Oleh :
Deny Rochman, S.Sos., M.Pd.I
Profesi guru terus diperdebatkan publik.
Bahkan tanpa sadar memicu konflik horizontal baik sesama pegawai negeri non
guru maupun dengan masyarakat. Pemicunya tidak lain karena semakin membaiknya
kesejahteraan guru pasca digulirkannya kebijakan sertifikasi guru. Pemberian tunjangan
profesi tersebut merubah wajah guru yang dulu dijuluki Oemar Bakri, kini
disindir sebagai guru Aburizal Bakri. Dua potret guru yang dulu penuh
kesederhanaan bahkan hidup dalam keterbatasan, dan kini gaya hidup guru
dianggap berkecukupan.
Namun masa kebahagiaan guru mulai
terusik, menyusul isu pemerintah akan menghapuskan tunjangan profesi guru. Ketua
Umum PB PGRI Sulistyo sangat kencang memprotes rencana pemerintah Jokowi yang
hendak menghapus kebijakan sertifikasi guru. Bahkan Sulistyo berani menilai,
Presiden Jokowi telah melakukan pengingkaran terhadap janjinya saat Pemilu
Presiden yang menegaskan tidak akan menghentikan tunjangan profesi guru.
Kegaduhan di dunia pendidikan
tersebut buru-buru ditangkis oleh pemerintah. Melalui Kemendikbud, pemerintah
menegaskan tidak akan ada penghapusan kebijakan dana sertifikasi guru.
Penegasan tersebut diperkuat dengan sudah dianggarkannya alokasi dana
sertifikasi guru untuk tahun 2016 mendatang. Perdebatan isu tersebut dipicu rencana
Pemerintah merubah pola penggajian pegawai negeri, yakni gaji pokok, tunjangan
kemahalan dan tunjangan kinerja.
TUGAS BERAT
Boleh saja pemerintah membantah jika
kebijakan sertifikasi guru tidak akan dihapus dengan dalih pada tahun 2016
sudah disiapkan alokasi anggaran negara. Namun perubahan pola penggajian oleh Kementerian
Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi membuat guru-guru
khususnya PNS dibuat ketar ketir. Dalam system penggajian baru disebutkan ada
tiga jenis kesejahteraan yang diberikan kepada PNS yakni gaji, tunjangan
kemahalan dan tunjangan kinerja.
Pola penggajian baru tersebut
kabarnya seorang PNS akan membawa pulang gaji lebih besar daripada gaji
sebelumnya. Sementara itu dana sertifikasi guru akan digantikan dalam bentuk
tunjangan kinerja yang dibayar per bulan bersamaan gaji. Namun pemerintah belum
mengeluarkan pedoman teknis tentang cara, variable, instrument maupun mekanisme
penilaian kinerja guru. Lalu jika sertifikasi masuk dalam tunjangan kinerja per
bulan bagaimana dengan guru-guru non PNS yang selama ini sudah menerima dana
sertifikasi.
Apabila kebijakan sertifikasi diganti
tunjangan kinerja maka dengan kata lain seluruh PNS dari semua kalangan akan
menikmati kebijakan tersebut. Artinya tidak ada sesuatu yang istimewa bagi profesi
guru dalam menjalankan tugasnya yang semakin berat. Jika itu benar maka isu
kesenjangan pendapatan antara PNS guru bersertifikasi dengan PNS non guru (struktural)
memang bukan isapan jempol belaka. Lebih-lebih bagi pegawai di lingkungan Dinas
Pendidikan yang mengurus dana sertifikasi guru tetapi mereka tidak mendapatkan
tunjangan serupa.
Tugas berat karena guru tidak saja
mengajarkan (transfer knowledge)
kepada peserta didik, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi
bisa. Tetapi tugas guru juga mendidik siswa, menjadi inspirasi, teladan bagi
siswa, merubah dan membentuk kepribadian anak menjadi karakter unggul, kuat,
mulia. Tidak jarang sekolah disebut sebagai bengkel manusia. Padahal tantangan terberat
tugas guru adalah semakin banyak siswa terlibat masalah, baik masalah motivasi
belajar, kenakalan remaja hingga tindakan kriminal.
Ironisnya, orangtua merasa gugur
kewajibannya untuk mendidik anaknya ketika mereka sudah menyekolahkan. Malah tidak
jarang orangtua memposisikan diri sebagai “kelompok penekan” (pressure group) terhadap pihak sekolah,
apabila anaknya mengalami masalah sesama siswa, merasa menjadi korban salah
ajar guru, pungutan sekolah atau ada
kebijakan yang tidak cocok. Celakanya orangtua sering membawa-bawa pihak lain
seperti LSM, wartawan, partai hingga pihak berwajib. Seyogyanya sekolah dan
orangtua menjadi mitra yang baik dalam mendidik putera puterinya, bukan
mencari-cari masalah tetapi mencari solusi.
