Oleh :
Deny Rochman
A. PENDAHULUAN
Psikologi secara umum mempelajari
gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran (kognisi),
perasaan (emotion) dan kehendak (konasi). Gejala tersebut secara umum
memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa, normal dan
beradab. Dengan demikian ketiga gejala pokok tersebut dapat diamati melalui
sikap dan perilaku manusia.
Namun terkadang ada diantara
pernyataan dalam aktivitas yang tampak itu merupakan gejala campuran, sehingga
para ahli psikologi menambahnya hingga menjadi empat gejala jiwa utama yang
dipelajari psikologi, yaitu pikiran, perasaan, kehendak dan gejala campuran.
Adapun yang termasuk gejala campuran ini seperti intelegensi, kelemahan maupun
sugesti.
Psikologi
berasal dari kata Yunani psyche yang artinya jiwa. Logos berarti ilmu
pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi berarti ilmu yang mempelajari
tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya.
Namun pengertian antara ilmu jiwa dan psikologi sebenarnya berbeda atau tidak
sama karena ilmu jiwa adalah ilmu jiwa secara luas termasuk khalayan dan
spekulasi tentang jiwa itu, sedangkan ilmu psikologi merupakan ilmu pengetahuan
mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah. Secara umum,
psikologi memiliki arti ilmu tentang jiwa.
Namun karena jiwa itu abstrak dan
tidak bisa dikaji secara empiris, maka kajiannya bergeser pada gejala-gejala
jiwa atau tingkah laku manusia. Oleh karena itu karena yang dikaji adalah
gejala jiwa atau tingkah laku, maka terjadilah beberapa pemahaman yang berbeda
mengenai definisi tingkah laku itu sendiri.
Ada yang memahami psikologi sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa
manusia yang normal, dewasa dan beradab (Jalaludin dalam Bambang, 2008: 11).
Sementara Robert H Touless mendefinisikan psikologi sebagai ilmu tingkah laku
dan pengalaman manusia.
Kendati beragam penjelasan, namun
secara umum bahwa psikologi adalah sebuah ilmu yang meneliti dan mempelajari
sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dan gejala kejiwaan. Dalam
bahasa Arab, psikologi sering disebut dengan ilmun-nafs atau ilmu jiwa.
Sedangkan kata nafs dalam bahasa Arab mengandung arti jiwa, ruh, darah,
jasad, orang dan diri (Hamdani Bakran,
2007: 25).
Sedangkan agama berkaitan dengan
kehidupan rohani manusia. Sama halnya istilah psikologi, agama juga memiliki
banyak pengertian. Ada yang mengartikan hubungan manusia dengan sesuatu
kekuasaan luar yang lain dan lebih daripada apa yang dialami manusia. Agama
dipahami juga sebagai kebiasaan, tradisi berdasarkan kitab suci. Himpunan
peraturan keagamaan yang dipergunakan sebagai pedoman hidup bermasyarakat,
berguna untuk meningkatkan keruhanian dan mencapai kesempurnaan.
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga
disebut dengan nama Dewa atau nama
lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan tersebut. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama
yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep
ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio
dan berakar pada kata kerja re-ligare
yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi,
seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Perbedaan pengertian agama,
menurut J.H Leuba (dalam Bambang, 2008:12), bersumber dari perbedaan pendapat
penulis bagaimana mereka menggunakan istilah tersebut dalam penelitiannya. Memang agama sebagai
bentuk keyakinan cukup sulit untuk diukur secara tepat. Hal inilah membuat para
ahli kesulitan mendefiniskan agama.
Harun Nasution merumuskan empat
hal yang terdapat dalam agama antara lain :
1. Kekuatan
gaib, yang diyakini berada di atas kekuatan manusia.
2. Keyakinan
terhadap kekuatan gaib sebagai penentu nasib baik dan buruk manusia.
3. Respon
penyembahan manusia terhadap kekuatan gaib.
4. Paham akan
adanya sesuatu yang suci, bisa berupa kekuatan gaib, ajarannya dalam bentuk
kitab atau tempat-tempat tertentu.
Dalam faktanya, agama menunjukkan
berpusat pada Tuhan atau dewa-dewa sebagai ukuran yang menentukan dan tidak
boleh diabaikan.
