April 12, 2016

POLEMIK OBYEK KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA

Oleh :
Deny Rochman

A.     PENDAHULUAN
Psikologi secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran (kognisi), perasaan (emotion) dan kehendak (konasi). Gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa, normal dan beradab. Dengan demikian ketiga gejala pokok tersebut dapat diamati melalui sikap dan perilaku manusia.
Namun terkadang ada diantara pernyataan dalam aktivitas yang tampak itu merupakan gejala campuran, sehingga para ahli psikologi menambahnya hingga menjadi empat gejala jiwa utama yang dipelajari psikologi, yaitu pikiran, perasaan, kehendak dan gejala campuran. Adapun yang termasuk gejala campuran ini seperti intelegensi, kelemahan maupun sugesti.

Psikologi berasal dari kata Yunani psyche yang artinya jiwa. Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi berarti ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya. Namun pengertian antara ilmu jiwa dan psikologi sebenarnya berbeda atau tidak sama karena ilmu jiwa adalah ilmu jiwa secara luas termasuk khalayan dan spekulasi tentang jiwa itu, sedangkan ilmu psikologi merupakan ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah. Secara umum, psikologi memiliki arti ilmu tentang jiwa.
Namun karena jiwa itu abstrak dan tidak bisa dikaji secara empiris, maka kajiannya bergeser pada gejala-gejala jiwa atau tingkah laku manusia. Oleh karena itu karena yang dikaji adalah gejala jiwa atau tingkah laku, maka terjadilah beberapa pemahaman yang berbeda mengenai definisi tingkah laku itu sendiri.  Ada yang memahami psikologi sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab (Jalaludin dalam Bambang, 2008: 11). Sementara Robert H Touless mendefinisikan psikologi sebagai ilmu tingkah laku dan pengalaman manusia.
Kendati beragam penjelasan, namun secara umum bahwa psikologi adalah sebuah ilmu yang meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dan gejala kejiwaan. Dalam bahasa Arab, psikologi sering disebut dengan ilmun-nafs atau ilmu jiwa. Sedangkan kata nafs dalam bahasa Arab mengandung arti jiwa, ruh, darah, jasad, orang dan diri  (Hamdani Bakran, 2007: 25).
Sedangkan agama berkaitan dengan kehidupan rohani manusia. Sama halnya istilah psikologi, agama juga memiliki banyak pengertian. Ada yang mengartikan hubungan manusia dengan sesuatu kekuasaan luar yang lain dan lebih daripada apa yang dialami manusia. Agama dipahami juga sebagai kebiasaan, tradisi berdasarkan kitab suci. Himpunan peraturan keagamaan yang dipergunakan sebagai pedoman hidup bermasyarakat, berguna untuk meningkatkan keruhanian dan mencapai kesempurnaan.   
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Perbedaan pengertian agama, menurut J.H Leuba (dalam Bambang, 2008:12), bersumber dari perbedaan pendapat penulis bagaimana mereka menggunakan istilah tersebut  dalam penelitiannya. Memang agama sebagai bentuk keyakinan cukup sulit untuk diukur secara tepat. Hal inilah membuat para ahli kesulitan mendefiniskan agama.
Harun Nasution merumuskan empat hal yang terdapat dalam agama antara lain :
1.      Kekuatan gaib, yang diyakini berada di atas kekuatan manusia.
2.      Keyakinan terhadap kekuatan gaib sebagai penentu nasib baik dan buruk manusia.
3.      Respon penyembahan manusia terhadap kekuatan gaib.
4.      Paham akan adanya sesuatu yang suci, bisa berupa kekuatan gaib, ajarannya dalam bentuk kitab atau tempat-tempat tertentu.
Dalam faktanya, agama menunjukkan berpusat pada Tuhan atau dewa-dewa sebagai ukuran yang menentukan dan tidak boleh diabaikan. 
