SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

November 14, 2025

RESTORATIVE JUSTICE DAN PERLINDUNGAN GURU

Oleh:
Deny Rochman*)

Ada kegelisahan yang terpancar dari guru-guru di Kota Cirebon. Kegelisahan mereka dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar. Khususnya dalam menegakkan kedisiplinan terhadap peserta didik kepatuhan tata tertib sekolah. Mereka khawatir, tindakannya akan disalahartikan oleh orang tua siswa, yang berpotensi pada protes, bahkan terjerat tindak pidana delik aduan. 

Curhatan sejumlah guru Kota Cirebon terungkap dalam Seminar Perlindungan Guru pada 11 November 2025 lalu yang digelar oleh pengurus PGRI Kota Cirebon. Seminar yang bertajuk Perlindungan Hukum bagi Guru dalam Mewujudkan Profesionalisme Pendidik melalui Pendekatan Restorative Justice. Sebuah seminar yang diapresiasi oleh Wali Kota Cirebon Effendi Edo, SAP., MSi dan dihadiri narasumber dari Polres Cirebon Kota, Kejaksaan Negeri, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum PGRI.
Perlindungan hukum bagi guru dinilai sangat mendesak. Ini bukan semata-mata demi kenyamanan dan keselamatan guru. Tetapi untuk masa depan pendidikan yang lebih baik. Masa depan bangsa yang tengah menanti lahirnya generasi emas di tahun 2045. Ketika bangsa ini meraih bonus demografi. Jika ekosistem pendidikan dan pengajaran diselimuti suasana tidak nyaman sudah dipastikan akan lahir generasi cemas. Bukan generasi problem solving tetapi generasi trouble maker.

Perlindungan Hukum
Dalam sesi diskusi dan tanya jawab, guru-guru banyak bertanya dan mengungkapkan pengalamannya seputar bentuk hukuman kedisiplinan terhadap siswa. Hukuman berbentuk fisik seperti menjewer, lari, push up dan lainnya. Bahkan ada yang mempertegas, terkait hukuman disiplin seperti apa yang berpotensi pidana. Apakah ada standarisasi jenis dan bentuk sanksi sehingga dikategorikan tindakan hukuman kedisiplinan itu melanggar secara pidana. Dalam prosesnya apakah diperlukan bukti pendukung, misalnya visum korban. 
Beragam pertanyaan dan pernyataan itu menunjukkan sikap guru : (1) keseriusan guru dalam mendidik dan mengajar peserta didik agar proses pembelajarannya bisa berjalan menuju tujuan pendidikan; (2) kehati-hatian guru dalam menegakkan kedisiplinan bagian dari pendidikan karakter siswa; (3) melepaskan diri dari jerat hukum delik aduan pidana dari orang tua siswa atau pihak tertentu. Sikap itu mengisyaratkan bahwa guru butuh kepastian dan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik dan pengajar.

Secara yuridis formal perlindungan hukum guru disandarkan pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Secara teknis pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan tenaga pendidikan. Perlindungan baik dari sisi hukum, profesi, kesejahteraan maupun perlindungan hak intelektual.

Selain dilindungi oleh hukum positif, profesi guru juga dipagari oleh kode etik guru. Kode etik sebagai seperangkat norma, nilai, dan aturan moral yang menjadi pedoman perilaku bagi seseorang dalam menjalankan profesinya agar profesional. Profesionalisme merupakan sikap, kemampuan, dan tanggung jawab seorang guru dalam melaksanakan tugas sesuai dengan keahlian dan standar profesinya. Paling tidak ada empat kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang guru, yaitu kompetensi pedagogik, sosial, kepribadian dan profesional.
Dengan kata lain, kode etik menjadi dasar moral, mengarahkan sikap dan perilaku profesionalisme. Profesionalisme mewujudkan nilai-nilai dalam kode etik yang menjaga martabat profesi. Kode etik membangun kepercayaan masyarakat terhadap tugas guru. Sementara profesionalisme upaya meningkatkan mutu pendidikan.  

