SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Maret 04, 2009

MENAKAR KUALITAS CALON LEGISLATIF

Oleh : Deny Rochman

Siapakah calon anggota Dewan pilihan anda? Cukup sulit untuk menentukan sebuah pilihan politik pada Pemilu 2009 ini. Pertama, jumlah partai dan calon legislatif (caleg) masih banyak seperti pada pemilu sebelumnya. Kedua, program para caleg semakin menjanjikan dengan berbaiak media informasi, menyusul penentuan caleg-jadi atas dasar perolehan jumlah suara bukan nomor urut. Kompetisi caleg akhirnya bukan hanya antar partai tetapi juga di internal partai sendiri.

Faktor lain yang ikut menentukan partisipasi masyarakat dalam pemilu adalah tingkat kepercayaan masyarakat kepada calon anggota Dewan. Apakah mereka tetap akan memperhatikan para konstituennya atau sebaliknya jika kelak duduk di parlemen. Data statistik pilkada diberbagai tempat selama ini menunjukkan angka golput cukup tinggi, sehingga dikhawatirkan pemilu 2009 kurang mendapatkan legitimasi rakyat.
Namun semua pihak sepakat bahwa pemilu adalah pintu gerbang dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat. Walaupun cita-cita tersebut masih indah terdengar tetapi belum enak dilihat dalam realitas. Pentingnya pemilu, sampai-sampai Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun berani mengeluarkan fatwa bahwa golput haram.
Persoalan sekarang adalah bagaimana menjatuhkan pilihan politik kita kepada calon legislatif yang jumlahnya sangat banyak dengan program yang bagus-bagus. Dalam menentukan pilihan politiknya, masyarakat sekarang harus mulai mempertimbangkan secara cermat. Jika tidak maka dari pemilu ke pemilu nasib rakyat tidak akan berubah.
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dalam memilih caleg harus berkualitas. Berkualitas tidak hanya diukur dari apakah dia terkenal, apakah berpendidikan tinggi atau banyak uang, mungkin tetangga atau saudara. Tetapi harus memiliki sejumlah kriteria penilaian yang terukur agar kita tidak terjebak dengan janji manis caleg. Ujung-ujungnya nanti kita hanya bisa mengeluh ketika biaya hidup tinggi, ketika menghadapi masalah sosial.
TERINTEGRASI
Seorang caleg paling tidak ada tiga kriteria, yaitu memiliki integritas intelektual, sosial dan moral. Integritas intelektual dia memiliki kompetensi keilmuan dan wawasan. Kemampuan ini tidak hanya dibuktikan dengan selembar ijazah atau gelar yang berderet panjang di depan atau di belakang namanya. Karena banyak di negeri ini yang bergelar dan berijazah namun kualitas berfikirnya dipertanyakan.
Pendidikan tinggi memang membantu memiliki kematangan integritas intelektual. Indikatornya adalah kemampuannya dalam menulis konsep, berbicara dan mendengarkan. Kualitas intelektual caleg bisa dilihat ketika dia berpidato/kampanye, apakah bahasanya baik dan berbobot (pesan dan terstruktur), bisa menulis gagasan, mau mendengarkan keluhan warga dan mencari jalan keluarnya (problem solver).