Namun demikian, pada hakikatnya apapun bentuk dan definisi agama yang diberikan para ahli tersebut, jika tidak mewakili dari apa yang dirasakannya, dipikirkannya, dan dilaksanakannya berdasarkan norma-norma yang berlaku, maka dengan sendirinya agama akan kehilangan maknanya. Sebagaimana menurut Frankl yang dikutip oleh E. Koswara, bahwa yang paling dicari dan diinginkan oleh manusia dalam hidupnya adalah makna, yakni makna dari segala yang dilaksanakan atau dijalaninya, termasuk dan yang terutama makna hidupnya itu sendiri. Dengan demikian keinginan kepada makna (the will to meaning) adalah penggerak utama dari kepribadian manusia dalam melakukan aktivitas prilaku hidupnya, yang dalam hal ini termasuk perilaku ritual keagamaan, yang merupakan psikoterapi terhadap psiko-patalogis manusia dari kehampaan eksistensinya sebagai manusia.
Roger M. Keesing dalam bukunya Antropologi Budaya menguraikan tiga fungsi agama, yaitu agama memberikan keterangan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang eksistensial, agama memberikan pengesahan untuk menerima adanya kekuatan di dalam alam semesta yang mengendalikan dan menopang tata susila serta tata sosial masyarakat, serta agama menambah kemampuan manusia untuk menghadapi kelemahan hidupnya dan memberikan dukungan psikologis bagi dirinya.
 Dengan demikian agama bagi manusia merupakan kekuatan yang dapat mengantarkan manusia itu sendiri, supaya ia dapat mencapai kesempurnaan dan dapat memberikan penjelasan secara menyeluruh tentang realitas kematian, penderitaan, tragedi serta segala sesuatu yang berkaitan erat dengan makna hidupnya.
Kaitannya dengan rasa agama, Zakiah Darajat, dalam bukunya yang berjudul Kesehatan Mental mengemukakan, bahwa rasa agama itu adalah sangat bersifat subyektif, intern dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dengan orang lain.
Lalu, apa yang dimaksud dengan psikologi agama? Menurut Zakiah Darajat (1970:15), psikologi agama adalah ilmu yang mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan tindak agama orang itu dalam hidupnya. Thouless (1992:11) berpendapat, persoalan pokok dalam psikologi agama adalah kajian terhadap kesadaran agama dan tingkah laku agama atau kajian terhadap tingkah laku agama dan kesadaran agama (dalam Bambang, 2008: 16).
Psikologi agama merupakan satu bagian kajian psikologi secara menyeluruh, yang membahas masalah-masalah kejiwaan yang berkaitan dengan keyakinan seseorang. Agama yang sering dijadikan alternatif pemecahan masalah bagi kehidupan, menjadi sangat penting bagi manusia. Sebab dengan agama manusia dapat menyelesaikan gejolak hatinya yang berkaitan dengan jiwa dan kehidupan praktis mereka. Kekayaan, jabatan, kekuasaan dan segala bentuk kenikmatan duniawi, tidak menjadi jaminan bagi manusia untuk dapat menyelesaikan masalah dalam hidupnya.
Apabila seseorang tergolong pada manusia yang baik, maka penyelesaiannya adalah dengan agama. Tetapi jika sebaliknya, maka pelariannya adalah pada hal-hal yang bersifat negatif. Untuk itu agama bagi kebanyakan orang adalah alternatif yang layak untuk dijadikan sebagai pandangan hidup (way of life). Dengan demikian agama sangat berkaitan dengan jiwa seseorang. Untuk itu kajian psikologi yang mempelajari gejala tingkah laku seseorang akan mempelajari pula tentang gejala keberagamaannya. Karena beragama tidak dapat dipisahkan dari hati atau keadaan jiwa seseorang, maka antara agama dan jiwanya merupakan dua hal yang berbeda dalam satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
Dari asumsi di atas, maka kajian psikologi agama merupakan cakupan dari dua bagaian yang berbeda, hal ini berlainan dengan cabang-cabang psikologi lainnya. Dimana jika psikologi secara umum mengkaji tentang gejala psikis dan kaitannya dengan tingkahlaku seseorang serta bersifat empiris, maka agama lebih dari bersifat metafisis.
Jalaludin dalam bukunya Pengantar Ilmu Jiwa Agama, mengatakan bahwa ilmu jiwa agama merangkum dua bidang kajian yang berbeda, yaitu ilmu jiwa dan agama. Meskipun kedua bidang tersebut sama-sama mencakup masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan batin seseorang, akan tetapi dari sisi tertentu terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Dimana masalah kejiwaan manusia dikaji berdasarkan kajian empiris yang bersifat profan, sedangkan agama sebaliknya mengandung kepercayaan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang sulit untuk dikaji secara empiris. 