Restorative Justice
Secara teknis, kerja kerja guru di sekolah, di ruang-ruang kelas kerap menghadapi beragam masalah pembelajaran. Baik masalah motivasi dan kemampuan anak dalam belajar. Atau pun sikap dan perilaku anak dalam hubungan sosial di sekolah. Problematika pendidikan di era distrupsi sosial ini lebih kompleks. Tindakan guru mendisiplinkan anak sering kali disalahartikan oleh orang tua dan masyarakat. Tidak sedikit langkah guru berujung pada protes hingga pengaduan kepada wartawan, LSM, ormas hingga pihak aparat penegak hukum (APH).
Kasus guru Supriyani, misalnya, satu dari banyak kasus yang menjadi perhatian publik hingga lembaga negara setahun silam. Guru SDN di Sulawesi Tenggara ini dilaporkan orang tua siswa dengan pasal penganiayaan anaknya. Kasus ini mendapat perhatian dari Komisi Yudisial (KY). Bersyukur dalam persidangan, guru honorer itu dinyatakan bebas. 

Terbaru, kasus yang dialami guru SMA Drs Rasnal M.Pd dan Drs Abdul Muis di Kabupaten Luru Utara Sulawesi Selatan. Keduanya dipecat sebagai guru setelah ada pengaduan dampak dari pengutan uang Rp 20.000 - Rp 30.000 kepada siswa. Pungutan sebagai upaya penggalangan dana untuk rekan-rekan guru honornya yang belum digaji selama 10 bulan pada 2018. Namun berkat campur tangan Presiden Prabowo keduanya batal dipecat. Jaksa Agung kemudian memerintahkan agar kasus guru ini diselesaikan dengan hati nurani.
Dalam ranah hukum pidana, penyelesaian kasus dengan hati nurani dengan kata lain menggunakan pendekatan restorative justice (keadilan restoratif). Menurut Tony F. Marshall, keadilan restoratif adalah suatu proses di mana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana bersama-sama memecahkan masalah bagaimana mengatasi akibat dari tindak pidana dan implikasinya di masa depan.

Restorative justice menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat dalam satu lingkaran dialog. Tujuannya bukan semata-mata memberikan hukuman, melainkan memulihkan hubungan sosial yang rusak akibat tindak pidana. Sistem peradilan pidana modern ini sebagai reaksi terhadap pendekatan retributif yang menitikberatkan pada penghukuman sebagai pembalasan. Sedangkan restoratif berfokus pada pemulihan keadaan korban, pelaku, dan masyarakat setelah kejahatan terjadi.

Pendekatan restorative justice, menyesaikan masalah di sekolah melalui jalan mediasi, musyawarah untuk perdamaian antar pihak. Terlebih kasus yang mencuat, hanya pelanggaran kode etik, sehingga tidak perlu diselesaikan melalui delik aduan pidana. Pemangku kebijakan pendidikan cukup menggelar sidang kode etik guru. Sidang yang melibatkan pihak yang berselisih. Begitu juga jika ada dugaan pelanggaran hukum oleh guru, upaya mediasi lebih dikedepankan daripada pengaduan pidana.

Memang secara yuridis, tidak semua masalah di sekolah bisa diselesaikan melalui pendekatan restorative justice. Menurut Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021, ada persyaratan materiil sebuah kasus bisa diselesaikan melalui  mediasi. Antara lain tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat.
Tidak berdampak konflik sosial.
Bukan Tindak Pidana terorisme, terhadap keamanan negara, korupsi, hilangnya nyawa orang dan bukan pelaku pengulangan Tindak Pidana berdasarkan putusan pengadilan.

Sementara itu menurut Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 ada tambahan syarat formil yaitu pelaku baru pertama kali melakukan Tindak Pidana. Ancaman pidana tidak lebih dari 5 (lima) tahun. Kerugian tidak lebih dari Rp 2,5 juta. 

Berbagai kasus hukum di sekolah yang melibatkan guru memberikan isyarat perlunya penanganan serius problem solving. Agar keberlangsungan mencetak generasi unggul tidak terhambat. Kehadiran lembaga restorative justice di sekolah tampaknya sangat diperlukan. Seperti pandangan Kajari Kota Cirebon Alamsyah, SH MH saat menerima audiensi pengurus PGRI. 

Disinilah pentingnya guru memahami, menghayati dan mengamalkan kode etik guru dan ketentuan hukum perlindungan guru. Termasuk mengerti perlindungan hukum dan perkembangan psikologi anak. Mari kita bertanya pada diri masing-masing guru. Sebagai guru sudahkah mengerti dan mengamalkan kode etik guru? Memahami ketentuan perlindungan hukum bagi guru, bagi peserta didik? Yuk selamatkan dunia pendidikan kita untuk kehidupan ke depan yang lebih baik lagi. (*)

*) Penulis adalah Pengurus PGRI Kota Cirebon Ketua Bidang Penegakan Kode Etik dan Advokasi.