Kebiasaan itu kelak akan menjadi wilayah kerja anggota Dewan. Karena tugas dan wewenang legislatif adalah membuat peraturan (legislasi), pengawasan (kontrol) dan menyusun anggaran (bageting). Bagaimana mungkin dia bisa bekerja sesuai tugasnya jika anggota Dewan tersebut tidak bisa menulis dan menyampaikan gagasan serta memperjuangkan aspirasi rakyat di gedung parlemen.
Rendahnya integritas intelektual legislatif ini berdampak pada output kebijakan pemerintah. Seperti kebijakan dan produk hukum yang tidak pro rakyat, banyak masalah publik yang terabaikan, anggaran yang tidak memihak kesejahteraan masyarakat. Padahal disisi lain, pihak eksekutif sudah terdidik dan terlatih dalam membuat kebijakan public. Sementara anggota Dewan setiap periode pasti ada wajah baru yang manggung, dengan kemampuan yang beragam.
Kriteria kedua adalah seorang caleg harus memiliki integritas social. Integritas ini untuk mengukur tingkat kepedulian caleg terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Kepedulian ini tidak bersifat instan, ketika ada kepentingan politik menjelang pemilu. Tetapi bisa dilihat kiprahnya di masyarakat, apakah sebelum dan sesudah menjadi caleg ada konsistensi perilaku kepedulian terhadap problem masyarakat?
Hal serupa bagi anggota Dewan yang manggung, apakah sebelum dan selama menjadi anggota Dewan tetap merakyat, memperjuangkan kepentingan umum atau tidak. Jika tidak, kesimpulannya dia bukan pejuang sejati tetapi seorang oportunis. Dengan kata lain, kita hanya sia-sia jika harus memilih kembali anggota Dewan atau caleg seperti itu.
Aspek lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah seorang caleg wajib memiliki intergritas moral. Persoalan moral erat kaitannya dengan pengamalan agama seseorang. Seperti halnya kriteria Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa harusnya variable yang terukur, bukan sekadar bukti fisik Kartu Tanda Penduduk bahwa dia warga negara yang beragama.
Moral bisa dilihat pengamalan agamanya dalam kehidupan sehari-hari di keluarga, masyarakat dan lingkungan kerjanya selama ini. Moral dalam kejujuran, keberanian membela yang benar, mengajak dan mengajarkan kebenaran, menegur dan mencegah kejahatan (amar ma’ruf nahi munkar). Dengan sikap ini kita yakin seorang caleg akan konsisten memperjuangkan kebenaran demi kesejahteraan masyarakat.
KUALITAS DEMOKRASI

Tiga dasar dalam memilih caleg tersebut (intelektual, social dan moral) merupakan upaya kita membangun demokrasi yang berkualitas di negeri ini. Atas tiga dasar kriteria itu kemungkinan kecil seorang caleg menjadi pejahat kerah putih (white color crime). Sebaliknya jika kita tidak punya dasar dalam memilih, caleg favorit kita justeru malah akan memperdayai kita.

Dengan landasan pemilihan tersebut maka penentuan caleg bisa jadi tidak berpaku pada darimana partainya, tetapi pilihannya lebih pada siapa calegnya. Beberapa kasus membuktikan mengaku dari partai bermoral tetapi kemudian dia paling rajin korupsi. Mengaku anggota Dewan pejuang rakyat tetapi kontrolnya kepada eksekutif atas dasar proyek atau amplop.

Ukuran demokrasi harus mulai digeser, tidak hanya pada aspek kuantitatif tetapi sudah mengarah kualitatif. Dulu seorang professor akan kalah suaranya dengan lima tukang becak dalam pemilu. Namun kini bisa terbalik, seorang professor bisa mempengaruhi lima tukang becak itu untuk memilih sesuai pilihan sang professor. Sang professor memilih caleg atas dasar kriteria tiga integritas : intelektual, social dan moral. Semoga! (*)

POLEMIK AKTA IV STAIN

Oleh Deny Rochman

Proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun 2008 menuai protes. Kali ini keluhan datang dari sarjana pendidikan agama Islam (PAI) lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Mereka yang mendaftar formasi guru agama Islam SMP dan SD ditolak oleh panitia CPNS Kabupaten Cirebon. Alasannya karena akta IV mengajar pelamar tidak relevan dengan formasi yang dibutuhkan.

Dalam akta IV STAIN terdapat keterangan bahwa sarjana yang bersangkutan berhak mengajar pada bidang PAI di MA/SMA. Akibatnya ratusan pelamar harus menelan pil pahit tidak mengikuti tes CPNS tahun ini. Berbagai upaya dialog antara STAIN dengan DPRD dan Pemkab Cirebon, antara pelamar dengan Sekda Kab. Cirebon berakhir dalam kebuntuan.