Dari perbedaan tersebut di atas, maka terjadi pertentangan antara para ilmuan psikologi dan para agamawan. Hal itu terjadi karena kedua bidang tersebut memiliki metodologi tersendiri dalam menyelesaikan masalahnya. Dimana para ahli psikologi menolak, karena agama tidak dapat dikaji secara empiris dan ilmiah, dengan alasan agama mengandung nuansa simbolik yang bersifat abstrak. Demikian pula kaum agamawan, mereka tidak sepakat apabila agama dikaji secara empiris psikologi, karena mereka khawatir agama akan kehilangan kesakralannya dan kajian psikologi mempengaruhi norma-norma agama yang telah diyakini oleh seseorang.
Namun demikian pertentangan antara para ahli psikologi dan para agamawan akhirnya terselesaikan pada sekitar akhir abad ke 19, yakni ketika munculnya pendapat William James yang memberikan kuliah di bebrapa universitas di Skotlandia. Tulisan James yang berjudul Varieties of Religious Experience, telah memberikan kesan positif atas berkembangnya psikologi agama. James beranggapan bahwa psikologi merupakan salah satu metoda untuk mengembangkan pemahaman keagamaan. Untuk itu James menegaskan bahwa fungsi yang paling esensial bagi para ahli psikologi adalah mengkaji dan mengamati keagamaan tanpa melibatkan dirinya dalam penilaian terhadap kebenaran ajaran-ajaran agama atau memuji nilai-nilai agama.
Berbeda dengan James, Zakiah Darajat berpendapat bahwa ilmu jiwa agama adalah sebuah ilmu yang mengkaji, meneliti, dan menelaah tentang kehidupan beragama seseorang dan mempelajarinya seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Di samping itu ilmu jiwa agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, dan faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.
Di atas telah dijelaskan bahwa psikologi agama merupakan dua bidang kajian yang sama sekali berbeda. Kalaupun keduanya sulit untuk disatukan, namun kenyataannya agama telah banyak mempengaruhi tingkah laku para pemeluknya. Begitu pula sebaliknya, kejiwaan juga mempengaruhi sebagian keyakinan seseorang dalam beragama. Zakiah Darajat mengemukakan, untuk dapat mengetahui pengertian psikologi agama secara jelas, maka kita harus terlebih dahulu mengetahui masing-masing definisi dari keduanya, yakni apa yang dimaksud dengan agama dan apa pula yang dimaksud dengan psikologi. Sehingga akhirnya kita dapat menemukan perbedaan dan persamaan serta fungsi dari keduanya. 
Dalam pelaksanaanya, tingkah laku berkaitan erat dengan jiwa dan jasad manusia, sehingga para ahli psikologi berbeda pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan tingkah laku itu. Menurut ahli psikoanalisa, tingkah laku itu berkaitan erat dengan aspek-aspek sadar dan ketidaksadaran manusia, karena kedua aspek inilah banyak yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Sedangkan menurut pandangan behavioristik, tingkah laku manusia itu didasarkan pada aspek realitas, yaitu aspek phisik manusia yang dapat diamati pada tingkah lakunya. Untuk itu mempelajari psikologi merupakan suatu usaha untuk mengenal manusia lebih dekat dan memahaminya, serta menggambar kepribadian manusia dalam bentuk tingkah lakunya dan mempelajari pula aspek-aspek yang berkaitan dengan dirinya sebagai manusia.


B.     OBYEK KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA
Melihat kepada rumusan yang diungkapkan oleh Zakiah Darajat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa psikologi agama merupakan salah satu kajian empiris umat beragama. Artinya, dasar-dasar keyakinan dan pemahaman seseorang dapat diteliti secara empiris melalui tingkah laku seseorang dari pemahamannya terhadap agama yang diyakininya. Dalam konsep psikodiagnostik, perilaku beragama seseorang dipahami melalui penafsiran terhadap tanda-tanda tingkah laku, cara berjalan, langkah, gerak isyarat, sikap, penampilan wajah, suara dan seterusnya (lihat Hamdani, 2002: 129).
