Agustus 26, 2013

DAMPAK SISTEMIK PPDB BERMASALAH

Oleh:
Deny Rochman, S.Sos.,M.Pd

Tahun pelajaran baru masalah baru, kembali dirasakan oleh insan pendidikan di Kota Cirebon. Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) lagi-lagi berujung pada masalah. Satu masalah klise yang tahun sebelumnya mendera kota ini yaitu overloadnya jumlah siswa baru di sejumlah sekolah negeri. Masyarakat menilai progress report kualitas PPDB setiap tahunnya terus menurun—untuk tidak mengatakan memburuk.


Fakta ini terungkap setelah banyak pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik tentang persoalan PPDB di kota udang ini. Yang menyedihkan semua pihak saling tuding dan saling menyalahkan akibat persoalan overload-nya jumlah siswa di beberapa sekolah. Harapan PPDB online untuk mengatasi persoalan ini dari tahun sebelumnya hanya harapan kosong. Kini yang harus menghadapi ekses itu adalah para pelaku pendidikan, khususnya guru.


Guru yang merasakan bagaimana ekses dari kebijakan yang keliru dilapangan terkait dengan PPDB. Gurulah yang akan sering berhadapan langsung dengan para siswa. Siswa itu baik, nakal, rajin atau malas bahkan hingga (maaf) menjurus kepada tindakan kriminal, gurulah yang harus berjibaku menghadapi dinamika kehidupan siswa di sekolah.


Tulisan ini merupakan bagian dari pemanfaatan hak-hak guru dalam menyampaikan aspirasi untuk ikut serta perbaikan sistem pendidikan di kota ini. Hak-hak ini tentu saja dilindungi oleh negara, UUD 1945, Undang-undang No. 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Rasanya sangat bersalah jika guru berdiam diri ketika ada sebuah persoalan yang menciderai dunia pendidikan.


DAMPAK SISTEMIK
Seperti diberitakan, persoalan PPDB yang paling mencuat ke publik adalah menumpuknya (overload) jumlah siswa baru di sejumlah sekolah negeri. Celakanya, penumpukan siswa baru di satu sekolah tidak berbanding lurus dengan jumlah ruang kelas belajar (RKB). Ketiadaan RKB itu berdampak pada jumlah siswa setiap ruangan melebihi ketentuan 32 hingga 40 siswa.


Masalah tersebut akan dampak sistemik dalam sistem pendidikan di Kota Cirebon. Pertama, penumpukkan jumlah siswa pada satu sekolah akan menambah anggaran sarana RKB sehingga menambah beban anggaran pemerintah. Selama ini jumlah kelas per rombongan belajar di setiap sekolah maksimal 9 kelas. Jika ada penambahan siswa baru melebihi jumlah ruang, maka pilihannya apakah jumlah siswa per kelas dipadatkan atau membangun ruang kelas baru pada tahun angaran berikutnya.


Kedua, jumlah siswa di setiap kelas yang melebihi kapasitas akan mengganggu proses kegiatan belajar mengajar (KBM). Faktor eksternal ini akan membuat kondisi ruang kelas terasa panas, pengap, bau dan gaduh sehingga akan menghambat proses KBM. Bahkan ada orangtua siswa yang mengkhawatirkan kesehatan anaknya apabila belajar dalam satu ruangan dengan kepadatan 50-60 siswa, sehingga mereka mendesak pihak sekolah segera mencari solusinya.


Ketiga, kehendak orangtua siswa agar anaknya bisa masuk sekolah negeri favorit dengan kemampuan anak pas-pasan merupakan tidak yang memaksakan diri. Anak yang dipaksakan masuk dalam lingkungan belajar yang tidak cocok akan berdampak buruk bagi perkembangan sosial dan psikologisnya, misalnya rasa minder, malu, tertekan, kurang percaya diri, tidak bisa mengikuti pelajaran dan sebagainya. Banyak kasus dijumpai di sekolah, anak yang tidak siap mental dan intelektual akhirnya harus tersisih dalam perjalanan di sekolah (drop out). Sebabnya bisa karena anak tidak bisa beradaptasi dengan sistem pembelajaran di kelas, atau anak itu bermasalah. Harapan demi sebuah gengsi sosial anaknya bisa sekolah di negeri favorit pada ujungnya berbuah malu karena drop out.