KENDALI SISTEM
Sejak kesejahteraan guru mendapat
perhatian lebih dari pemerintah sejak program sertifikasi digulirkan, sejak
itulah ruang gerak guru dibatasi. Sejumlah kebijakan, program dan system dirancang
agar pengorbanan keuangan negara untuk kesejahteraan guru harus berbanding
lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Terlebih pemerintah
sudah menggelontorkan 20% APBN untuk pendidikan seperti dana BOS, beasiswa
siswa miskin dan berbagai bantuan yakni dana hibah, program, peralatan maupun sarana
dan prasarana sekolah.
Besarnya anggaran negara yang
tersedot dan banyaknya jumlah guru bersertifikasi, kinerja guru yang masih dianggap
tidak profesional memicu masalah baru. Masalah kesenjangan pendapatan dengan
PNS non guru. Keluhan orangtua siswa yang menilai tingkat kemangkiran guru di
kelas dan di sekolah yang masih terjadi. Problem pribadi guru yang bergaya
hidup konsumtif, hedonis. Oknum guru yang terlibat kasus kekerasan, perselingkuhan,
kawin cerai hingga tindak kriminal., menjadi dasar peninjauan kembali pemberian
dana sertifikasi.
Aroma inkonsistensi kebijakan
sertifikasi memang sudah tercium jauh-jauh hari. Sejak awal digulirkan
pemerintah tidak komitmen dengan peraturan tentang sertifikasi, misalnya harus
pendidikan sarjana. Namun dalam realitanya banyak guru yang belum berpendidikan
S1 mendapatkan dana sertifikasi dengan beragam alasan dan aturan tambahan. Terkesan
program sertifikasi bukan lagi peningkatan profesionalisme guru dalam arti
sesungguhnya. Alhasil, guru bersertifikasi massal tidak banyak menghasilkan guru
yang berkompeten malah memicu masalah baru.
Lahirnya kebijakan sekolah gratis berbutut
banyak kebijakan pendidikan yang membatasi program sekolah dan guru, khususnya
yang bersentuhan dengan uang. Seperti pelarangan menjual buku dan seragam
sekolah, melarang berbagai pungutan dari orangtua dan siswa. Selanjutnya, jam
kerja guru bertambah minimal 24 jam, dari kewajiban mengajar 18 jam hingga harus
pulang sampai sore hari. Pengajuan kenaikan pangkat guru kini per empat tahun
sekali, dari sebelumnya bisa dua tahun sekali sehingga golongan guru PNS cepat
melesat dibandingkan PNS struktural dengan masa kerja dan pendidikan yang sama.
Kelengkapan administrasi guru pun
kian komplek. Muncul penyusunan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan (PKB) dan penilaian kinerja guru (PKG). Setiap periode guru-guru
khususnya yang sudah bersertifikasi harus menjalani uji kompetensi guru (UKG). Belum
lagi seabreg perangkat administrasi pembelajaran versi kurikulum 2013
(kurtilas) dengan beragam penilaian yang menguras energi guru. Berdampak pada komunikasi
non formal guru dengan siswa berkurang.
Pola kenaikan pangkat guru tak luput
dari agenda reformasi system kepegawaian. Selain masa kenaikan bertambah per
empat tahun sekali atau sesuai angka kredit yang ditetapkan pemerintah, juga
pola usulan pun berubah. Selain usulan penetapan angka kredit (PAK), secara
bersamaan harus diajukan hasil penelitian tindakan kelas (PTK). Kedua usulan
itu harus mendapat persetujuan tim penilai. Apabila salah satunya belum
memenuhi syarat maka usulan kenaikan pangkat ditolak.
Kebijakan PTK tersebut menjadi
perdebatan di kalangan insan pendidikan. Organisasi PGRI misalnya, keberatan
dengan kewajiban guru membuat PTK. Menurut organisasi profesi guru ini,
melakukan penelitian tindakan kelas bukan bagian dari tugas pokok dan kewajiban
guru, sehingga menjadi factor penghambat kenaikan pangkat. Tetapi pemerintah
berdalih guru professional harus memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi
masalah, kendala, hambatan dan solusinya dalam kegiatan belajar di kelas
melalui PTK.
Guru masa kini tidak aman dari kebijakan
mutasi. Kebijakan ini dengan dalih pemerataan guru di berbagai sekolah dan
daerah. Sekalipun dalam realitanya kebijakan ini tak bersih dari kepentingan
politik dan ekonomi. Padahal profesi guru berbeda dengan profesi pegawai pada
umumnya. Guru bagi siswa adalah orangtua kedua di sekolah, yang sejak awal harus
paham setiap kepribadian mereka. Jika guru terus dimutasi, maka siswa pun mau
tak mau berganti-ganti orangtua di sekolah.
Nasib guru memang tak ubahnya
seperti Oemar Bakri, sebuah istilah sindiran dari penyanyi Iwan Fals. Sosok guru
yang miskin secara ekonomi dan lemah secara politik. Jika guru sejahtera banyak
orang yang teriak, sebaliknya ketika guru termiskinkan tak banyak orang yang
mau memperjuangkan selain hanya bersikap iba, empati. Tidak demikian jika
kesejahteraan itu dialami profesi lain, termasuk pendapatan para pejabat dan
anggota dewan yang fantastis. Apakah memang guru dilarang kaya? Wallahu’alam.
(*)
*) Penulis adalah guru SMP Negeri 4 Kota Cirebon