SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Maret 22, 2025

TETAP HAPPY DI USIA SENJA

Sekitar 70 tahun lebih hidupnya ia jalani dengan penuh suka duka. Sabar dan dibuat enjoy menjadi rumus hidupnya. Saking enjoynya tak ada makanan minuman yang ia pantang. Asal halal semuanya dinikmati dengan senang. Termasuk kebiasaan berolahraga sejak usia muda.

Gaya hidupnya yang enjoy membuat hidupnya di usia senja harus akrab dengan penyakit. Penyakit yang perlahan namun pasti menggerogoti daya tahan tubuhnya. Organ pangkreasnya tak mampu bekerja dengan baik mengubah asupan menjadi energi. Ia lemah tak berdaya menopang tubuhnya yang lelah 70 tahun mengurus 9 anak dan 1 suami. Penyakit diabet bersarang dalam tubuhnya.

Dia adalah ibu Sumiah, anak kedua dan bungsu pasangan Karsan dan Suratmi yang lahir pada 13 Mei 1947. Biasa akrab dipanggil ibu atau ceu Mioh. Kedua orangtuanya sudah lama tiada. Termasuk kakak pertamanya Kahar yang sudah wafat lebih awal. Wafat usia pensiun sebagai prajurit Kopasus Cijantung dan menjadi security PLN.

Pernikahan Sumiah dengan pria idamannya, Iing Sanusin, berlangsung 28 Oktober 1966 di Desa Lemahabang, yang kini dimekarkan menjadi Desa Lemahabang Kulon. Ibu Sumiah menikah usia 19 tahun sementara Pak Iing usia 24 tahun. Buah kasih sayang keduanya lahir 11 anak: 9 anak hidup, 2 anak keguguran (kluron).

Sembilan anak tumbuh dan berkembang dengan normal dan sehat. Yang unik, 9 anak itu 8 laki-laki dan 1 perempuan. Mereka adalah Dedi Rohayadi (9-8-1967), Dadang Mulyana (2-9-19 Diding Syarifudin (29 Juli 1970), Dodi Setiawan (20 Mei 1974), Deny Rochman (21-1-1976), Didi Mulyadi (6-3-1977), Dede Rosidin (18-4-1979), Dudi Darmanto (18-11-1983) dan Dewi Oktaviani (31-10-1986).

Semua anaknya sudah berkeluarga. Ada berjodoh dengan orang Madiun, Ngawi, Purwokerto, Kuningab, Bogor hingga di dalam daerah Cirebon sendiri. Berkat pernikahan anak-anaknya Bu Mioh sudah jadi ennek dengan16 cucu yang sehat, lucu dan pintar.

Selama 70 tahun, Bu Mioh bersama suaminya bekerja keras mengurus anak-anaknya yang sangat banyak. Selama proses pertumbuhan dan pendidikan keluarga Pak Iing hanya mengandalkan penghasilan sebagai karyawan pabrik gula PG Karangsuwung hingga pensiun dan wafat pada 21 Januari 2004. Persis hari ulang tahun salah satu anaknya, Deny Rochman.

Untuk membantu dapur tetap ngebul, Bu Mioh bekerja wiraswasta. Mulai jualan kreditan barang-barang, arisan sampai dengan jualan nasi rames. Sementara suaminya sepulang kerja, menyibukan diri menerima servis barang elektronik hingga larut malam. Semuanya dilakukan untuk membantu keperluan sehari-hari keluarga. Memberikan kehidupan yang layak bagi anak-anaknya.

Alhamdulillah rejeki yang berkah membawa anak-anak dan keluarga hidup layak. Tak kelaparan dari makanan, tak pernah kedinginan karena tidur di rumah. Kini anaknya bertebaran di muka bumi Allah. Ada di Depok, Bogor, Bandung, Sumedang, Kota Cirebon dan di Sindanglaut sekitarnya. Dua anak diantaranya, Diding dan Dudi, bekerja mewarisi ayahnya di pabrik gula.

Kini menghabiskan sisa waktunya hidup di dunia Bu Mioh lebih betah tinggal di rumah pusakanya. Rumah waris yang ia beli dari kakek isterinya, Abah Tarya - Ma Tewi. Rumah yang dibeli Rp300 ribu pada tahun 1980. Rumah berusia 38 tahun itu kini sudah semakin rapuh. Setiap kali hujan sering bocor. Beruntung anak keenamnya Maret 2018 awal melakukan renovasi total bagian belakang.

Sebelumnya keluarga Pak Iing kontrak rumah pamannya di blok Kawedanan Sindanglaut. Rumah yang dikenal angker hingga kini. Dua rumah yang pernah di kontrak lainnya di daerah Stasiun Kereta Sindanglaut dan rumah bu Nani di blok kamer. Banyaknya rumah yang dikontrak membuat 9 anaknya lahir di banyak rumah. 