Para pelamar sempat gembira ketika Sekda Nuriyaman Novianto mengabulkan keinginan pelamar "bermasalah" mengikuti tes CPNS. Untuk menyakinkan dalam dialog di aula Pemkab 4 Desember kemarin, Sekda menyatakan siap di sumpah di bawah Al Qur'an di dalam masjid dan menanggung resiko apapun yang terjadi. Sayangnya pernyataan itu dicabut setelah mendapatkan informasi dari panitia, tidak ada penambahan pelamar.

Sikap Sekda tersebut tentu membuat sesak dada para pelamar karena sekda dinilai "menjilat ludah sendiri". Sekelas pemimpin terlalu gegabah dalam mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang. Beranikah sekda mempertanggung jawabkan ingkar janjinya? Kalau sudah demikian yang menjadi korban adalah pelamar sementara pihak terkait saling lepas tangan.

BEDA PENDAPAT
Muara permasalahan CPNS Kabupaten Cirebon berawal karena perbedaan pendapat dari semua pihak, baik STAIN, panitia CPNS dan pelamar. Paling tidak perbedaan tersebut dalam memahami keterangan akta IV, informasi pengumuman CPNS dan kebijakan Pemkab yang kontroversi.

Perihal kewenangan mengajar dalam akta IV, pihak panitia bersikukuh pada keterangan di akta IV bahwa pemiliknya hanya berhak mengajar pada aliyah dan SMA. Sementara pihak STAIN mengklarifikasi dalam suratnya bahwa keterangan akta IV itu merupakan batas maksimal kewenangan mengajar. Artinya sarjana PAI sangat mungkin mengajar di satuan pendidikan dibawahnya seperti SMP apalagi SD.

Namun klarifikasi dari pihak STAIN itu ibarat teriakan dipadang pasir, anjing menggonggong kafilah berlalu. Panitia CPNS tetap menolak keterangan akta IV STAIN tersebut sekalipun lembaga tersebut yang telah meluluskan sarjana PAI dan diakui oleh pemerintah.

Tentu saja polemik dua institusi tersebut sangat merugikan mahasiswa dan alumninya. padahal kedua belah pihak tanpa disadari terjebak dalam paradigma lama sistem pendidikan nasional. Bisa jadi STAIN menuliskan keterangan akta IV mengajar aliyah/SMA karena pada masa lalu guru SMA berpendidikan S-1, SMP D-3 dan SD D-2. Berbeda dengan paradigma baru, guru yang memiliki kompetensi sarjana (S-1).

Penafsiran kedua dijumpai pada formasi pengumunan CPNS yang ditandatangani Bupati Cirebon. Dalam surat kabar lokal 12 Nopember 2008 lalu disebutkan, untuk formasi guru agama Islam SD dan SMP kualifikasi pendidikan dari S-1 Pendidikan Agama Islam, tanpa keterangan memiliki akta IV.

Pada persyaratan khusus dijelaskan, mereka yang melampirkan akta IV adalah sarjana non pendidikan. Informasi ini yang menjadi dasar bagi pelamar PAI bahwa tanpa akta pun mereka bisa mengikuti tes. Mereka balik bertanya, jika sarjana PAI STAIN ditolak lalu darimana guru agama Islam diperoleh.

Pernyataan Sekretaris Daerah Nuriyaman Novianto dalam dialog dengan pelamar 4 Desember 2008 lalu berbuntut perdebatan di dalam forum. Belum lagi pihak BKD yang mengancam mogok kerja jika ada penambahan pelamar. Menurut Sekda penerimaan CPNS daerah harus mengacu standar prosedur BKN. Pertanyaannya mengapa di daerah lain akta IV STAIN tidak bermasalah jika standar prosedurnya sama.

