Juli 22, 2021

ISOMAN, JANGAN LUPA ISHOMA

Suara takbir Idul Adha hanya bisa didengar dari dalam rumah. Begitu juga suara kambing yang tengah antri disembelih, hanya bisa disaksikan dari balik pagar. Yah, Selasa 20 Juli 2021 saya harus banyak istirahat di rumah. Sejak Minggu sore badan mulai terasa tidak nyaman. Bagun tidur siang di kursi tamu, kepala terasa pusing. Badan sedikit meriang. 

Apa yang terjadi? Ah ini sih masuk angin. Pikirku. Karena selama tidur, kipas angin dibiarkan berputar. Menemani lelah setelah sejak pagi mencuci mobil ditemani para bocil di depan rumah. Pada Sabtu sebelumnya, bersama anak barep mengantar beli seblak, sekalian beli obat di apotek untuk mboke bocah. Sudah sepekan kesehatan isteri terganggu. Dengan bermotor, cuaca siang itu begitu menyengat. Kulit terasa terbakar.

Senin kondisi badan masih belum membaik. Namun harus bergegas menghadiri tugas negara. Saya datang dengan mengayuh si Seli (sepeda lipat) dari rumah. Biar keringat keluar, badan hangat. Sepulang acara, saya memilih kembali istirahat hingga tertidur. Sampai-sampai tidak tahu ada rapat dinas mendadak melalui info WA. 

Hari Selasa, Rabu, dan Kamis saya terus berjuang memulihkan kondisi kesehatan saya. Segala obat-obatan, ramuan dan buah-buahan dikonsumsi. Tidur pun sementara tidak bersama isteri dan anak. Kondisi ini beberapa agenda acara kedinasan, terpaksa saya absen. Termasuk sholat Idul Adha memilih di rumah, walau masjid depan rumah mengadakan. Dengan alasa sedang tak enak body. Lagi sedang banyak istirahat di rumah. 

Anda lagi isoman yah? Pertanyaan ini silih berganti menghampiri pesan WA saya. Isoman, istilah yang kian femilier di masa pandemi ini. Bahkan maknanya makin meluas. Apapun sakitnya, istirahat di rumah akan dilabeli isoman. Kepanjangan dari isolasi mandiri. Padahal kata ini ditujukan buat mereka yang terpapar covid-19. Khususnya yang masih bergejala awal, reaktif atau orang tanpa gejala (OTG). 

Kata isoman makin trending topic seiring meroketnya kasus covid-19 selepas lebaran Idul Fitri. Bersamaan kapasitas ruang perawatan rumah sakit dan tempat isolasi khusus yang kian terbatas. Banyak orang bergejala disarankan atau memilih menjalani isolasi mandiri. Kendati dalam perkembanganya makin banyak korban meninggal dari isoman di rumah.

Di Cirebon, seorang nakes wafat saat isoman di rumah. Di Purbalingga Jawa Tengah dilaporkan satu keluarga meninggal saat menjalani isoman. Bahkan di Kota Bogor, ada puluhan orang meninggal karena isoman covid-19. Beragam kasus kematian itu diduga perawatan pasien kurang mendapat pengawasan dari tenaga kesehatan.

Bagi orang awam, isoman hanya dipahami istirahat di rumah. Tanpa ada syarat dan ketentuan berlaku. Isoman seyogianya hanya untuk mereka yang bergejala awal, ringan. Jika gejalanya berkembang dan memburuk maka pasien harus dilarikan ke rumah sakit.

Patologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Tonang Dwi Ardyanto dalam berita online kompas.com 11 Juli 2021 menjelaskan lima kondisi pasien isolasi mandiri yang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Lima gejala itu antara lain : (1) Demam yang tinggi atau semakin tinggi; (2) Mual, muntah dan diare serius secara signifikan

Gejala lainnya adalah (3) Pasien mengalami penurunan kesadaran, sejak dari mengantuk hingga tidak sadar; (4) Mengalami sesak napas; (5) Terjadi disorientasi atau perubahan kondisi yang membuat pasien bingung dengan lokasi, identitas, hingga waktu saat itu.

Menjalani isoman di rumah jangan melupakan ishoma. Apa itu? Istilah ini sebenarnya jauh-jauh hari lebih populer daripada isoman. Ishoma kepanjangan istirahat, sholat dan makan. Artinya selama isoman, penderita memperhatikan juga masalah sholat dan makan minum. Istirahat tak sekadar istirahat, tapi istirahat yang berkualitas.

Makan minum harus sehat, bergizi, bervitamin. Mengkonsumsi obat-obatan, rempah-rempah dan buah sayuran, serta berolahraga ringan dan berjemur. Jangan lupa untuk selalu disiplin menjalani protokol kesehatan walau sesama anggota keluarga. Minimal jika tak bisa mengurung diri karena alasan keterbatasan tempat, namun tetap pakai masker, jaga jarak, kurangi kontak dan selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

Sholat, menjadi kebutuhan rohani yang harus dipenuhi selama isoman. Sholat sebagai media komunikasi dengan Sang Kholiq. Akan memberikan kekuatan energi positif kepada pasien dalam menghadapi cobaan sakit. Karena pada hakekatnya  sakit itu atas ijin Allah dan Allahlah yang akan menyembuhkan. Dengan kepasrahan diri ini, pasien sadar bahwa sehat dan sakit bahkan kematian pun adalah ketentuan Sang Kholiq yang sudah digariskan takdirnya.

Dengan sholat kita diajarkn untuk membiasakan hidup sehat. Untuk berfikir positif dalam kepasrahan takdir. Mengikis kesombongan manusia yang kerap mendewakan akal. Bahwa ada kekuatan besar yang mengendalikan jagat raya ini. Jadi, sholat mestinya kebutuhan mendesak yang harus terpenuhi, apalagi saat manusia dalam penderitaan. Bukankah agama selalu identik dengan tempat pelarian ketika manusia mengalami masalah? (*)

Penulis:
Deny Rochman 
Pasien Ishoma 100% di Baiti Jannati