Namun demikian, pada hakikatnya
apapun bentuk dan definisi agama yang diberikan para ahli tersebut, jika tidak
mewakili dari apa yang dirasakannya, dipikirkannya, dan dilaksanakannya
berdasarkan norma-norma yang berlaku, maka dengan sendirinya agama akan
kehilangan maknanya. Sebagaimana menurut Frankl yang dikutip oleh E. Koswara,
bahwa yang paling dicari dan diinginkan oleh manusia dalam hidupnya adalah
makna, yakni makna dari segala yang dilaksanakan atau dijalaninya, termasuk dan
yang terutama makna hidupnya itu sendiri. Dengan demikian keinginan kepada
makna (the will to meaning) adalah penggerak utama dari kepribadian
manusia dalam melakukan aktivitas prilaku hidupnya, yang dalam hal ini termasuk
perilaku ritual keagamaan, yang merupakan psikoterapi terhadap psiko-patalogis
manusia dari kehampaan eksistensinya sebagai manusia.
Roger M. Keesing dalam bukunya
Antropologi Budaya menguraikan tiga fungsi agama, yaitu agama memberikan
keterangan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang eksistensial, agama
memberikan pengesahan untuk menerima adanya kekuatan di dalam alam semesta yang
mengendalikan dan menopang tata susila serta tata sosial masyarakat, serta
agama menambah kemampuan manusia untuk menghadapi kelemahan hidupnya dan
memberikan dukungan psikologis bagi dirinya.
Dengan demikian agama bagi manusia merupakan
kekuatan yang dapat mengantarkan manusia itu sendiri, supaya ia dapat mencapai
kesempurnaan dan dapat memberikan penjelasan secara menyeluruh tentang realitas
kematian, penderitaan, tragedi serta segala sesuatu yang berkaitan erat dengan
makna hidupnya.
Kaitannya dengan rasa agama,
Zakiah Darajat, dalam bukunya yang berjudul Kesehatan Mental mengemukakan,
bahwa rasa agama itu adalah sangat bersifat subyektif, intern dan individual,
dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dengan orang
lain.
Lalu, apa yang dimaksud dengan
psikologi agama? Menurut Zakiah Darajat (1970:15), psikologi agama adalah ilmu
yang mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam
kelakuan dan tindak agama orang itu dalam hidupnya. Thouless (1992:11) berpendapat,
persoalan pokok dalam psikologi agama adalah kajian terhadap kesadaran agama
dan tingkah laku agama atau kajian terhadap tingkah laku agama dan kesadaran agama
(dalam Bambang, 2008: 16).
Psikologi agama merupakan satu
bagian kajian psikologi secara menyeluruh, yang membahas masalah-masalah
kejiwaan yang berkaitan dengan keyakinan seseorang. Agama yang sering dijadikan
alternatif pemecahan masalah bagi kehidupan, menjadi sangat penting bagi
manusia. Sebab dengan agama manusia dapat menyelesaikan gejolak hatinya yang
berkaitan dengan jiwa dan kehidupan praktis mereka. Kekayaan, jabatan,
kekuasaan dan segala bentuk kenikmatan duniawi, tidak menjadi jaminan bagi
manusia untuk dapat menyelesaikan masalah dalam hidupnya.
Apabila seseorang tergolong pada
manusia yang baik, maka penyelesaiannya adalah dengan agama. Tetapi jika
sebaliknya, maka pelariannya adalah pada hal-hal yang bersifat negatif. Untuk
itu agama bagi kebanyakan orang adalah alternatif yang layak untuk dijadikan
sebagai pandangan hidup (way of life). Dengan demikian agama sangat
berkaitan dengan jiwa seseorang. Untuk itu kajian psikologi yang mempelajari
gejala tingkah laku seseorang akan mempelajari pula tentang gejala
keberagamaannya. Karena beragama tidak dapat dipisahkan dari hati atau keadaan
jiwa seseorang, maka antara agama dan jiwanya merupakan dua hal yang berbeda
dalam satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
Dari asumsi di atas, maka kajian
psikologi agama merupakan cakupan dari dua bagaian yang berbeda, hal ini
berlainan dengan cabang-cabang psikologi lainnya. Dimana jika psikologi secara
umum mengkaji tentang gejala psikis dan kaitannya dengan tingkahlaku seseorang
serta bersifat empiris, maka agama lebih dari bersifat metafisis.
Jalaludin dalam bukunya Pengantar
Ilmu Jiwa Agama, mengatakan bahwa ilmu jiwa agama merangkum dua bidang kajian
yang berbeda, yaitu ilmu jiwa dan agama. Meskipun kedua bidang tersebut
sama-sama mencakup masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan batin
seseorang, akan tetapi dari sisi tertentu terdapat perbedaan yang cukup
mendasar. Dimana masalah kejiwaan manusia dikaji berdasarkan kajian empiris
yang bersifat profan, sedangkan agama sebaliknya mengandung kepercayaan yang di
dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang sulit untuk dikaji secara
empiris.