Celakanya lagi ditengah penolakan akta IV bermasalah, ada pelamar STAIN yang sudah menerima kartu tes. Sehingga muncul dugaan bahwa kebijakan penolakan akta IV STAIN merupakan kebijakan di tengah jalan, bukan standar aturan CPNS yang sudah ditetapkan. Jika ini memang terjadi mestinya persoalan akta IV tersebut menjadi bahan evaluasi penerimaan CPNS tahun berikutnya, tidak di cut di jalan.

Faktor lain yang memicu permasalahan CPNS adalah mekanisme pengiriman berkas lamaran. Pengiriman melalui jasa PT Pos dinilai kurang efektif dan transparan. Mulai awal pendaftaran pelamar harus antre panjang untuk mengirimkan berkas. Belum lagi harus mengikuti syarat ketentuan Pos yang tidak bisa ditolak pelamar.

Proses pengiriman itu membuat pelamar tidak bisa melakukan perbaikan di tengah jalan ketika ada kesalahan administratif. Misalnya tanggal legalisir tidak dicantumkan, berkas harus asli, termasuk formasi yang salah.

Masalah lainnya adalah pendistribusian surat jawaban tes oleh Pos. Hingga H-1 masih banyak surat yang belum sampai ke para pelamar. Malah sebagian pelamar mendapatkan surat balasannya langsung mendatangi kantor pos setempat. Ironis. Yang jadi masalah besar, bagaimana jika surat tes itu datang setelah seleksi CPNS selesai. Siapa yang mau disalahkan?

CITRA NEGATIF
Persoalan CPNS STAIN menjadi contoh kecil carut marutnya pendidikan negeri ini. Antara produsen sumber daya manusia (baca: perguruan tinggi) dengan penggunanya (termasuk pemerintah) tidak sejalan. Sehingga memberikan kesan negatif dalam benak masyarakat. Jika tidak segera diselesaikan ini akan menjadi bumerang bagi semua pihak.

Bagi STAIN, masyarakat akan beranggapan bahwa lulusan sekolah tinggi itu tidak bisa diserap dunia kerja. Untuk itu akar persoalan yang menjadi kendala para lulusan harus dicarikan solusi yang tepat. Ini untuk menepis adanya bisnis pendidikan yang kini banyak disorot bahwa lembaga pendidikan hanya berlomba-lomba mencari mahasiswa tanpa memikirkan outcome-nya.

Kendati kita tahu persoalan CPNS yang merugikan STAIN ini bukan pertama terjadi di Kabupaten Cirebon dan daerah lain. Pada beberapa tahun sebelumnya CPNS kabupaten juga diwarnai masalah yang serupa. Tadris STAIN dipersoalkan. Namun kala itu ada kebijakan pelamar boleh mengikuti tes. Jika kisruh CPNS terus terulang bisa jadi pihak pemda akan jera membuka formasi guru agama Islam.

Pihak pemda pun harus mulai belajar dari pengalaman sebelumnya. Sehingga dalam menyampaikan informasi lowongan CPNS tidak menimbulkan banyak penafsiran. Selama ini sudah kadung berkembang ada dikotomi pendidikan, antara pendidikan agama ditangani Departemen Agama dan pendidikan umum dibawah Dinas Pendidikan. Sehingga munculnya isu diskriminasi lulusan STAIN tidak bisa dihindari.

Ada baiknya mekanisme penerimaan CPNS tahun ini ditinjau ulang. Pengajuan berkas lamaran secara langsung masih layak untuk dipertimbangkan. Asalkan secara teknis bisa diatur sedimikian rupa sehingga tetap memberikan kemudahan kepada pelamar. Misalnya berkas lamaran dibagi kepada SKPD sesuai formasinya. Di dalamnya disusun meja sesuai formasinya sehingga tidak terjadi antrian panjang.
Secara nasional harus ada penyeragaman kebijakan agar tidak terjadi polemik di daerah-daerah. Paling tidak untuk cakupan lokal pemimpin pemda bertemu se wilayah III menyepakati adanya ketentuan umum yang tidak bertabrakan. (*)

**) penulis adalah seorang guru, tinggal di Kota Cirebon

PERLUKAH KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN ?

