Oleh :
Deny Rochman
Hidup adalah
pilihan. Begitu pun kita memiliki kebebasan dalam memilih profesi sesuai dengan
potensi, minat dan bakat masing-masing. Tetapi memilih buku sebagai sumber ilmu
untuk dibaca, dipelajari dan diserap adalah sebuah keniscayaan. Apapun profesi
pilihan kita, mencintai ilmu melalui buku adalah satu pilihan. Dengan modal
ilmu, kompetensi kita akan kian professional di bidang pekerjaannya.
Kita menjadi
dokter diperlukan ilmunya. Kita menjadi pengusaha, pedagang, petani, bahkan
guru dan profesi lainnya pasti memerlukan ilmunya. Bahkan ketika kita hidup di
akheratnya pun harus memiliki ilmunya. Untuk memperoleh ilmu tersebut tentu
kita harus melakukan aktifitas membaca, menulis dan berdialog (berdiskusi).
Aktifitas
membaca, menulis dan berdiskusi adalah bagian dari budaya literasi. Menurut para ahli, budaya literasi terkait
erat dengan kemampuan membaca dan menulis seseorang. Seseorang disebut literate
apabila ia memiliki pengetahuan yang hakiki untuk digunakan dalam setiap
aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara efektif. Dalam perkembangan
berikutnya, aktifitas membaca dan menulis harus disempurnakan dengan pemahaman
dan implementasi.
Manusia
sebagai makhluk literasi memiliki akar sejarah manusia yang panjang dan tak
terbantahkan. Dalam sejarah Islam misalnya, manusia pertama di dunia yakni Nabi
Adam mendapat pengajaran langsung dari Tuhannya. Disebutkan dalam Al Quran
Surat Al-Baqarah 31-32, bagaimana Tuhan mengajarkan kepada Nabi Adam nama-nama
benda. Kemudian Tuhan menanyakan hal sama kepada para Malaikat namun malaikat
tidak bisa menjawabnya jika tidak diajarkan oleh Tuhannya.
Begitu pun
ketika Habil dan Qabil, dua putera Nabi Adam terlibat perkelahian sehingga berujung
kematian Habil terjadi proses pembelajaran disana. Burung gagak yang diutus
oleh Allah Swt, mengajarkan kepada Qabil bagaimana memperlakukan manusia jika
meninggal dunia. Sejarah awal manusia tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah
makhluk literasi.
Akal sebagai
anugerah terbesar Tuhan bagi manusia dirakit sedemikian rupa agar bisa bekerja
menyerap dan menerapkan ilmu pengetahuan secara maksimal. Maka semakin tinggi
keilmuan manusia maka semakin kuat ia bertahan hidup di dunia. Namun kekuatan
akal manusia tersebut harus diimbangi dengan kekuatan spiritual atau religi
sehingga bisa tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang memiliki kesalehan
sosial.
Melihat
pentingnya ilmu bagi manusia, maka Tuhan pun mewajibkan bagi hambanya untuk
menuntut ilmu. Menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahat, walau harus
jauh ke negeri China. Dan siapa saja mereka yang menuntut ilmu maka Allah Swt
akan mengangkat derajatnya dan dimuliakan. Bahkan mereka yang meninggal saat menuntut
ilmu akan diganjar surga oleh Allah Swt.
Wahyu
pertama yang diperintahkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw menunjukkan bahwa
membaca dan menulis merupakan hal sangat penting dalam hidup di dunia bahkan di
akherat kelak. Nabi Muhammad yang belum bisa membaca harus menjalani proses
pembelajaran tercepat di dunia. Beberapa kali Malaikat memaksa nabi untuk
membaca ayat pertama yang diturunkan hingga akhirnya mampu membaca dan menulis
yang diharapkan Allah Swt.
Perintah
membaca (iqro) untuk mengenal dan mengetahui ilmu yang bersumber dari
Allah Swt. Ilmu yang sangat banyak jumlahnya tersebut harus ditulis (qalam)
agar lebih abadi diingat. Ilmu pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan
penulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sebab itu ikatlah buruanmu
dengan tali yang teguh.
Hidup tanpa ilmu akan berjalan tanpa arah. Bahkan hilangnya ilmu
menjadi petanda awal kehancuran kehidupan. Nabi Muhammad Saw pernah bersabda,
jika suatu pekerjaan/urusan dilakukan orang tidak memiliki kompetensi, tidak professional
maka akan hancur.
Berbagai
ilmu tersebut banyak dijumpai dalam wujud buku-buku. Sekalipun dalam
perkambangannya banyak ragam media yang memuat ilmu seperti media elektronik,
media massa cetak dan sebagainya. Namun membaca dan menulis dalam bentuk buku
merupakan literasi dasar (basic literation) bagi manusia, sebelum
manusia itu menerima literasi media (media literation).
Tinggi
rendahnya budaya literasi yang berkembang di masyarakat menjadi barometer
kemajuan sebuah peradaban. Bahkan untuk melihat budi pekerti sebuah masyarakat
tinggal lihat budaya disiplin dan taat peraturan lalu lintas di jalanan. Jika
banyak yang melanggar maka budaya literasinya masih payah. Itulah kemudian,
Kepala Dinas Pendidikan DR Asep Hilman M.Pd menilai, rendahnya budaya literasi
menjadi sumber masalah pendidikan di Indonesia. Jika ini sudah dibenahi maka kualitas
pendidikan negeri ini semakin membaik. Semoga! (*)
*) Penulis
adalah guru SMP Negeri 4 Kota Cirebon.