Kalaupun agama secara khusus tidak dapat dikaji secara empiris, akan tetapi pemahaman keagamaan seseorang yang berwujud dalam bentuk tingkah laku dapat diteliti. Yakni sejauh mana kapasitas seseorang dalam menyakini suatu agama. Sebab adakalanya seseorang yang mengaku dirinya beriman, namun dalam tingkahlakunya tidak mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang dianggap tidak beriman (dalam artian normatif) namun segala tingkah lakunya mencerminkan suatu nilai keagamaan tertentu. Untuk itu dengan kajian empiris yang dilakukan oleh psikologi agama akan dapat diketahui kadar kualitas keimanan seseorang.
Sebab tanpa disadari oleh berbagai kalangan bahwa munculnya kesadaran beragama, pengalaman keagamaan dan gejolak hati seseorang sangat berkaitan dengan psikologi. Sehingga tidak memiliki dasar yang kuat jika seseorang menolak adanya kajian empiris yang dilakukan ahli psikologi agama. Karena penelitian yang dilakukan ahli psikologi agama hanya sebatas pada pengalaman dan kesadaran seseorang dalam memahami keyakinan agamanya, dan tidak mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau norma-norma terbaik dari agama tertentu.
Berdasarkan pendapat di atas, maka penelitian psikologi merujuk pada suatu sistem dari berbagai metode penelitian yang diarahkan pada pemahaman terhadap apa yang telah diperbuat, yang telah dipikirkan dan dirasakan oleh manusia. Sebab pijakan kepribadian manusia berdasarkan pada apa yang telah dipikirkan, dirasakan dan yang telah diperbuat olehnya. Sehingga Robert H. Thouless mengatakan, bahwa seorang peneliti psikologi tertentu dapat mempergunakan salah satu bentuk behaviorisme teoritik di mana ia menganggap bahwa perolehan mengenai tingkah laku manusia sebagai proses mekanik yang ditentukan oleh suatu prinsip yang menyatakan bahwa tingkah laku terpuji cenderung untuk diulangi.
Pada dasarnya psikologi agama tidak membahas tentang iman dan kufur, surga dan neraka, serta hari kiamat dan sebagainya, juga tidak membahas mengenai definisi dan makna agama secara umum. Namun psikologi agama secara khusus mengkaji tentang proses kejiwaan seseorang terhadap tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk itu dalam psikologi agama dikenal adanya istilah kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience).
Menurut Zakiah Darajat kesadaran agama itu adalah bagian atau hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi atau disebut juga dengan aspek mental dan aktivitas agama. Sedangkan yang dimaksud pengalaman agama adalah unsur perasaan dan kesadaran agama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakannya.
 Dengan demikian psikologi agama tidak terlibat dalam memberikan penilaian benar atau salahnya suatu agama, yakni tidak mencampuri dan membahas keyakinan agama-agama tertentu. Untuk itu psikologi agama mengkaji dan meneliti proses keberagamaan seseorang, perasaan atau kesadaran beragamanya dalam pola tingkah laku kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat ditemukan sejauh mana pengaruh agama dan keyakinan tertentu pada dirinya. Dan yang terpenting adalah bagaimana kelakuan atau tindakan keagamaan yang telah diyakininya. Dengan kata lain bagaimana pengaruh keberagamaan seseorang terhadap proses dan kehidupan yang berkaitan dengan keadaan jiwanya, sehingga terlihat dalam sikap dan tingkah laku secara fisik dan sikap atau tingkah laku secara bathini yang mana dapat diketahui cara berpikir, merasa atau emosinya.
Aristoteles, menggambarkan jiwa sebagai potret badan. Menurut al Farabi, makna jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi fisik adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Sebab jiwa merupakan kesempurnaan pertama bagi fisik alamiah dan bukan bagi fisik buatan. Al-Kindi berpendapat, jiwa akan tetap kekal setelah kematian. Ia pindah ke alam kebenaran yang di dalamnya terdapat nur Sang Pencipta. Pentingnya kajian jiwa tersebut, sehingga Ibnu Miskawaih mengatakan, penyebab senang tidak hidup seseorang dipengaruhi oleh jiwa. Jika jiwa seseorang baik, mulia dan senang maka ia harus bergaul dengan orang-orang yang baik (M Utsman Najati, 2002).