Oleh : Deny Rochman

A. PENDAHULUAN

KEKERASAN dalam pendidikan sudah menjadi sorotan masyarakat sejak lama. Berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan verbal seperti membentak siswa sampai dengan kekerasan fisik yakni menampar sampai memukul menjadi fenomena di dunia pendidikan negeri ini. Kondisi tersebut sudah berlangsung lama, bahkan frekuensinya meningkat seiring meningkatkan agresifitas siswa didik di lingkungan sekolah.
Sering kita baca, melihat dan mendengar di berbagai media massa baik cetak maupun elektronik berbagai kekerasan dalam proses belajar mengajar. Di Kediri Jawa Tengah, ayah seorang siswa menghajar seorang guru SD di depan kelas. Di Pati, seorang guru SD menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat. Dan masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan bermunculan, seperti kasus tawuran antar-sekolah di Kota Cirebon ini.
Kekerasan serupa terulang terjadi di berbagai daerah dan sekolah dengan ragam tingkatannya. Bahkan sekelas mahasiswa, manusia intelektual sekalipun, kini aksi kekerasan sering diperagakan.
Seorang guru SMK Teknologi (dulu STM) di wilayah Cirebon pernah bercerita, tindakan kekerasan seperti membentak, menjewer, menampar sampai memukul siswa sudah menjadi tradisi di kalangan pendidik di sekolahnya. Pihak sekolah, guru dan siswa memaklumi jika para siswa bersalah mereka harus siap menerima hukuman dalam bentuk kekerasan fisik. Terkesan, tanpa kekerasan mendidik siswa tidak akan berhasil.
Padahal kekerasan dalam belajar tidak disukai oleh para siswa karena akan mengganggu proses transformasi ilmu. Penulis pernah melakukan survai sederhana kepada sejumlah siswa SMP di Kota Cirebon tentang guru yang tidak disukai dalam cara mengajar. Menurut mereka, guru-guru tersebut adalah yang mengajar dengan cara kekerasan. Jika siswa rebut, guru langsung membentak, menggebrak meja. Ketika siswa tidak bisa menjawab pertanyaan, guru menjewer, mencubit sampai memukul siswa.
Tindakan guru tersebut merupakan sudah menjadi gaya pengajaran di banyak sekolah. Para pendidik masih berfikir paradigma lama, bahwa keberhasilan proses belajar mengajar di kelas manakala para siswa bisa mengikutinya dengan tertib, tidak ribut. Sebaliknya dianggap suatu kegagalan mengajar, jika dalam proses belajar siswa ribut terus, apalagi sampai keluar kelas bergerombol.

