Oleh :
Deny
Rochman, S.Sos., M.Pd.I
Bangsa ini boleh saja
bangga dengan luasnya wilayah, besarnya potensi alamnya, banyaknya jumlah
penduduk, suku dan agamanya. Tetapi bagaimana
masa depan bangsa ini dalam beberapa tahun ke depan? Ini masih menjadi
pertanyaan besar yang butuh pemikiran besar dalam menjawabnya. Walikota Bandung
Ridwan Kamil, misalnya berseloroh dalam komentarnya di media social, negeri ini
butuh banyak pemuda pencari solusi, bukan pemuda pemaki-maki.
Ungkapan orang pertama
di Kota Bandung tersebut memang bukan tanpa alasan. Paling tidak selama ia
menjadi pejabat daerah banyak ditemui masalah yang melibatkan anak-anak muda. Ironisnya
fenomena ini bukan lagi situasi kedaerahan tetapi menjadi tren nasional bahkan
dunia. Padahal melihat Indonesia ke depan, bisa melihat kondisi pemuda masa
kini. Lebih banyak mana yang tampil, apakah mereka yang berkarya, berprestasi, berkarakter
positif atau pemuda yang bermasalah. Bermasalah bagi dirinya, keluarga, masyarakat
bahkan bagi agama bangsa dan negara.
Gaya hidup yang
berkembang di kalangan pemuda Indonesia adalah gaya hidup yang mulai jauh dari
nilai-nilai budaya bangsa. Baik gaya hidup dalam cara berpakaian, cara makan
dan minum, cara berfikir, pola pergaulan, hingga sistem yang dikembangkan dalam
dunia mereka tidak lepas dari budaya konsumtif, pragmatis, hedonis, materilistis
hingga mengarah kepada atheis. Hamper semuanya sulit menolak gaya hidup dalam
situasi perkembangan jaman seperti ini.
Beragam life style
pemuda masa kini tersebut jika berkembang tanpa ada kendali dan control oleh
sistem yang baik maka akan berdampak pada eksistensi bangsa Indonesia di masa
depan. Sebuah bangsa yang memiliki akar budaya yang kuat dari para leluhurnya. Budaya
yang berbeda dengan budaya bangsa asing yang tengah asyik tumbuh berkembang di
kalangan anak muda. Celakanya budaya mereka bertentangan dengan budaya asli
bangsa Indonesia.
TANDA KEHANCURAN
Jika kita mencermati
perilaku banyak anak muda Indonesia saat ini maka bisa dikatakan bangsa ini
tengah bergerak pada fase kehancuran. Paling tidak ada 10 tanda-tanda yang akan
menimpa kehancuran sebuah bangsa yang dikatakan Thomas Lickona, seorang pengamat
pendidikan karakter dari State University of New York Cortland
Amerika Serikat.
Sepuluh tanda
kehancuran sebuah bangsa yaitu (1) Peningkatnya perilaku kekerasan dan merusak
dikalangan remaja, Pelajar; (2) Penggunaan kata atau bahasa yang cenderung memburuk
(seperti ejekan, makian, celaan, bahasa slank dan lainnya); (3) Pengaruh teman jauh
lebih kuat dari pada orang tua dan guru; (4) Meningkatnya perilaku
penyalahgunaan sex, merokok dan obat-obat telarang dikalangan pelajar dan
remaja; (5) Merosotnya perilaku moral dan meningkatnya egoisme pribadi/mementingkan
diri sendiri;
Tanda berikutnya
adalah yang ke- (6), yaitu menurunya rasa bangga, cinta bangsa dan tanah air (patriotisme);
(7) Rendahnya rasa hormat pada orang lain, orang tua dan guru; (8) Meningkatnya
perilaku merusak kepentingan publik; (9) Ketidakjujuran atau berbohong terjadi
dimana-mana; (10) Berkembangnya rasa saling curiga, membenci dan memusuhi
diantara sesama warga negara (kekerasan sara).