Diakhir hidupnya Bu Mioh berharap agar anak-anaknya diberikan kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup. Selalu mendoakan kesehatan kebahagiaan dirinya. Termasuk berdoa untuk kebahagiaan suaminya yang lama tiada. Bu Mioh kini dalam kepasrahan di usia tuanya. Semoga anak-anaknya yang sudah diasuh dan didik sejak dalam kandung bisa memperhatikan hidupnya yang kian payah seorang diri di rumah tua. (*)

Januari 07, 2025

TIGA SPIRIT LAHIRNYA GSM

Oleh:
Deny Rochman

Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menjadi gerakan revitasilasi. Revitalisasi peran dan fungsi guru dalam membawa kemajuan pendidikan melalui ruang ruang kelasnya. Sejak 2016 gerakan ini lahir, GSM perlahan namun pasti sudah merambah ke daerah daerah di Indonesia. Tipologi gerakannya yang cenderung militan, GSM punya potensi menjadi gerakan masif menasional. Ini tidak lepas spirit yang menggerakan pendirinya, M. Nur Rizal, P.hD dan Novi Poespita Candra, P.hD. Dua pasangan suami isteri, kedua dosen UGM Yogyakarta di dua fakultas berbeda.

Lahirnya GSM, paling tidak ada tiga spirit yang melandasi gerakan ini. Spirit ini terpancar dari sebuah buku karya kedua founder tersebut. Buku berjudul "Dibalik Lahirnya Gerakan Sekolah Menyenangkan" diterbitkan oleh KPG, Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta pada Agustus 2024. Di dalam buku 7 bab 214 halaman utama mengupas perjalanan lahir dan berkembangnya GSM.
Yang menarik, GSM lahir dan berkembang dari para intelektual kampus non pendidikan. Muhammad Nur Rizal adalah dosen teknologi informasi, sedangkan Novi Poespita Candra  adalah dosen Psikologi di kampus yang sama. Karena tiga perjalalanan spiritual hidup mereka yang akhirnya memutuskan terlibat langsung ikut berkontribusi positif dalam memajukan pendidikan nasional dari sekolah ke sekolah.

Perjalanan hidup Pak Rizal dan Bu Novi bersama keluarganya, selama menjadi aktivis kampus dan saat studi doktoral di negeri Kanguru Australia menjadi kekuatan spiritual lahirnya GSM. Kedua orang tuanya yang cinta ilmu, perlawanan kampus masa akhir Orde Baru, dan sistem pendidikan Australia yang bikin keduanya kepincut. Perjalanan spiritual itu membuat keduanya yakin, jika pendidikan adalah faktor penting yang bisa mengubah seseorang, bahkan mengubah nasib sebuah bangsa.

Spirit pertama datang dari kultur keluarga. Rizal berdarah Madura yang dikenal senang belajar ilmu termasuk ilmu agama. Keluarga besarnya memiliki pesantren Al Awwaliyah (berubah nama Al Kholidiyah). Budaya literasi itu kian menguat ketika ketika orang tua Pak Rizal hijrah ke Yogyakarta. Seiring perpindahan ayahnya bekerja sebagai PNS di Kota Pelajar. Orang tuanya mengaku akan bangga dan bahagia jika anak-anaknya berilmu tinggi dan bermanfaat bagi masyarakat.
Kehidupan kampus era 1990-an membuat idealisme Rizal muda makin terasah. Keterlibatannya sebagai aktivis kampus mengantarkannya sebagai Ketua Senat Mahasiswa UGM pada 1997. Perjumpaan bersama Ibu Novi di Senat, membuat kekuatan dua aktivis kampus berlipat dalam memperjuangkan hak hak sipil yang tertindas dan termarginalkan. Spirit kedua ini terus melekat tak lekang dengan waktu seiring keduanya studi doktoral di Australia.

Kedua dosen UGM ini saat studi S3 di Australia membuat anak-anaknya harus sekolah di sana. Di sekolah bule itu ditemukan nilai-nilai pendidikan karakter humanistis. Nilai-nilai yang diajarkan oleh Kihajar Dewantara, tokoh pendidikan pahlawan nasional Indonesia. Mulai awal sekolah di sana, anak-anaknya sekalipun belum bisa bahasa Inggris namun merasa betah dan semangat ke sekolah. 

Potret sistem pendidikan di Australia yang maju dan berkembang, mendorong dua dosen itu untuk berbuat sesuatu melalui GSM. Organisasi penggerak yang lahir pada era Mendikbudristek Nadiem Makarim. Di era santernya kebijakan guru penggerak. Melalui GSM, Pak Rizal dan Bu Novi dalam buku ini menyampaikan gagasan solusinya untuk masalah pendidikan Indonesia.

Beberapa solusi diantaranya menciptakan lingkungan belajar yang menghargai perbedaan. Kedua, mengutamakan pendidikan karakter. Ketiga, menempatkan guru sebagai profesi mulia dan elit. Keempat, mendorong sekolah untuk berkolaborasi, bukan berkompetisi. Selanjutnya, melibatkan orang tua dan masyarakat untuk ikut mendampingi siswa belajar. Beragam solusi itu menjadi agenda GSM dalam merevolusi pendidikan nasional. 

Buku berwarna hijau sage ini secara detail mengungkap fakta fakta sosial kelahiran GSM. Dengan bahasa terstruktur apik dan gaya tulisan yang santai, buku ini layak untuk dinikmati. Apalagi sambil menyeruput secangkir kopi pahit dengan cemilan bapkia jogja. Buku GSM ini bak secangkir kopi, kalau pikiran butuh inspirasi. (*)

Penulis adalah Pegiat Literasi, Lurah Kesepuhan Kota Cirebon.