Dalam masyarakat negara maju, sektor bisnis menjadi profesi primadona.
Profesi ini diyakini bisa menyulap kehidupan seseorang lebih cepat sejahtera
dan makmur. Bahkan berefek signifikan terhadap perbaikan nasib banyak orang melalui
penciptaan banyak lapangan pekerjaan dan membantu kemaj
uan ekonomi bangsa.
Namun di Indonesia, menjadi seorang entrepreneur (wirausaha)
bukan pilihan utama. Jika bisa memilih menjadi pegawai atau karyawan, akan
lebih baik dan aman daripada menjadi bisnismen. Menjadi pegawai merupakan zona
aman beresiko kecil ketimbang bekerja sebagai pengusaha yang penuh resiko dan
ketidakpastian.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (BPP HIPMI) Bahlil Lahadalia Menurut mengatakan, saat ini Indonesia
baru memiliki 1,5 persen pengusaha dari sekitar 252 juta penduduk Tanah Air.
Indonesia masih membutuhkan sekitar 1,7 juta pengusaha untuk mencapai angka dua
persen. Sedangkan di negara Asean seperti Singapura tercatat sebanyak 7 persen,
Malaysia 5 persen, Thailand 4,5persen, dan Vietnam 3,3persen jumlah
pengusahanya.
Sementara itu Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia
membutuhkan 5,8 juta pengusaha muda baru apabila ingin memenangkan kompetisi di
era pasar tunggal Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Menurutnya jumlah pengusaha
yang ada saat ini jumlahnya baru mencapai 1,56 persen padahal standari bank
dunia menyaratkan 4 persen.
Tentu untuk mencapai jumlah angka pengusaha tersebut
tidaklah mudah. Terlebih budaya bangsa Indonesia dari turun temurun mendidik
anak-anaknya bermental pegawai, bekerja kepada orang lain. Diperkokoh lagi
budaya birokrasi tersebut melalui sistem sosial dan sistem pendidikan di negeri
ini. Coba cek saja anak muda sekarang jika ditanya setelah lulus sekolah atau
kuliah hendak kemana? Jawabnya rata-rata akan melamar pekerjaan kesana kemari.
Disinilah sering ada sindiran. Mengapa mahasiswa kedokteran
lulus dia jadi dokter, tetapi mahasiswa ekonomi lulus dia belum tentu jadi
pengusaha? Jawabnya karena mahasiswa kedokteran diajar oleh para dokter. Sedangkan
mahasiswa ekonomi tidak diajar oleh pengusaha, tetapi oleh akademisi.
Penumbuhan jiwa wirausaha itu penting dilakukan sejak dini. Karena
ini persoalan kemampuan dan ketrampilan yang membutuhkan latihan, trial and
error. Melatih membaca peluang, mengambil keputusan cepat, menghitung resiko,
melakukan negosiasi. Jika sejak dini sudah dilatih berdagang, kayaknya tak
perlu menghabiskan waktu mudanya untuk belajar ilmu ekonomi dibangku sekolah kuliah.
Seperti yang dialami pengusaha abah Bob Sadino (alm) atau eyang Dahlan Iskan,
bos media Jawa Pos group.
INTUISI
BISNIS
Bagaimana melatih
intuisi bisnis sejak dini? Kemampuan seseorang memahami bisnis tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Lihat dan tirulah pola tingkah siswa SMP Negeri 4
Kota Cirebon. Sekitar 500 siswa kelas VII dalam satu bulan Februari mereka
sibuk berjualan di sekolahnya yang berpenduduk siswanya sebanyak 1500 jiwa.
Hampir setiap hari secara berkelompok siswa menjajakan barang dagangannya dari
kelas ke kelas, dari siswa ke siswa bahkan kepada para guru.
h tersebut. Dalam Bab 3 Aktivitas Manusia dalam Memenuhi Kebutuhan tertera ada kegiatan pokok ekonomi. Kegiatan itu meliputi produksi, distribusi dan konsumsi. Sebuah kegiatan ekonomi yang selalu ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk ekonomi.
Pada kegiatan transaksi jual beli terangkum berbagai konsep
ilmu ekonomi. Ada pengetahuan tentang proses produksi, distribusi dan konsumsi.
Ada teori tentang penawaran dan permintaan serta memahami pasar. Pentingnya skill
kewirausahaan dan kreatifitas serta memahami motif dan prinsip ekonomi.
Dalam bab produksi, siswa diajarkan faktor-faktor yang harus
diperhatikan sebelum mereka meciptakan produk barang atau jasa. Faktor-faktor itu
misalnya ketersediaan bahan baku, kekuatan modal, tenaga produksi dan kemampuan
bisnis (entrepreneurship). Sebuah produk
punya daya saing, harus memiliki nilai jual. Apakah nilai guna bentuk, nilai
guna waktu, nilai guna tempat, atau nilai guna kepemilikan.
Tetapkan sedari awal untuk siapa produk itu diperuntukan.
Ini penting karena membuat usaha itu harus untung, produk harus bisa terjual. Produk
yang dibuat namun tak bisa dijual maka ia akan menjadi sampah. Dengan memahami sasaran
pembeli (segmentasi) maka kita akan tahu perilaku konsumen, baik seleranya, pendapatannya,
kemampuan daya beli dan daya saing produk sejenis. Disinilah akan menentukan penawaran
dan permintaan konsumen.
Para siswa kelas awal perlahan belajar konsep tersebut. Mereka
ditugaskan untuk membuat atau membeli produk dari pihak pertama kemudian
menjualnya. Sasaran pembeli adalah siswa sehingga mereka harus melihat daya
beli dari uang saku yang diberi orang tua siswa setiap hari. Rata-rata uang
jajan siswa kisaran 5000-20.000 per hari.
Lalu barang apa yang biasa mereka beli saat jam istirahat
tiba? Pertimbangan tersebut harus diperhitungkan oleh para siswa yang akan
berjualan secara berkelompok. Sebelumnya mereka harus membuat konsep
perencanaan usaha (bisnis plan). Poin di dalamnya adalah jenis dan nama produknya
apa, bahan baku apa saja, modal yang dibutuhkan, tenaga kerja yang diperlukan,
sasaran pembeli, keunggulan produk, menentukan harga dasar dan harga jual, cara
promosi dan penjualan, target keuntungan dan seterusnya.
Bisnis plan tersebut kemudian dipresentasikan di depan
kelas. Mereka harus dibiasakan berfikir terstruktur dan sistematis sehingga kegiatannya
terukur. Kegiatan dagang dalam pembelajaran tersebut mereka lakukan dalam jam
istirahat. Menawarkan ke teman satu kelasnya atau keliling dari kelas satu ke
kelas lainnya. Aksi dan gaya mereka menarik dan lucu dalam menjajakan barag
dagangannya. Hasilnya, banyak yang untung tetapi ada juga yang rugi.
Mereka yang untung berjualan ternyata tidak kapok untuk
berjualan. Keesokan harinya, dalam kelompok yang sama mereka berjualan lagi. Bahkan
beberapa siswa, karena desakan ekonomi keluarga akhirnya berjualan keliling di
sekolah menjadi bagian sisi lain dari kegiatan dia belajar di sekolah. Walau
kemudian ini menjadi masalah baru bagi sekolah. Lebih tepatnya masalah bagi
pedagang kantin di sekolah. Mereka mengaku pendapatannya menurun karena beberapa
siswa berjualan keliling di kelas-kelas. (*)