Dari
perbedaan tersebut di atas, maka terjadi pertentangan antara para ilmuan
psikologi dan para agamawan. Hal itu terjadi karena kedua bidang tersebut memiliki
metodologi tersendiri dalam menyelesaikan masalahnya. Dimana para ahli
psikologi menolak, karena agama tidak dapat dikaji secara empiris dan ilmiah,
dengan alasan agama mengandung nuansa simbolik yang bersifat abstrak. Demikian
pula kaum agamawan, mereka tidak sepakat apabila agama dikaji secara empiris
psikologi, karena mereka khawatir agama akan kehilangan kesakralannya dan
kajian psikologi mempengaruhi norma-norma agama yang telah diyakini oleh
seseorang.
Namun
demikian pertentangan antara para ahli psikologi dan para agamawan akhirnya
terselesaikan pada sekitar akhir abad ke 19, yakni ketika munculnya pendapat
William James yang memberikan kuliah di bebrapa universitas di Skotlandia.
Tulisan James yang berjudul Varieties of Religious Experience, telah
memberikan kesan positif atas berkembangnya psikologi agama. James beranggapan
bahwa psikologi merupakan salah satu metoda untuk mengembangkan pemahaman
keagamaan. Untuk itu James menegaskan bahwa fungsi yang paling esensial bagi
para ahli psikologi adalah mengkaji dan mengamati keagamaan tanpa melibatkan
dirinya dalam penilaian terhadap kebenaran ajaran-ajaran agama atau memuji
nilai-nilai agama.
Berbeda
dengan James, Zakiah Darajat berpendapat bahwa ilmu jiwa agama adalah sebuah
ilmu yang mengkaji, meneliti, dan menelaah tentang kehidupan beragama seseorang
dan mempelajarinya seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan
tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Di samping itu ilmu jiwa agama
juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.
Di
atas telah dijelaskan bahwa psikologi agama merupakan dua bidang kajian yang
sama sekali berbeda. Kalaupun keduanya sulit untuk disatukan, namun
kenyataannya agama telah banyak mempengaruhi tingkah laku para pemeluknya.
Begitu pula sebaliknya, kejiwaan juga mempengaruhi sebagian keyakinan seseorang
dalam beragama. Zakiah Darajat mengemukakan, untuk dapat mengetahui pengertian
psikologi agama secara jelas, maka kita harus terlebih dahulu mengetahui
masing-masing definisi dari keduanya, yakni apa yang dimaksud dengan agama dan
apa pula yang dimaksud dengan psikologi. Sehingga akhirnya kita dapat menemukan
perbedaan dan persamaan serta fungsi dari keduanya.
Dalam
pelaksanaanya, tingkah laku berkaitan erat dengan jiwa dan jasad manusia,
sehingga para ahli psikologi berbeda pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan
tingkah laku itu. Menurut ahli psikoanalisa, tingkah laku itu berkaitan erat
dengan aspek-aspek sadar dan ketidaksadaran manusia, karena kedua aspek inilah
banyak yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Sedangkan menurut pandangan
behavioristik, tingkah laku manusia itu didasarkan pada aspek realitas, yaitu
aspek phisik manusia yang dapat diamati pada tingkah lakunya. Untuk itu
mempelajari psikologi merupakan suatu usaha untuk mengenal manusia lebih dekat
dan memahaminya, serta menggambar kepribadian manusia dalam bentuk tingkah
lakunya dan mempelajari pula aspek-aspek yang berkaitan dengan dirinya sebagai
manusia.
B.
OBYEK KAJIAN
PSIKOLOGI AGAMA
Melihat kepada rumusan yang
diungkapkan oleh Zakiah Darajat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
psikologi agama merupakan salah satu kajian empiris umat beragama. Artinya,
dasar-dasar keyakinan dan pemahaman seseorang dapat diteliti secara empiris
melalui tingkah laku seseorang dari pemahamannya terhadap agama yang
diyakininya. Dalam konsep psikodiagnostik, perilaku beragama seseorang dipahami
melalui penafsiran terhadap tanda-tanda tingkah laku, cara berjalan, langkah,
gerak isyarat, sikap, penampilan wajah, suara dan seterusnya (lihat Hamdani,
2002: 129).
