah pergulatan pikiran dan batin, harus diambil keputusan berani. Keputusan untuk tetap bertahan memilih tidak ikut kuliah program doktoral, atau sebaliknya. Keputusan segera pada September 2025. Pasalnya masa kuliah tahun akademik 2025/2026 sudah mulai berjalan. Jika tidak akan merugikan pihak kampus dan diri sendiri. 

Secara rasional, tidak melanjutkan kuliah doktoral adalah sebuah pilihan tepat. Dengan segala pertimbangan akal yang diurai di atas. Namun entahlah, dorongan untuk studi S3 begitu kuat. Apakah ini yang dinamakan kekuatan alam di bawah sadar. Atau kekuatan intuisi, bisikan jiwa dan hati, walau rasionalitas menentang?

Memang ajakan kuliah di kampus pascasarjana UINSSNJ Cirebon bukan yang pertama. Sekitar tahun 2023 pernah diajak ngampus di Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati. Beliau yang mengajak adalah Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Kota Cirebon Drs H Jaja Sulaeman, M.Pd. Target mantan kadisdik ini ingin alih fungsi ke dosen PTN. Namun ajakan itu kurang menarik. Ajakan serupa dari dosen Fakultas Syariah saat mendampingi mahasiswa KKN di kelurahan Kesepuhan, mengajak kuliah S3 Hukum Keluarga Islam. 

Jurusan S3 di sana dianggap tak linier dengan jurusan S1 dan S2 saya. Sehingga memilih slow respon terhadap tawaran itu. S1 saya Sosiologi di Fisip Unsoed Purwokerto. Sementara S2 mengambil Psikologi Pendidikan di kampus IAIN Cirebon (kini UINSSNJ). Di kampus UIN sekarang belum ada S3 psikologi pendidikan apalagi sosiologi. Yang ada S3 PAI, S3 Ekonomi Syariah dan S3 Hukum Keluarga Islam.

Posisi jabatan saya kini sebagai lurah sejak 2023 menambah ketidaktertarikan kuliah lanjutan. Saya bukan guru, bukan dosen, bukan pengamat, rasanya keinginan kuliah S3 dianggap berlebihan. 

Namun seiring berjalanan waktu, keinginan kuliah S3 kembali muncul. Ini gara-gara Kementerian Hukum, ini dipicu sama PGRI. Ini dipacu mantan siswa sekolah saat di mengajar di SMP. Pada Agustus 2025, Kemenkum menyematkan gelar non akademik kepada saya sebagai lurah. Gelar NL.P, non ligitasi peacmaker. Gelar yang bisa disisipkan dibelakang nama. Gelar diberikan bagi lurah yang berhasil mengimplementasikan Pos Bantuan Hukum (Posbankum) di wilayahnya.

Sejak Juni 2025 program Kementerian Hukum digelar, saya lolos seleksi mewakili kota Cirebon ke tingkat nasional. Selain gelar NL.P, yang juga menerima Peacemaker Justice  Award (PJA) pada awal September 2025 di Jakarta. Penerimaan gelar menambah beban moral dan tanggung jawab intelektual. Saya bukan sarjana hukum, tetapi harus menangani masalah hukum warga.

PGRI juga termasuk pihak yang ikut kembali mengusik keinginan S3. Tanpa terencana, pasca muscab PGRI saya diamanahi sebagai ketua bidang advokasi dan penegakan kode etik guru. Lagi-lagi ini memerlukan kompetensi ilmu hukum. 

Tak lama berselang, mantan siswa dilantik sebagai advokat di Bandung. Ia mengantongi kompetensi hukum pasca lulus kuliah sarjana hukum. Padahal basic pendidikannya adalah sarjana teknik kampus Solo. Ia mengaku, sebagai praktisi harus multi talen kompetensi. Yah kini ia selain menjadi konsultan teknik, advokat, juga pengusaha. Diluar itu sebagai ketua perhimpunan pengusaha dan sekjen partai. Untuk menjadi advokat, ternyata tak selalu ijazah sarjana hukum. Yang penting punya pendidikan ilmu hukum, apakah di S1, S2 dan S3. 

Jurusan S3 Hukum Keluarga di kampus pasca saya dulu mulai dilirik. Dengan bekal doktor hukum keluarga, harapannya bisa alih fungsi jadi dosen. Syukur-syukur dosen PTN, minimal dosen yayasan pemilik NIDN (nomer induk dosen nasional). Pilihan lainnya mengadu keberuntungan menjadi lawyer/advokat. Latarbrlakang saya pernah di jurnalis diharapkan bisa menguatkan profesi baru kelak jika sudah pensiun. Walau untuk ke sampai titik sukses itu kelihatannya tak memudahkan membalikan telapak tangan.

Terkesan, jenjang pendidikan saya tidak linier. Sarjana Sosiologi (S.Sos), lalu Psikologi Pendidikan (M.Pd.I) kemudian S3 Hukum Keluarga (Dr). Linier dari persepktif kebijakan Kemendikti. Namun jenjang akademik itu satu sama lainnya masih ada kaitan yaitu kajiannya tentang manusia. Dalam sosiologi manusia sebagai interaksi individu dengan masyarakat. Psikologi pendidikan membahas perilaku manusia pembelajar, termasuk lembaga pendidikan keluarga. 

Sementara Hukum Keluarga masih mengatur seputar kehidupan keluarga dalam persepktif norma, aturan. Aturan ahli waris, perceraian, pernikahan, hak asuh anak. Kuliah S3 Hukum Keluarga dianggap sebagai penyempurna ilmu tentang manusia, tentang masyarakat berikut sikap, perilaku dan interaksinya. Baik dari perspektif sosiologi, psikologi pendidikan dan ilmu hukum keluarga.

Di tengah pergulatan batin dan pikiran itu langka untuk kuliah S3 Hukum Keluarga mencoba dimantapkan. Alasannya : (1)  tak ada yang sia-sia ilmu yang kita tuntut. Jika pun tak bisa menjadi profesi formal, namun bisa diimplementasikan di tengah masyarakat; (2) beasiswa kuliah sudah disiapkan sama gusti Allah. Jika tidak kuliah maka beasiswa itu tidak akan cair; (3) pilihan kampus UIN karena identitas kampus ini adalah Islam. Islam itu labelisasi gusti Allah. Maka bicara ilmu manusia, masyarakat, maka Sang Pencipta yang paling tahu seluk beluk manusia.

Point (4) biaya terjangkau, waktu kuliah fleksibel, jarak dekat, dosen-dosen banyak kenal menjadi alasan memilih kampus pascasarjana doktoral ini. Tinggal kini bagaimana memantapkan hati, untuk tidak berpaling ke lain hati, kampus lain. Menjalani tahap demi tahap proses perkuliahan program doktoral Hukum Keluarga yang sudah memasuki pekan ketiga bulan September 2025. Tantangannya bagaimana mengatur anggaran antara studi dan biaya keluarga. Kemampuan berfikir tak muda lagi. Mengatur waktu di tengah kesibukan kerja. Bismillah.... (*)

Pronggol, 16 Sepetember 2025