Keempat, penumpukan siswa akan menghambat pencapaian hasil belajar maksimal. Guru-guru sangat kesulitan mencari pendekatan, strategi dan metode pembelajaran dengan kapasitas overload. Jika menggunakan metode ceramah bervariasi, kondisi ruangan pasti ramai (gaduh). Apabila memakai metode belajar menyenangkan (PAIKEM) atau game edukatif, luas ruangan tidak memadai. Jika kondisi ini tetap bertahan lama akan berdampak buruk bagi kesehatan jasmani dan rohani guru.

Kelima, pengawasan dan pembinaan terhadap siswa pun semakin sulit. Semakin banyak siswa, semakin banyak potensi masalah yang muncul di sekolah. Baik masalah siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan orangtua siswa, serta siswa dengan lingkungan masyakarat. Cukup banyak kasus di sekolah yang berujung pada pelemahan posisi guru sebagai pendidik karena dianggap tidak bisa mendidik anaknya sehingga menimbulkan masalah.


Keenam, pembludaknya siswa baru pada beberapa sekolah, menciderai rasa keadilan masyarakat. Sudah menjadi pembicaraan masyarakat luas, masuk ke sekolah negeri harus memiliki akses. Apakah akses nilai akademik yang memadai, akses ekonomi hingga akses politik. Siswa yang sering menjadi korban adalah mereka yang tidak memiliki akses ekonomi dan politik, kendati nilai akademiknya cukup memadai untuk masuk ke sekolah impiannya.


Ketujuh, pihak yang sangat merasakan penderitaan akibat salahkaprahnya kebijakan PPDB adalah sekolah swasta. Jumlah siswa sekolah yayasan ini dari tahun ke tahun terus menurun drastis. Berbagai strategi dan cara modern yang dirancang oleh tim mereka untuk menjaring siswa baru hanya bagus diatas kertas. Mereka tidak berdaya mengadapi fenomena pendidikan di kota ini yang aneh tapi nyata. Alhasil, sesama sekolah swasta akhirnya saling bersaing untuk sekadar mendapat satu dua siswa baru.


Tujuh dampak sistemik tersebut saya uraikan agar semua pihak bisa memahami mengapa pihak sekolah harus membatasi jumlah siswa baru. Hal ini sekaligus menepis pernyataan anggota DPRD melalui surat kabar lokal, bahwa overload siswa baru bagian dari skenario sekolah untuk menambah jam pelajaran guru demi sertifikasi. Mengajar 24 jam syarat sertifikasi guru sudah diatur secara syah dalam ketentuan yang sudah ada, bukan merekayasa mekanisme PPDB.


SEBUAH HARAPAN
Pelaksanaan PPDB tahun ini harus menjadi pelajaran mahal untuk tahun berikutnya. Kendati harapan itu masih menggantung, karena masyarakat mengalami krisis kepercayaan. Namun ini sebuah tantangan bagi semua pihak terkait untuk menjawab keraguan masyarakat. Jangan sampai sebuah asa ini berubah menjadi “malapetaka” pendidikan kota ini, jika masalah ini dibiarkan tanpa solusi yang berkeadilan (win win solution).


Ke depan aturan maen PPDB harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, bukan hati-hati karena kepentingan yang tidak selaras dengan semangat peningkatan mutu pendidikan di kota ini. Pemkot sudah berbaik hati melaksanakan PPDB online, meskinya harus dikawal dan diamankan sesuai prosedur yang ada. Semua pihak harus menghormati mekanisme dan system yang sudah dirancang. Menahan diri untuk tidak memaksakan anaknya masuk ke sekolah negeri jika memang tidak sesuai dengan kriteria akademik yang ada.


Jika semua orang menuntut hak masuk ke sekolah negeri dengan berbagai cara, maka kebangkrutan sistem pendidikan kota ini tinggal menunggu waktu. Sebagus apapun aturannya, siapapun pemimpinnya di kota ini maka semuanya hanya indah di atas kertas. Semoga di bulan Ramadhan ini semua pihak pengambil kebijakan (discussion maker) bisa melakukan koreksi diri dan evaluasi terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan di kota ini. (*)

*) penulis adalah anggota PGRI Kota Cirebon