Maret 07, 2017

MENULIS ITU MEMANG SUSAH KOK...

Menulis memang merupakan kemampuan yang paling sulit daripada kemampuan lainnya dalam berbahasa dan berkomunikasi. Seperti kemampuan berbicara dan mendengarkan. Jangankan untuk bisa terampil, sekadar mampu menulis saja banyak yang mengalami kendala. Tak hanya anak2 orang dewasa pun termasuk mereka yg berprofesi bidang intelektual, seperti guru, dosen, wartawan dsb jg menghadapi kesulitan.

Mengapa menulis suatu hal yang sulit? Pertama, menulis adalah kemampuan yg dilatih belakangan setelah kemampuan bicara dan mendengarkan. Kemampuan menulis mulai dilatih sejak anak usia sekolah, misalnya di PAUD atau TK. Kedua, menulis suatu kegiatan yg jarang dilakukan drpd bicara dan mendengar. Dalam aktifitas seharian, kegiatan menulis sangat jarang dilakukan drpd dua kemampuan lainnya.

Ketiga, menulis boleh dibilang kegiatan yg relatif cukup berat. Apalagi jika menulis yang serius akan menguras tenaga, pikiran waktu dan biaya. Aktifitas menulis melibatkan mata, tangan, otak, waktu dan biaya bahkan jiwa. Biaya utk mendapatkan sumber tulisan. Biaya utk kelancaran menghasilkan tulisan. Maka wajar jika byk orang tdk bisa bertahan lama tuk menulis drpd bicara dan mendengarkan.

Keterlibatan beberapa panca indera tsb sangat menentukan bagus tidaknya sebuah tulisan. Tulisan yang baik berangkat dr proses yang baik. Ada tahapan yang hrs dilalui dalam menulis. Niat dan niat menjadi hal dasar dlm menulis. Berawal dr niat dan ide tsb seseorang akan bisa menulis dr mana mau kemana dan fokus membatasi diri dlm ruang lingkup tulisan.

Dalam konteks menulis secara makro, apapun bisa menjadi ide tulisan selama itu memiliki daya tarik, paling tidak bagi penulis sendiri. Dalam prosesnya ide tulisan bisa dikembangkan mjd daya tarik bagi pembaca secara luas. Bukankah tulisan pd akhirnya harus dibaca oleh orang lain?

Kedua, mencari sumber data, fakta dan atau informasi yang dibutuhkan utk memperkaya dan mendukung ide tulisan. Sumber tersebut bisa diperoleh dengan banyak cara dan pilihan. Melalui sumber referensi bacaan berupa buku, majalah, surat kabar, jurnal dan sejenisnya. Bisa berbentuk hard copy atau soft copy (file atau ebook).

Data bisa diperoleh melalui observasi, wawancara atau dokumentasi. Observasi mencakup apa yang dilihat, dirasakan dan dialami. Wawancara bisa bersifat terbuka dan tertutup kepada nara sumber yang relevan. Sedangkan dokumentasi adalah arsip2 terkait ide penulisan, bisa berupa foto, video, skrip, surat, laporan dan sebagainya.

Dalam menulis, berbagai sumber data dan fakta tersebut bisa diperlukan dalam waktu bersamaan agar tingkat validitas tulisan lebih baik. Bisa juga memilah metode yang digunakan sesuai dg kebutuhan, keterbatasan waktu, dana maupun kemampuan penulis. Prinsipnya, tulisan yang dibuat harus bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Analoginya, jika menulis itu seperti membuat sebuah gedung maka harus ada bahan yang disiapkan. Mulai dari master plan (maket) gambar rancangan gedung, kebutuhan material, hingga cara pengerjaanya. Akan seperti apa ending gedung tersebut bergantung dr pembuatnya. Sama halnya dengan menulis.

Ketiga, menulis itu mestinya diawali dg sketsa rencana menulis. Menulis tentang apa, siapa yang akan ditulis, dimana, mengapa menulis itu lalu bagaimana cara menulisnya. Dengan masterplan maka tulisan yang dibuat tidak melebar kesana kemari. Nabrak sana sini. Dari awal fokus kpd sketsa yang sudah dibuat. Sekalipun mereka yg biasa menulis sketsa itu cukup dalam imajinasi dia.

Keempat, menulislah. Menulis sepanjang bahan yang tersedia dr hasil hunting sumber data, fakta dan informasi. Jika kita tulisan kita kehabisan bahan itu artinya hunting kita belum detail mencari bahan. Jika kita kesulitan mengawali tulisan, itu petanda masih ada ketakutan jika tulisan kita khawatir jelek, takut menyinggung pihak lain, takut ga ada yg baca.

Menulislah, jangan pikirkan berapa banyak orang yg akan membaca tulisan kita. Tapi ingat. Melakukan evaluasi thd karya tulisan kita langkah jitu dlam memperbaiki kualitas tulisan kita. Jadi jangan emosi jika ada pihak yg mengkritik bahkan menghina tulisan kita. Sepanjang itu konstruktif, kritik yang membangun, bukan meruntuhkan.

Tulisan yg diposting di media sosial mjd pilihan bagus utk melakukan uji kelayakan tulisan kita. Bagaimana daya tarik pembaca thd tulisan kita. Jika belum banyak yang membaca, paling tidak kita sdh memiliki dokumen ttg gagasan kita. Minimal tulisan kita dibaca sendiri bersama orang2 dekat kita. Suatu ketika jk kita butuh ide, konsep, teori kita tinggal buka kembali arsip tulisan kita.

Karya tulisan yg sdh mengalami uji publik di media sosial bisa menjadi bahan dikirim ke media massa offline. Atau bisa diterbitkan berupa buku teks atau sejenisnya. Karya kita akan abadi, bahkan bisa menjadi sumber rupiah bagi dompet penulis dan secara tdk langsung akan menyehatkan jiwa.

Jadi memang kemampuan menulis itu sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Tidak mudahnya ini karena menulis itu kegiatan yang melihatkan banyak panca indera kita. Belum lagi jika tulisan kita tidak akurat dalam mengutip sumber dan data, bisa berabe urusnnya. Jika tidak sabar berlatih, sekalipun banyak teori yang kita telan, tetap saja menulis adalah kegiatan yang menyiksa dan menyuliskan bagi mereka yang tak terbiasa. (*)