Agustus 26, 2013

REUNI, ANTARA NOSTALGIA DAN GENGSI

Oleh :
Deny Rochman, S.Sos.,M.Pd

Ada kerinduan yang menghampiri. Rasa kangen yang hinggap di hati. Berjumpa dengan teman-teman lama yang sudah tidak bersua puluhan tahun.  Teman dari sekolah. Teman sewaktu kuliah. Teman-teman ketika masa kecil di kampung. Teman ketika di organisasi. Reuni menjadi sebuah pilihan untuk merajut kembali tali silaturahmi yang mulai renggang. Re bermakna kembali, uni diartikan bergabung/berkumpul.

Dibalik kerinduan, namun ada penghalang.  Problem yang sering muncul adalah rasa percaya diri. Percaya diri bertemu kembali dengan teman-teman yang sudah lama tak berjumpa. Kesuksesan menjadi tolok ukur tingkat percaya diri seseorang untuk hadir pada acara reuni. Kehadiran dalam reuni dilihat kedalaman nostalgia yang ditoreh masa itu. Jika kedua indikator itu tidak muncul, maka dipastikan yang bersangkutan tidak akan hadir dalam acara reuni.

Yah, tidak dipungkiri setiap ajang reuni selalu muncul fenomena adu gengsi. Simbol-simbol kesuksesan ditampilkan: mobil, mode pakaian, jadget, performen diri hingga cerita-cerita kesuksesan keluarga masing-masing. Ajang nostalgia berubah menjadi perang gengsi, prestise dan pamer kekayaan.

Pamer prestise sebenarnya merupakan ekses negatif dalam sebuah reuni. Tujuan utama reuni sebenarnya berkumpul kembali dengan teman-teman lama untuk saling bernostalgia, menjalin silaturahim satu sama lainnya. Sebuah kebutuhan mendasar manusia sebagai makhluk sosial. bahkan jika dikelola dengan cerdas, reuni bisa menjadi kekuatan baru dalam membangun network bagi komunitas tersebut.

Ukuran keberhasil reuni dari sisi kesuksesan materi anggotanya merupakan idikator yang sederhana. Indikator ini masih bersifat relatif dan tanpa batas. Sukses dari sisi apa, sukses dari siapa? Masing-masing kesuksesan setiap orang memiliki indikator berbeda. Bisa jadi satu teman mengukur kesuksesan dari sisi pencapaian materi, seperti memiliki rumah mewah, mobil mahal, uang berlipat dan sebagainya. Teman lainnya merasakan kesuksesan ketika kebahagiaan lahir yang diraih, kendati secara materi jauh dari simbol kemewahan dunia.

Menjadi orang kaya sebenarnya tidak terlalu sulit dibandingkan menjadi orang baik. Namun jauh lebih sulit ketika menjadi orang kaya yang baik. Ukuran pada definisi kaya materi, setiap orang bisa mendapatkan kekayaan dari cara apapun, apakah halal maupun haram. Tetapi menjadi orang baik, pasti hidupnya selalu berada pada jalan yang benar, taat pada peraturan.  Maka akan luar biasa jika orang kaya menjadi orang yang baik.

Kalau miskin baik itu biasa, tetapi kalau orang kaya baik itu hebat. Kerendahan hati ketika miskin karena mereka sadar tidak ada yang dibanggakan dari kemiskinannya tersebut.  Sekalipun kemiskinan itu lebih dekat dengan kekufuran dan kekafiran. Nah, menjadi orang kaya jika tidak memiliki keimanan maka kekayaan itu berubah menjadi alat penindasan dan alat kesombongan. Maka sangat jarang sekali orang kaya yang baik. Kendati ada yang berpura-pura baik, misalnya dermawan, padahal untuk menunjukkan status sosial dan ekonomi.

Ukuran kesuksesan hakiki terletak pada kebahagiaan yang dicapai seseorang, tanpa harus melanggar peraturan yang ada khususnya melanggar agama. Karena menjadi orang baik jauh lebih penting. Ketika seseorang menjadi orang baik, maka hidupnya akan memberikan manfaat bagi banyak orang. Ketika dia miskin, kemiskinannya tidak membuat keresahan dan kejahatan di lingkungan sekitarnya. Ketika dia kaya, kekayaannya tidak melukai dan menindas kaum yang lemah dan miskin. Diharapkan dengan kekayaan itu menjadi ladang amal berbuat baik dengan sesama.

Kaya dan miskin sesungguhnya merupakan kodrat kehidupan. Kaya dan miskin keduanya sama-sama ujian dari Tuhan. Bagi yang kaya sejauhmana kekayaannya itu bisa dimanfaatkan dijalan yang benar. Demikian juga mereka yang miskin seberapa tahan kesabaran dia dalam menahan penderitaan hidup. Semuanya bisa berubah, yang kaya bisa miskin yang miskin bisa menjadi kaya, tergantung bagaimana cara kita menyikapi kedua ujian hidup tersebut.

Artinya orang yang sukses bukan melulu dilihat dari kekayaan materi yang berhasil mereka kumpulkan. Tetapi seberapa besar peran kita dalam menyukseskan orang lain, baik di dalam keluarga, masyakarat, negara dan agama (rahmatan lilalamin). Jika kita hanya berpendidikan SMA, misalnya, maka anak kita harus berpendidikan sarjana, dan seterusnya.  Maka, reuni bisa menjadi ajang amal untuk membantu menyukseskan rekan-rekan kita yang dianggap belum memiliki sumber penghidupan yang layak.

Rasa syukur menjadi kata kunci dalam menyikapi kedua ujian hidup, kaya dan miskin. Kaya dan miskin keduanya bisa menjadi malapetaka hidup manakala hilangnya rasa syukur. Kasus kejahatan dipengaruhi oleh sikap manusia yang tidak memiliki rasa syukur.  Dengan rasa syukur Tuhan menjanjikan nikmat kita akan terus ditambah dan ditambah. Tetapi sebaliknya jika kita mengingkari maka penderitaan yang kita akan  peroleh.

Apapun yang kita raih sekarang merupakan itu yang terbaik saat ini diberikan oleh Allah Swt. Tuhan sangat memahami nasib kita, kapan kita harus diberi rejeki berlimpah dan kapan kita hidup dalam keterbatasan.  Namun itu semua tentu harus kita rubah dengan kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas dan berdoa. Jika kita kehilangan percaya diri, itu awal malapetaka yang akan membuat hidup kita terserat dalam kubang kemiskinan. Maka, kenapa harus minder ikut acara reuni. Reuni? Siapa takut !

Pronggol, 23 Agustus 2012

*) penulis adalah Ketua Ikatan Alumni SMA Muhammadiyah Sindanglaut Kab. Cirebon angkatan 1994