Kalaupun agama secara khusus
tidak dapat dikaji secara empiris, akan tetapi pemahaman keagamaan seseorang
yang berwujud dalam bentuk tingkah laku dapat diteliti. Yakni sejauh mana
kapasitas seseorang dalam menyakini suatu agama. Sebab adakalanya seseorang
yang mengaku dirinya beriman, namun dalam tingkahlakunya tidak mencerminkan
nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang
dianggap tidak beriman (dalam artian normatif) namun segala tingkah lakunya
mencerminkan suatu nilai keagamaan tertentu. Untuk itu dengan kajian empiris
yang dilakukan oleh psikologi agama akan dapat diketahui kadar kualitas
keimanan seseorang.
Sebab tanpa disadari oleh
berbagai kalangan bahwa munculnya kesadaran beragama, pengalaman keagamaan dan
gejolak hati seseorang sangat berkaitan dengan psikologi. Sehingga tidak
memiliki dasar yang kuat jika seseorang menolak adanya kajian empiris yang
dilakukan ahli psikologi agama. Karena penelitian yang dilakukan ahli psikologi
agama hanya sebatas pada pengalaman dan kesadaran seseorang dalam memahami
keyakinan agamanya, dan tidak mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau
norma-norma terbaik dari agama tertentu.
Berdasarkan pendapat di atas,
maka penelitian psikologi merujuk pada suatu sistem dari berbagai metode
penelitian yang diarahkan pada pemahaman terhadap apa yang telah diperbuat,
yang telah dipikirkan dan dirasakan oleh manusia. Sebab pijakan kepribadian
manusia berdasarkan pada apa yang telah dipikirkan, dirasakan dan yang telah
diperbuat olehnya. Sehingga Robert H. Thouless mengatakan, bahwa seorang
peneliti psikologi tertentu dapat mempergunakan salah satu bentuk behaviorisme
teoritik di mana ia menganggap bahwa perolehan mengenai tingkah laku manusia
sebagai proses mekanik yang ditentukan oleh suatu prinsip yang menyatakan bahwa
tingkah laku terpuji cenderung untuk diulangi.
Pada dasarnya psikologi agama
tidak membahas tentang iman dan kufur, surga dan neraka, serta hari kiamat dan
sebagainya, juga tidak membahas mengenai definisi dan makna agama secara umum.
Namun psikologi agama secara khusus mengkaji tentang proses kejiwaan seseorang
terhadap tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk itu dalam psikologi
agama dikenal adanya istilah kesadaran agama (religious consciousness)
dan pengalaman agama (religious experience).
Menurut Zakiah Darajat kesadaran
agama itu adalah bagian atau hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji
melalui introspeksi atau disebut juga dengan aspek mental dan aktivitas agama.
Sedangkan yang dimaksud pengalaman agama adalah unsur perasaan dan kesadaran
agama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh
tindakannya.
Dengan demikian psikologi agama tidak terlibat
dalam memberikan penilaian benar atau salahnya suatu agama, yakni tidak
mencampuri dan membahas keyakinan agama-agama tertentu. Untuk itu psikologi
agama mengkaji dan meneliti proses keberagamaan seseorang, perasaan atau
kesadaran beragamanya dalam pola tingkah laku kehidupan sehari-hari. Sehingga
dapat ditemukan sejauh mana pengaruh agama dan keyakinan tertentu pada dirinya.
Dan yang terpenting adalah bagaimana kelakuan atau tindakan keagamaan yang
telah diyakininya. Dengan kata lain bagaimana pengaruh keberagamaan seseorang
terhadap proses dan kehidupan yang berkaitan dengan keadaan jiwanya, sehingga
terlihat dalam sikap dan tingkah laku secara fisik dan sikap atau tingkah laku
secara bathini yang mana dapat diketahui cara berpikir, merasa atau emosinya.
Aristoteles, menggambarkan jiwa
sebagai potret badan. Menurut al Farabi, makna jiwa merupakan kesempurnaan awal
bagi fisik adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi
makhluk yang bertindak. Sebab jiwa merupakan kesempurnaan pertama bagi fisik
alamiah dan bukan bagi fisik buatan. Al-Kindi berpendapat, jiwa akan tetap
kekal setelah kematian. Ia pindah ke alam kebenaran yang di dalamnya terdapat
nur Sang Pencipta. Pentingnya kajian jiwa tersebut, sehingga Ibnu Miskawaih mengatakan,
penyebab senang tidak hidup seseorang dipengaruhi oleh jiwa. Jika jiwa
seseorang baik, mulia dan senang maka ia harus bergaul dengan orang-orang yang
baik (M Utsman Najati, 2002).