Sungguh miris bagi
kita akan nasib bangsa Indonesia ke depan, karena semua tanda-tanda kehancuran
di atas bisa kita temui di negeri ini. Meminjam istilah sosiolog Emile Durkheim,
kondisi masyarakat tersebut disebut dengan fase anomie. Sebuah kondisi
masyarakat yang menggambarkan keadaan yang kacau tanpa peraturan. Semua orang
merasa memiliki pembenaran apa yang mereka masing-masing lakukan, sekalipun
dari sudut pandang normative konservatif bertentangan dengan hukum yang ada.
Ketiadaan supremasi
hukum dalam masyarakat membuat anak muda kehilangan kendali dan arah dalam
pergaulannya. Tiada lagi pembiasaan, motivasi dan keteladaan dalam hidup mereka,
sehingga sulit membedakan atau menjauh dari hal-hal yang merusak diri sendiri
maupun lingkungan sekitar mereka. Celakanya dalam waktu bersamaan orang tua,
guru dan figure public di sekitar mereka juga mengalami krisis yang sama
berdampak semakin parahnya kondisi social yang berjalan.
EFEK GLOBALISASI
Tidak dipungkiri perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi membawa perubahan besar bagi tatanan
kehidupan social manusia. Setiap perubahan tentu memiliki efek positif dan juga
negative yang disebarkan melalui media massa. Perkembangan iptek tersebut telah
menciptakan era globalisasi yang merambah ke setiap penujuru negara di dunia
ini, tak terkecuali Indonesia.
Globalisasi memaksa
setiap negara harus berinteraksi satu dengan yang lainnya. Muatan di dalamnya merambah
dalam segala bidang tidak saja dari sisi ekonomi seperti pasar bebas, tetapi
juga politik dengan paham demokrasi, HAM, toleransi, emansipasi. Dalam hal
budaya seperti fashion, pola hidup, makan dan minum, pergaulan dan sebagainya. Berimbas
kepada sisi negative seperti penyeragaman modus kejahatan, jenis penyakit yang
sama, hingga ideologi lintas negara berpengaruh kepada pola pikir dan nilai
norma yang dipahami kian beragam.
Berkembangnya ragam
paham dan pemikiran berbeda mempengaruhi nilai sebuah kebenaran di dalam masyarakat.
Kondisi ini tengah melanda anak muda Indonesia, yang tanpa sadar sering
disuguhkan nilai-nilai baru melalui beragam media, seperti kurikulum
pendidikan, informasi dan hiburan media massa serta berbagai kegiatan lainnya. Sementara
pondasi kepribadian anak sejak kecil luput dari program doktrin dari keluarga
mereka masing-masing. Jika sudah carut marut sedemikian rupa maka pertumbuhan
anak muda negeri ini semakin kehilangan jati dirinya sebagai generasi penerus keluarga,
bangsa, negara dan agama.
Tantangan terbesar di
masa depan bagi semua pihak adalah bagaimana mengembalikan lagi sistem
keteraturan di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sekalipun mengembalikan
sistem yang utuh tidak semudah orang bicara manakala sudah banyak orang
terkontaminasi. Namun dalam situasi yang kacau akan muncul desakan untuk hidup
dalam keteraturan setelah anggota masyarakat mengalami kejenuhan, bosan,
ketakutan, cemas, lelah menjalani hidup tanpa aturan.
Gerakan keteraturan
sistem tersebut akan dilakukan oleh sedikit orang. Merekalah orang-orang
sebagai “pewaris nabi” yang menjaga, memelihara dan mengembalikan sistem social
dalam keteraturannya. Gerakan itu mulai dari pendidikan di keluarga, di
sekolah, di pesantren hingga tempat ibadah. Gerakan tersebut bisa menjadi kelompok
penekan terhadap pemerintah dan swasta yang tidak pro terhadap perubahan sistem
yang beraturan. (*)
*) penulis adalah guru SMP Negeri 4 Kota Cirebon