Juni 03, 2016

ADA APA DENGAN PENDIDIKAN KITA?

Oleh:
Deny Rochman, S.Sos., M.Pd.I

Tampaknya ada masalah serius dalam pendidikan kita. PISA, Programme for International Student Assessment melaporkan pencapaian kualitas pendidikan Indonesia masih jeblok. Lembaga survai bermarkas di Perancis tersebut memposisikan Indonesia pada urutan ke 64 dari 65 negara pada tahun 2012.

Pada tahun 2016 ranking Indonesia masih belum berubah. Masih berada diposisi 60 dari 61 negara. Hasil survai tersebut dikutip oleh Dra Nita Suherneti M.Si, nara sumber Workshop Penggerak Komunitas Literasi Sekolah se- Jawa Barat di Lembang Bandung, Selasa (1/6) malam. Pengawas Disdik kota Bandung tersebut menyampaikan materi tentang Gerakan Literasi Sekolah.

Survai PISA mengukur kualitas dalam kemampuan membaca, matematika dan sains terhadap anak usia 15 tahun melalui tes dan angket. (lihat: http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa).

Berangkat dari terpuruknya kualitas pendidikan Indonesia di level dunia pemerintah melakukan berbagai kebijakan pendukung mutu. Apakah perbaikan sarana prasaran pendidikan, penataan kurikulum hingga perbaikan kesejahteraan dan kualitas guru terus dibenahi. Perbaikan nasib guru didongkrak dengan program sertifikasi pemberian tunjangan profesi. Kualitas guru dilakukan pelatihan, workshop dan seminar, termasuk uji kompetensi guru (UKG).

Gerakan literasi sekolah yang diluncurkan pemerintah pusat pada 18 Agustus 2015 upaya untuk menjawab masalah pendidikan yang memble. Herannya program literasi tersebut dipayungi dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2013 tentang penumbuhan budi pekerti. Tahapan GLS yaitu pembelajaran, pengembangan dan pembiasaan.

Tentu kita berkerut dahi, mengapa GLS dikemas dlm program penumbuhan budi pekerti siswa di sekolah. Terkesan makna budi pekerti dipersempit nelalui kebiasaan membaca dan menulis. Terbukti target GLS tercapai jika siswa memiliki sikap kritis, kreatif, empati, inovatif, wirausaha dan cinta ilmu pengetahuan.

Padahal pendidikan budi pekerti yang pernah diterapkan pasang surut pada kurikulum nasional bangsa ini memiliki banyak nilai karakter. Karakter tersebut seperti disiplin, tanggung jawab, percaya diri, toleransi, kerja keras, pengendalian diri dan sebaginya.

Hasil survai PISA atas kualitas pendidikan Indonesia belum bisa jadi parameter penuh dalam melihat budaya literasi bangsa berpenduduk 200 jutaan ini. Pasalnya hanya mengukur kemampuan membaca, matematika dan sains.

Padahal pengertian literasi versi UNESCO (2003) tidak hanya kemampuan membaca dan menulis. Tetapi mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi, juga bermakna hubungan sosial terkait dengan pengetahuan, bahasa dan budaya

Jika bangsa ini kurang gemar budaya membaca dan menulis diduga karena kultur yang berbeda antara Indonesia dengan negara maju. Bangsa kita lebih guyub dan kekeluargaan sehingga yang berkembang budaya bicara dan menonton. Berbeda dengan bangsa maju yang konon sifat individualismenya dominan sehingga lebih menyendiri daripada guyub.

Perubahan budaya tersebut cukup mjd hambatan serius perubahan bangsa ini. Lihat saja banyak warga kita yang pernah hidup di negara maju dengan beragam keperluan. Namun toh saat kembali ke Indonesia kebiasaan orang kita tetap membaur dengan budaya bangsa Indobesia. Sungguh berat.

POTRET BURAM
Terpuruknya mutu pendidikan Indonesi tak lepas dari carut marutnya proses pendidikan dari hulu ke hilir. Lihat saja dari kabinet berganti kabinet pemerintahan silih berganti kebijakan, termasuk kurikulum di dalamnya. Semakin besar anggaran pendidikan ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas pendidikan negeri ini.

Faktanya kian banyak kasus-kasus korupsi bermunculan di setiap level pendidikan. Mulai dari hulu ke hilir. Pimpinan pendidikan di setiap jenjang bagai "raja cilik" yang bisa mengatur wilayah kerjanya dalam tafsir teknis perspektifnya. Kebijakan dan program nasional tidak selalu berjalan mulus ketika sampai di tingkat daerah.

Perbaikan nasib guru masih menyisakan persoalan tersendiri bagi dunia pendidikan. Kemerdekaan guru perlahan terpenjara dengan arogansi anggota dan kelompok masyarakat yang terlalu represif dan mendikte guru. Kualitas pembelajaran pun belum sesuai harapan, karena dilaporkan msh terjadi kinerja guru yg belum profesional.

Kesadaran guru dlm menuntaskan kewajibannya sbg guru profesional penerima dana sertifikasi masih jauh panggang dari api. Laporan data nasional, msh tdk sedikit guru yg mangkir dlm tugasnya. Jika serti cair, mereka mangkir dr sekolah. Jika serti belum cair mereka mangkir dr kelas dg segala alasan.

Biaya sekolah masih ditemui di sejumlah tempat tetap mahal. Beragam pungutan masih ada dengan segala dalil pembenarannya, baik oleh sekolah maupun oleh guru. Regulasi penerimaan siswa baru pun masih tak terkendali. Tidak hanya saingan tak sehat negeri dan swasta, swasta dengan swasta tetapi juga negeri dengan negeri. Parahnya penumpukan siswa di sekolah negeri mengancam kebangkrutan sekolah swasta.

Belum lagi seringkali mendengar dan membaca berita aksi koboy di sekolah-sekolah. Aksi kekerasan melibatkan kepala sekolah terhadap guru, guru dengan guru, guru terhadap siswa. Bahkan siswa terhadap guru, ironisnya dibantu orangtuanya lagi sama LSM atau wartawan. Mengerikan!

Lembang, 2 Mei 2016

*) penulis adalah peserta workshop gerakan literasi se- Jawa Barat asal kota Cirebon.