Mei 17, 2017

HIDUP DI NEGERI SEJUTA OKNUM

Catatan: PaDE ROCHMAN

Negeri tak bertuan. Kesan itu ada menggambarkan bangsa Indonesia masa kini. Sejak rezim Jokowi berkuasa, kegaduhan demi kegaduhan terus terjadi. Semua terkesan liar tanpa kendali. Komando tak lagi ada dari mereka yg memiliki otoritas legalitas formal pemerintahan. Ironinya di internal penguasa pun sering terjadi overlap, ada komando dibawah komando.


Beberapa kali terjadi kebijakan kontroversi pemerintah bagaikan bola tenis yang dilempar sama lempar sini. Semua lepas tangan, cuci tangan. Belum lupa dalam ingatan kita kasus kenaikan pajak bermotor yang memicu kegaduhan publik. Tak kurang Presiden Jokowi pun angkat bicara dan heran dg kebijakan itu. Kapolri Jenderal Tito dan Menkeu Sri Mulyani pun saling berbalas statmen. Diping pong saling ngacungkan jari telunjuk.


Kasus lainnya tak kalah serunya kebijakan ojek atau taksi online. Kehadiran mereka menuai protes disana sini dr awak angkutan umum lainnya. Lucunya pemerintah sempat membekukan jenis transportasi publik era digital tsb. Padahal mereka lahir karena ada restu (baca: ijin) dari pemerintah.
Mengapa sih transportasi publik tak segera dikuasai negara sajo, seperti negara2 maju lainnya. Itu kan sesuai dg UUD 1945 karena menyangkut jahat hidup orang banyak. Tapi ada nada sinis dr rakyat yang dipimpinnya. Jika angkutan umum dikuasai negara nanti malah lebih ruwet karena akan jd ladang korupsi. Nah loh?

Dalam bidang pendidikan juga mengalami distorsi filosofi. Banyak sekolah dan perguruan tinggi muncul tak berbanding lurus dg lapangan pekerjaan yg tersedia. Gampang muncul mudah juga ditutup. Ada jurusan yg penuh sesak mahasiswanya ada juga yg hny segelintir orang. Jika jurusan sdh tak diminati maka tutup saja, sekalipun baru buka seumur jagung.

Kasus jurusan TIK misalnya. Selama ini pendidikan TIK tak tersedia di PT. Jika pun ada guru TIK pasti mereka gelarnya S.Kom, sarjana komputer dari PT umum, bukan pendidikan. Nah saat perguruan tinggi pendidikan membuka jurusan TIK, malah mapel TIK di kurikulum nasional ditiadakan.

Kasus lainnya jurusan tadris di IAIN atau STAIN pernah ditolak saat penerimaan PNS di satu daerah. Belum jelas betul alasannya. Ada juga jurusan KI, kependidikan Islam di kampus Islam ini sudah mulai dihilangkan. Ga jelas juga sarjana lulusannya akan ditampung dimana.

Kasus yang banyak disoroti setiap tahun adalah penerimaan siswa baru (ppdb). Sekolah negeri begitu sesak berjubel siswanya namun sekolah swasta siswanya alakadarnya. Itu pun diperoleh dg susah payah penuh perjuangan dan air mata. Swasta diperlakukan seadanya, sementara sekolah negeri dimanja. Berbagai bantuan diprioritaskan utk sekolah negeri.

Makanan dan minuman berbahaya banyak beredar luas di masyarakat dan sekolah2. Tentu berbahaya dalam jangka panjang atau bahkan jangka menengah. Jika jangka pendek efeknya hanya di mata. Mata pencaharian orangtuanya alias duite habis. Badan Pengawasan Obat dan Makanan sudah merilis jajanan anak sangat berbahaya. Tapi anehnya beredar bebas di para pedagang.

Pedagang kecil makin merajai jalanan dan setiap sudut kota. Bahkan hingga masuk ke jalan-jalan kecil dan gang di kampung. Seolah program entrepreneur dan UKM, usaha kecil menengah berhasil. Kini hampir setiap rumah satu warung (one home one shop). Berlimpahnya pedagang juteru tak membuat mereka makmur karena ketiadaan pembeli. Malah kehadiran pedagang dijalanan dan setiap sudut kota menambah ruwetnya tata letak kota dan lalu lintas jalan.

Lahan parkiran menjadi persoalan sendiri. Di banyak kota lahan ini dijual belikan bebas oleh mereka yg dianggap kebal hukum. Dalam ruas jalan yg sama namun lahan parkir dikapling oleh kepemilikan yang berbeda. Lahan itu bisa dijual belikan dengan harga berbeda, tergantung luas dan ramai tidaknya kendaraan parkir disana. Lalu dimana peran negara?

Terlalu banyak contoh disfungsi peran keluarga yg hilang powernya. Seolah presiden hny skadar simbol kekuasaan tanpa kuasa. Beberapa kali pemerintah mengeluarkan kebijakan dari yg lunak hingga yg serem namun toh eksekusi dilapangannya lemah. Entahlah mungkin terlemahkan. Seperti ada komando dibawah komando.

Kini aksi massa makin kenceng, militan dan meluas dimana mana. Bukan saja dari kalangan umat Islam yg kerap dicap radikalisme, terorisme, fundamentalisme dan pelabelan lainnya yg menyesakkan umat ini. Kelompok lainnya diluar sana juga melakukan gerakan serupa. Sayangnya gerakan Islam yg lagi getol dibidik negara. Ada ketakutan jika gerakan Islam berubah menjadi penguasa negeri. Dianggap menjadi ancaman bagi dunia.

Kesemrawutan sistem, banyaknya kegaduhan kegaduhan menjadi indikator awal lemahnya kekuasaan negara. Sekalipun presiden telah mendapatkan mandat rakyat utk berkuasa lima tahun. Mungkin mandatnya baru setengah rakyat shg tidak totalitas. Akibatnya banyak oknum oknum berkeliaran membuat komando dibalik komando. Bener bener negara berjuta oknum. Hemmm....
18.05.17