Dari penjelasan diatas, ruang
lingkup obyek kajian psikologi agama menurut Zakiah Darajat (dalam Hamdani,
2007: 27-28) meliputi kajian :
1. Bermacam-macam
emosi yang menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama
orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tentram setelah selesai sholat, rasa
lepas dari ketegangan batin sesuadah berdoa atau membaca ayat-ayat suci,
perasaan tenang, pasrah dan menyerah setelah berdzikir dan ingat kepada Allah
ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang dialaminya.
2. Bagaimana
perasaan dan pengalaman seseorang secara individual kepada Tuhannya, misalnya
merasa tentram dan kelegaan batin.
3. Mempelajari,
meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup setelah mati
(akherat) pada tiap-tiap orang.
4. Meneliti dan
mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan
dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh
terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5. Meneliti dan
mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci
dan kelegaan batinnya.
Dengan demikian psikologi agama adalah ilmu
yang mempelajari dan meneliti tentang pengaruh dan peran pengalaman agama
terhadap eksistensi diri seseorang berupa sikap, perilaku, tindakan, penampilan
yang muncul di permukaan aktifitas kehidupan secara nyata.
Sebagai disiplin ilmu yang
otonom, psikologi agama memiliki obyek kajian tersendiri dari disiplin ilmu
yang mempelajari masalah agama lainnya. Sebagai contoh, dalam tujuannya,
psikologi agama seperti diungkapkan Robert H. Thouless, memusatkan kajiannya
pada agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok atau masyarakat. Kajian
berpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan menggunakan
pendekatan psikologi (Bambang, 2008: 18).
C.
PENUTUP
Agama bagi sebagaian orang
merupakan bentuk ungkapan moral yang paling tinggi, yang selalu menjadi
kebutuhan ideal bagi manusia. Karena agama merupakan pandangan hidup yang
sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari dirinya. Agama juga memberikan semesta
simbolik bagi manusia untuk mengetahui makna dibalik kehidupannya, serta
memberikan penjelasan secara komprehensif mengenai berbagai pertanyaan yang tak
terjawab, karena agama merupakan suatu kepercayaan dalam bentuk spiritual.
Agama bagi manusia merupakan kekuatan
yang dapat mengantarkan manusia itu sendiri, supaya ia dapat mencapai
kesempurnaan dan dapat memberikan penjelasan secara menyeluruh tentang realitas
kematian, penderitaan, tragedi serta segala sesuatu yang berkaitan erat dengan
makna hidupnya.
Oleh karena itu eksistensi rasa agama bagi
manusia pada hakikatnya adalah suatu pengalaman dari keyakinan yang
difahaminya, sehingga agama dapat merefleksi pada diri pemeluknya yang
berdimensi Ketuhanan, psikologis, dan sosiologis. Dimensi Ketuhanan tersebut
merupakan sumber nilai kebenaran dan kebaikan, sedangkan dimensi psikologis
adalah sisi lain dari keyakinan seseorang yang sangat individual, adapun
dimensi sosiologis adalah bentuk pengalaman manusia dari suatu yang telah
diyakininya guna membentuk sistem sosial lingkungan yang lebih bermoral.
Psikologi agama pada dasarnya,
secara komprehensip membahas dan mengkaji tentang fenomena-fenomena keadaran
dan pengalaman psikologis atau tentang rasa keagamaan manusia, yang bertujuan
dan berfungsi sebagai penyadaran psikopatalogis manusia dewasa ini. Yakni
bagaimana agama dalam hal ini, memiliki peran dan fungsi untuk merehabilitasi,
mengantisipasi, dan mengentaskan permasalahan-permasalahan kejiwaan manusia
yang diakibatkan oleh pengaruh perkembangan sosio-kultur yang harmonis dengan
sebuah pendekatan psikologis.
Yaitu dengan membahas situasi dan
kondisi tentang perubahan perkembangan penerimaan dan pengalaman agama pada
setiap priode tertentu, yaitu pada masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa,
dan masa lansia (usia lanjut). Karena pada masa-masa tersebut perkembangan
keagamaan masing-masing individu berbeda-beda, baik dari aspek kwantitas maupun
dari aspek kualitas keberagamannya.
****Makalah disampaikan dalam mata kuliah Psikologi Agama, DR. Sumanta, M.Ag dalam program Pascasarjana Kosentrasi
Psikologi Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2009.