B. PENYEBAB KEKERASAN
Kekerasan dalam pendidikan tidak semata hanya dilakukan oleh guru kepada siswanya. Tetapi ada juga dari siswa atau orang tua kepada gurunya, masyarakat kepada sekolah, kepala sekolah kepada guru dan antara siswa sendiri. Istilah kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert) atau bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive).
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan bukan variabel berdiri sendiri. Tetapi dilatarbelakangi oleh faktor-faktor lainnya, baik internal maupun eksternal. Tindakan kekerasan terangkai dalam hubungan spiral mulai dari kondisi, faktor dan pemicu. Faktor itu dapat muncul sewaktu-waktu, oleh siapa saja yang terlibat dalam dunia pendidikan, sepanjang dijumpai pemicu kejadian (Assegaf, 2004:37).
Ditinjau dari tingkatannya, Abdul Rahman Assegaf (2004) menjelaskan perilaku kekerasan dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, kekerasan tingkat ringan, yakni berupa potensi kekerasan. Pada tingkat ini kekerasan masih bersifat tertutup, defensive. Kedua, kekerasan tingkat sedang, berupa perilaku kekerasan dalam pendidikan seperti pelanggaran peraturan sekolah. Ketiga, kekerasan tingkat berat yakni tindakan criminal.
Merujuk dari uraian di atas maka kekerasan dalam pendidikan masuk dalam kategori kekerasan tingkat sedang, karena pelaku hanya melakukan pelanggaran peraturan sekolah. Namun kekerasan tingkat sedang itu bisa berubah menjadi kriminalitas manakala pelanggaran atau sanksi itu berlebihan. Misalnya, membawa senjata tajam atau obat-obatan terlarang. Atau guru menghukum siswa sampai menyisakan luka berat.
Kekerasan yang melekat dalam dunia pendidikan memang melalui fase yang panjang, mulai dari kondisi, faktor dan pemicu. Siswa bertindak agresif dipengaruhi oleh berbagai penyebab, seperti keluarga, masyarakat dan media massa. Keluarga yang terbiasa mendidik anak secara otoriter dan kotor dalam bahasa kerap membawa anak terbiasa dengan kekerasan.
Begitu juga dengan sikap masyarakat, yang menuntut keinginannnya disertai kekerasan menjadi pelajaran buruk bagi anak. Seperti unjuk rasa para buruh pabrik, mahasiswa atau massa pilkada yang melakukan pengrusakan. Anak akan menyimpulkan bahwa dengan kekerasan keinginan mereka terhadap sesuatu akan terpenuhi.
Peran media massa dalam mendidik kekerasan tidak sedikit. Banyak gambar dan tayangan, baik berita terlebih hiburan menyuguhkan adegan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal (bahasa) seperti kata-kata kotor tidak terpuji. Celakanya, berbagai media kekerasan itu mempengaruhi keluarga dan sekolah akibatnya kekerasan semakin meningkat, karena kekerasan selalu diatasi dengan kekerasan. Seperti murid nakal diatasi dengan menampar atau memukulnya.
Di sekolah guru lebih terbuka melakukan kekerasan terhadap siswa. Kenapa harus guru? Pertama, guru merupakan orang yang banyak berhadapan dengan siswa daripada kepala sekolah. Atas dasar peraturan sekolah, guru bisa melakukan kekerasan psikis berupa ancaman, atau kekerasan fisik yakni membentak, mencubit, menjewer sampai menampar dan menjotos jika siswa sulit diatur.
Kedua, guru adalah manusia yang tertekan. Tertekan dari masalah ekonomi, anak dan keluarga di rumah, sampai posisinya yang terlemahkan dalam sistem di sekolah. Mengurus dan mendidik anak sendiri saja susah, apalagi mengurus ratusan anak orang di sekolah. Maka tidak jarang terjadi, sibuk ngurusi anak didik agar pintar sekolahnya, justeru anak sendiri di rumah malah prestasi belajarnya kurang baik.
Tekanan psikis lainnya bagi guru adalah kesejahteraan mereka untuk hidup layak belum memadai. Gaji yang ada belum memberikan kemakmuran bagi keluarganya. Maka tidak heran banyak guru yang memiliki usaha sampingan demi pemenuhan kebutuhan keluarganya. Namun hal itu menuai protes baik oleh internal sekolah dan pemerintah maupun masyarakat karena mengabaikan profesionalismenya sebagai tenaga pendidik dan pengajar.
Hal lain, pemberian nilai guru kepada siswa tidak lagi independent tetapi sudah mendapat intervensi. Guru diupayakan memberikan nilai raport yang bisa meluluskan siswa naik ke peringkat kelas berikutnya. Akibatnya, guru tidak memiliki daya tawar kepada orangtua siswa untuk memperbaiki mutu belajar anaknya. Termasuk guru tidak memiliki akses untuk mengetahui manajemen keuangan sekolah secara transparan.
Ketiga, guru kurang peka dengan perubahan paradigma baru dalam pendidikan bangsa ini. Ditengah kurikulum pendidikan sekarang menuntut adanya kebebasan belajar anak dalam merekonstruksi pengetahuan dalam pengalaman belajarnya, guru tetap memposisikan diri sebagai pengajar (teacher) yang otoriter, feodal, sebagai manusia super, serba tahu segalanya.
Padahal menurut Dirjen Pendidikan Menengah Depdiknas Indra Jati Sidi (2003:39), fungsi guru masa depan sudah beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor) dan manajer belajar (learning manager). Paul Suparno, mengatakan dtengah tugas guru yang berat di era reformasi ini guru harus mengembangkan sikap cinta kepada siswa, menghargai nilai kemanusiaan, sikap membebaskan bukan membelenggu siswa.