Dari penjelasan diatas, ruang lingkup obyek kajian psikologi agama menurut Zakiah Darajat (dalam Hamdani, 2007: 27-28) meliputi kajian :
1.      Bermacam-macam emosi yang menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tentram setelah selesai sholat, rasa lepas dari ketegangan batin sesuadah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, perasaan tenang, pasrah dan menyerah setelah berdzikir dan ingat kepada Allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang dialaminya.
2.      Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual kepada Tuhannya, misalnya merasa tentram dan kelegaan batin.
3.      Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup setelah mati (akherat) pada tiap-tiap orang.
4.      Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5.      Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci dan kelegaan batinnya.
Dengan demikian psikologi agama adalah ilmu yang mempelajari dan meneliti tentang pengaruh dan peran pengalaman agama terhadap eksistensi diri seseorang berupa sikap, perilaku, tindakan, penampilan yang muncul di permukaan aktifitas kehidupan secara nyata.

Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki obyek kajian tersendiri dari disiplin ilmu yang mempelajari masalah agama lainnya. Sebagai contoh, dalam tujuannya, psikologi agama seperti diungkapkan Robert H. Thouless, memusatkan kajiannya pada agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok atau masyarakat. Kajian berpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan menggunakan pendekatan psikologi (Bambang, 2008: 18).
   


C.      PENUTUP
Agama bagi sebagaian orang merupakan bentuk ungkapan moral yang paling tinggi, yang selalu menjadi kebutuhan ideal bagi manusia. Karena agama merupakan pandangan hidup yang sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari dirinya. Agama juga memberikan semesta simbolik bagi manusia untuk mengetahui makna dibalik kehidupannya, serta memberikan penjelasan secara komprehensif mengenai berbagai pertanyaan yang tak terjawab, karena agama merupakan suatu kepercayaan dalam bentuk spiritual.
Agama bagi manusia merupakan kekuatan yang dapat mengantarkan manusia itu sendiri, supaya ia dapat mencapai kesempurnaan dan dapat memberikan penjelasan secara menyeluruh tentang realitas kematian, penderitaan, tragedi serta segala sesuatu yang berkaitan erat dengan makna hidupnya.
 Oleh karena itu eksistensi rasa agama bagi manusia pada hakikatnya adalah suatu pengalaman dari keyakinan yang difahaminya, sehingga agama dapat merefleksi pada diri pemeluknya yang berdimensi Ketuhanan, psikologis, dan sosiologis. Dimensi Ketuhanan tersebut merupakan sumber nilai kebenaran dan kebaikan, sedangkan dimensi psikologis adalah sisi lain dari keyakinan seseorang yang sangat individual, adapun dimensi sosiologis adalah bentuk pengalaman manusia dari suatu yang telah diyakininya guna membentuk sistem sosial lingkungan yang lebih bermoral.
Psikologi agama pada dasarnya, secara komprehensip membahas dan mengkaji tentang fenomena-fenomena keadaran dan pengalaman psikologis atau tentang rasa keagamaan manusia, yang bertujuan dan berfungsi sebagai penyadaran psikopatalogis manusia dewasa ini. Yakni bagaimana agama dalam hal ini, memiliki peran dan fungsi untuk merehabilitasi, mengantisipasi, dan mengentaskan permasalahan-permasalahan kejiwaan manusia yang diakibatkan oleh pengaruh perkembangan sosio-kultur yang harmonis dengan sebuah pendekatan psikologis.
Yaitu dengan membahas situasi dan kondisi tentang perubahan perkembangan penerimaan dan pengalaman agama pada setiap priode tertentu, yaitu pada masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa lansia (usia lanjut). Karena pada masa-masa tersebut perkembangan keagamaan masing-masing individu berbeda-beda, baik dari aspek kwantitas maupun dari aspek kualitas keberagamannya.

****Makalah disampaikan dalam mata kuliah Psikologi Agama, DR. Sumanta, M.Ag dalam program Pascasarjana Kosentrasi Psikologi Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2009.