Oleh :
Deny Rochman, S.Sos.,M.Pd.
Berpuasa meskinya berdampak positif dalam banyak hal dalam kehidupan ini. Manfaat puasa bisa dilihat dari sisi agama, ekonomi, psikologis, social dan kesehatan. Dari sisi agama berpuasa akan mendapatkan ganjaran pahala dari Allah Swt. Secara ekonomi melalui puasa bisa berhemat anggaran pola makan. Puasa secara psikologis akan menentramkan jiwa manusia.
Dengan berpuasa menyehatkan system sosial. Memperlancar saluran komunikasi dan interaksi social melalui sholat tarawih, tadarus, buka puasa bersama dan saling peduli social dengan orang-orang yang tidak mampu. Menumbuhkan sikap empati dan simpati social. Terakhir puasa menyehatkan jasmani, dengan terpeliharanya kesehatan organ tubuh.
Namun fakta yang terjadi di masyarakat tidak demikian adanya. Banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan haus dan lapar. Puasa terjadi pemborosan, baik dalam anggaran makanan, sandang maupun biaya rutin rumah tangga lainnya seperti rekening listrik, air minum, telepon dan sebagainya.
Di bulan Ramadhan tidak sedikit orang melakukan maksiat, berbuat jahat dan tindak kekerasan. Selama puasa bahkan pasca lebaran biasanya jumlah pasien berobat bertambah. Berkumpulnya orang-orang berpuasa pada majelis mulia seperti di masjid dan pengajian-pengajian malah berubah menjadi ajang ghibah dan maksiat. Apa yang salah dari puasa sehingga umat Islam jor-joran dalam berkonsumsi?
SALAH TARSIR
Lahirnya budaya konsumtif di bulanRamadhan akibat dari penafsiran yang salah dalam memahami perintah agama. Sehingga hal-hal yang tidak ada pada bulan biasa namun diada-adakan bahkan dilembagakan pada bulan Ramadhan. Puncak konsumtif terjadi menjelang dan selama lebaran. Masyarakat bergerak menuju pusat-pusat perbelanjaan untuk membeli segala kebutuhan, mulai dari yang primer hingga yang prestise.
Beberapa kebiasaan yang salah memahami perintah agama kemudian berubah menjadi perilaku konsumtif antara lain : pertama, kebiasaan masyarakat menyediakan kurma, sirup, kolak dan makanan manis lainnya saat berbuka puasa. Perilaku ekonomi ini mengacu pada hadist Nabi Saw bahwa berbukalah dengan yang manis.
Dalam hadist diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud, kebiasaan Rosulullah berbuka dengan kurma atau air putih. Namun masyarakat lebih memilih berbuka dengan yang manis, apapun itu, padahal ada pilihan air putih. Walaupun Rosulullah Saw berbuka dengan kurma memiliki alasan kesehatan. Malahan ada yang berpendapat, berbuka dengan yang manis selain kurma akan membahayakan tubuh.
Kedua, meningkatnya jumlah jamaah sholat di masjid pada bulan Ramadhan, maraknya acara berbuka puasa bersama, tadarusan, pengajian, pemberian santunan kepada fakir miskin dan anak yatim merupakan fenomena khas di bulan puasa. Potret umat Islam itu tergerak karena banyak hadist yang mengistimewakan bulan Ramadhan.
Pada bulan Ramadhan merupakan bulan pengampunan, pahala dilipatgandakan, puasa merupakan kado khusus dari hamba kepada Tuhannya, terkabulnya doa, dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka, sebaik-baiknya bulan dan banyak lagi. Semuanya untuk mendapat gelar menjadi manusia bertakwa.
Keistimewaan bulan Ramadhan membuat bulan-bulan lain terasa sepele dalam melakukan ibadah. Pemandangan berikutnya yang terjadi pasca Ramadhan adalah semua amalan sholeh yang dikerjakan saat berpuasa kembali lagi dalam kehidupan semula. Tempat-tempat ibadah sepi, kegiatan keagamaan dan social menjadi terhenti.
Ketiga, mendekati lebaran perilaku ekonomi umat Islam meningkat. Pergerakan mereka pada awal puasa yang biasanya di masjid-masjid kini sejak sore sudah memadati pusat perbelanjaan. Pada fase ini kebutuhan yang mereka buru adalah sandang pakaian untuk lebaran. Mulai dari aksesoris bagian atas, pakaian badan hingga bagian bawah seperti sandal dan sepatu. Hal-hal yang menambah nilai plus penampilan juga diborongnya.
Kebiasaan ini terinspirasi dari hadist yang menyebutkan ketika lebaran memakai pakaian yang bagus. Hadist riwayat Bukhory Muslim menyebutkan bahwa Rosulullah dan sahabatnya memakai pakaian bagus dan “berhias” hendak sholat Ied. Makna bagus bagi banyak orang adalah pakaian baru karena dipadang enak, baru dan bagus.
Tiga kebiasaan di bulan Ramadhan tersebut merupakan tafsir yang keliru memahami perintah agama. Akibatnya umat Islam terjebak dalam budaya konsumtif selama menjalankan ibadah puasa. Tuntutan kebutuan selama puasa dan lebaran yang begitu tinggi, berdampak pada perputaran uang pada setiap orang begitu cepat. Anggaran keluarga, pemerintah, perusahaan dan lembaga bertambah banyak.
Tentu saja gaya hidup umat Islam dalam berpuasa tidak bisa disalahkan secara sepihak. Hidup di jaman kapitalisme ini berdampak pada biaya tinggi (hight cost). Jadi pola konsumsi Ramadhan pada jaman Rosulullah dengan pada masa kini jauh berbeda. Asalkan pola konsumsi masih dalam batas kewajaran. Ironisnya jika ada upaya mempolitisasi bulan Ramadhan melalui dalil-dalil agama demi keuntungan dunia yang tidak memiliki korelasi dengan kekhidmatan menjalankan ibadah puasa. (*)
*) penulis adalah Sekretaris Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab. Cirebon.
Alumni Magister Psikologi Pendidikan IAIN Syekh Nurjati Cirebon