C. PERLUKAH KEKERASAN ?

Kekerasan dalam pendidikan memang tidak mutlak dihapuskan. Ini bukan karena alasan ketidakberdayaan guru dalam menghadapi agresifitas anak didik. Tetapi kekerasan itu masih diperlukan dalam mendidik anak untuk menjadi manusia yang cerdas dan berbudi luhur. Sepanjang implementasi sanksi tersebut masih dalam koridor dan prosedur pendidikan, tidak berlebihan dan manusiawi.
Misalnya sanksi pukulan, menurut Abdul Lathif Al Ajlan dalam bukunya Rambu-rambu Pemukulan dalam Pendidikan Anak (2006) masih diperlukan. Asalnya sanksi itu merupakan upaya terakhir, setelah guru memberikan nasehat, ancaman dan boikot terhadap siswa bersangkutan. Hukuman pukulan diberikan dengan catatan, tidak mengenai wajah dan kemaluan serta tidak membekas pada tubuh anak.
Lathif mengatakan, sanksi pukulan memiliki sejumlah dampak positif bagi individu maupun masyarakat. Dampak tersebut seperti akan membentuk anak menaruh rasa hormat terhadap peraturan, keputusan, perintah dan larangan. Sanksi juga agar anak tidak ceroboh dalam mengerjakan sesuatu. Memanamkan kebiasaan yang baik, bersikap sabar dan hati-hati.
Apa jadinya jika kekerasan itu sama sekali ditiadakan, kewibawaan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan menurun dimata anak didik. Siswa seenaknya berulah tanpa takut harus dihukum oleh guru atau kepala sekolah. Namun bukan berarti kekerasan yang dilegalkan memberikan pemahaman bahwa kekerasan adalah penyelesaian yang terbaik. Ini akan merusak citra sekolah seperti penjara (Lembaga Pemasyarakatan) bagi siswa didik. Kekerasan diatasi dengan kekerasan justeru akan melahirkan kekerasan baru.
Dalam mengatasi kekerasan dalam dunia pendidikan, yang lebih penting lagi adalah penegakan supremasi hukum peraturan sekolah. Peraturan sekolah dibuat jangan hanya untuk siswa, sementara bagi guru, karyawan dan kepala sekolah tidak diatur. Alasan sekolah aturan kepegawaian sudah ditetapkan oleh hukum nasional. Padahal hukum nasional tidak mengatur secara rinci kehidupan di setiap sekolah yang memiliki karakteristik tersendiri.
Sudah saatnya pihak sekolah menyusun sebuah peraturan sekolah yang mengatur hak dan kewajiban tidak saja untuk siswa, tetapi juga bagi guru, tenaga pendidikan dan kepala sekolah. Sebagai sebuah aturan, tentu saja lengkap memuat reward dan punishment bagi semua pihak dan berbagai tata aturan di sekolah yang bersangkutan seperti mekanisme pemilihan jabatan wakil kepala sekolah berikut para pembantunya, kebijakan tentang biaya perjalanan dinas guru ke luar kota dan banyak lagi.
Terakhir yang harus dipahami bahwa kekerasan tidak hanya milik dunia pendidikan. Lembaga pendidikan hanya bagian mata rantai dari lingkaran spiral kekerasan dalam masyarakat. Artinya, kekerasan pendidikan bukan variabel independent. Untuk menyelematkan tunas bangsa maka diperlukan penanganan komprehensif dari semua sector, mulai politic will pemerintah, para penegak hukum, tokoh agama, termasuk pembenahan kurikulum dan perbaikan kesejahteraan guru.

D. PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Semakin maraknya aks ikekerasan dalam dunia pendidikan sangat mengkhawatirkan banyak pihak. Belum lagi tren menyimpangan sosial yang melibatkan para pelajar menambah sisi suram masa depan bangsa ini. Fenomena sosial ini telah mengundang keprihatinan berbagai pihak dan menyuarakan pentingnya peningkatan Pendidikan Budi Pekerti di sekolah.
Namun sebagian pihak tampak pesimis pemberlakuan Pendidikan Budi Pekerti tidak bisa berbuat banyak mengatasi masalah sosial di atas. Sejarah pendidikan nasional telah membuktikan kegagalan pendidikan ini di sekolah-sekolah. Sekalipun diajarkan toh kekerasan dan kenalakan remaja sering terjadi.
Pihak lain tetap bersikukuh pentingnya pengajaran nilai-nilai mulia diajarkan di sekolah-sekolah. Secara teknis pendidikan nilai itu menggunakan pendekatan terintegrasi dalam sistem sekolah. Artinya kontrol kendali perilaku anak tidak melulu tugas guru Budi Pekerti, namun semua pihak (stakeholder) yang ada di sekolah. Mulai dari pesuruh, tata usaha, guru sampai kepala sekolah bahkan hingga orangtua sekalipun. Adanya tata tertib sekolah berikut reward dan punishment-nya akan membantu pendidikan nilai anak.
Ketika anak melakukan pelanggaran, misalnya, membuang sampah sembarangan, seorang pesuruhpun bisa menegur langsung anak yang bersangkutan. Sama halnya ketika guru sains menemukan anak melakukan kesalahan bisa langsung memberikan nasehat. Jika sulit diarahkan guru bersangkutan bisa menuliskan jenis pelanggaran tersebut di dalam buku tata tertib sekolah. Jenis pelanggaran ini dalam satu tahun diakumulasikan nilainya dan masuk dalam nilai Pendidikan Budi Pekerti atau sejenisnya.

Dengan kata lain pengajaran Budi Pekerti dilakukan melalui pendekatan konsep di kelas, pembiasaan sehari-hari pergaulan di sekolah dan sistem yang terintegrasi dalam aturan dan kepedulian warga sekolah. Sehingga untuk mengukur keberhasiln pendidikan nilai ini harus melibatkan banyak pihak, tidak hanya diukur dari evaluasi kegiatan belajar dalam bentuk ulangan (tes).
Melembagakan Pendidikan Budi Pekerti secara intergral tersebut untuk mempertegas bahwa Misi pendidikan sekolah bukan hanya mentrasfer ilmu pengetahuan kepada anak didiknya, dari tidak tahu menjadi tahu (kognitif). Lebih dari itu harus ada perubahan sikap dan perilaku pada anak didik, dari kurang baik menjadi baik (psikomotor dan afektif). Dengan kata lain, paradigma pendidikan Indonesia terkini dikembangkan ke arah keseimbangan kecerdasan, antara intelektual, emosional dan spiritual.
Keseimbangan kecerdasan anak tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan nasional bangsa Indonesia. Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. (*)
*) penulis adalah guru
SMP Negeri 4 Kota Cirebon.
email : den_cigaok@yahoo.com
Hp. 08122064604



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Lathif al-Ajlan, Rambu-rambu Pemukulan dalam Pendidikan Anak, Jakarta : Pustaka Ulil Albab, 2006.
Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004
Idra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar : Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: Paramadina, 2003.
Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter : Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa, Jakarta : BM Migas-Star Energi, 2004.
Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.