April 12, 2016

MODEL PERDAGANGAN DENGAN MERAIH KEUNTUNGAN BESAR

(Sebuah Kajian Tafsir Awal Al Qur’an Surat Ash Shaff (61) : 10-13)

 Oleh : 
Deny Rochman

A.      PENDAHULUAN
Manusia hidup di dunia memerlukan kebutuhan ekonomi dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sama halnya ketika manusia pertama, Nabi Adam ketika diturunkan ke bumi sebagai khalifah, memerlukan makan dan minum, sandang dan papan. Sebagai makhluk ekonomi tersebut maka manusia memerlukan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut.
Dalam perkembangannya, untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut manusia harus bekerja dengan banyak pilihan profesi. Ada yang menjadi birokrat, guru, dosen, petani, pedagang, pengusaha, politisi, lawyers, jurnalis dan lainnya. Tujuannya mereka bekerja tentu saja untuk memperoleh harta, selain bekerja juga berfungsi sebagai  pengembangan diri personal manusia. Apalagi bagi seorang bisnismen, usaha mereka pada umumnya berorientasi keuntungan besar (profit oriented).

Banyaknya pilihan pekerjaan tersebut, Allah Swt menawarkan kepada manusia sebuah pekerjaan atau perdagangan yang menjanjikan keuntungan yang sangat besar. Dalam firman-Nya Allah menjelaskan :
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman. (QS. Ash Shaff (61) : 10-13)

Ayat di atas menjelaskan bahwa perniagaan yang ditawarkan oleh Allah Swt memiliki keuntungan yang sangat besar. Keuntungan itu meliputi selamat dari siskaan yang pedih, pengampunan dosa dan jaminan surga setelah di akherat kelak. Selain itu Allah Swt juga memberikan bonus tambahan kepada mereka yang beriman kepada Allah Swt dan Rosul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Bonus itu adanya pertolongan Allah dan kemenangan yang dekat.
Dalam surat lainnya An-Nisaa’ (4) ayat 74 Allah Swt mengatakan :

Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat[1] berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.

Sayangnya, tawaran Allah Swt kepada manusia itu tidak semuanya menyambutnya dengan baik. Ada  sebagian orang justeru sangat berat menerima tawaran Yang Maha Kuasa itu, sekalipun dijanjikan dengan berbagai keuntungan yang diperoleh jika menjalankan program Allah Swt tersebut. Mengapa mereka tidak mau menerima tawaran Allah Swt?

B. Perintah Berjihad
Istilah jihad berasal dari kata jahadu (kata benda abstrak, juhd) yang bermakna berusaha. Menurut Majid Khadduri (2002: 46), secara yuridis-teologis berarti berusaha sekuat tenaga di jalan Allah Swt, menyebarkan keimanan dan firman-firman Allah Swt ke seluruh dunia. Namun jihad dalam arti luas, tidak selalu bermakna perang atau mengobarkan peperangan. Pendapat lain menyebutkan bahwa jihad dapat berarti berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-orang Islam. Makna lainnya jihad memerangi hawa nafsu, mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam dan umatnya. Atau pemberantasan yang batil dan menegakkan kebenaran.
Sedangkan makna Iman adalah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. Tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu. Beriman kepada Allah Swt dan Rosul-Nya adalah patuh dan taat terhadap apa yang diperintah dijalankan dan hal yang dilarang ditinggalkan. Keimanan itu dimanifestasikan dalam bentuk keyakinan dalam hati, diucapkan secara lisan dan dilakukan dengan perbuatan. Sayid Sabiq (1986: 123), guru besar Universitas Al-Azhar mengatakan, keimanan bukan semata ucapan lisan atau diyakini dalam hati. Tetapi bentuk keimanan seseorang adalah kecintaannya kepada Allah Swt dan Rosul-Nya melebihi cintanya dari segala yang ada di muka bumi.
Dalam al Qur’an banyak disebutkan perintah jihad yang harus dilakukan oleh umat Islam. Allah berfirman dalam Al Qur’an :
Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri[2]. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan-Nya. (QS. An-Nisaa’ (4): 48)

Dalam ayat lainnya Allah Swt menyerukan :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah (5): 35).

Banyaknya ayat yang menyerukan tentang jihad hal itu menegaskan betapa petingnya perintah tersebut bagi kelangsungan hidup umat Islam dalam menegakkan kalimat laaillahilullah di muka bumi ini. Ibnu Taimiyah (1977: 170), jihad merupakan bentuk cinta kasih seorang muslim kepada Allah Swt. Mengikhlaskan diri serta tawakal, menyerahkan jiwa dan hartanya kepada Sang Pencipta makhluk, bersifat sabar dan zuhud.
Menurut Ibnu Taimiyah, dengan jihad ada dua keuntungan yang diperoleh umat Islam. Pertama keuntungan yang diraih seorang muslim berupa kebahagiaan dan kemenangan duniawi. Kedua, keuntungan masuk surga karena mati syahid. Artinya baik menang maupun kalah jika berperang di jalan Allah tetap mendapatkan keuntungan. Berbeda denga perang di jalan syaiton: yang kalah jadi abu, yang menang jadi arang.
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup[3], tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS. Al Baqoroh (2): 154)

Keuntungan yang besar dari perdagangan yang ditawarkan Allah Swt kepada umat Islam kini sudah jelas. Berbagai ayat yang menyebutkan ada beberapa keuntungan lainnya adalah terhindari dari siksa yang pedih, diampuninya dosa, masuk surga, dapat pertolongan Allah dan pahala yang besar (QS. Ash Shaff (61) 10-13).  Derajat para mujahid lebih ditinggikan daripada mereka yang tidak (QS. An Nisaa’ (4): 95), tidak akan dianiaya/dirugikan oleh Allah (QS. Al Anfal 60).  Masuk surga bisa dari berbagai pintu seperti diungkapkan dalam sebuah hadist muttafaq ‘alaih:
“Di dalam surga itu terdapat seratus tingkat. Antara satu dengan tingkat lainnya tak ubahnya seperti jarak antara langit dan bumi. Semuanya itu disediakan Tuhan bagi orang-orang yang berjuang di jalan-Nya.”  

Pentingnya jihad dalam hidup digambarkan dalam kisah pada sebuah hadist Bukhori Muslim. Seuatu ketika seorang laki-laki berkata kepada Rosulullah Saw, “Hai Rosulullah! Beritahukanlah kepada aku sesuatu yang dapat mengimbangi kelebihan jihad fi sabililah?” Beliau berkata :”Nanti kamu tidak sanggup”. Orang itu berkata lagi : “Beritahukanlah!” Nabi menjawab :”Apakah kamu sanggup melakukan puasa tanpa berbuka dan sholat terus menerus tanpa henti di waktu orang berangkat ke medan jihad?” Laki-laki itu menjawab : ”Tidak”. Maka Nabi pun berkata :”Itulah imbangan jihad.”
Seruan jihad bagi umat Islam menegaskan kepada kita semua bahwa perjuangan umat Islam dalam menegakkan kalimat tauhid di muka bumi ini semakin hari semakin berat. Allah Swt sejak awal sudah mengingatkan kepada hamba-Nya yang taat bahwa kaum kafir, mulai mantan umat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Isa dan mantan umat nabi-nabi lainnya yang sesat tidak akan pernah tenang, menerima atau ikhlas kepada umat Nabi Muhammad Saw sebelum mengikuti agama mereka (yang kafir).
Untuk menegakkan syariat Islam di muka bumi ini harus ditopang dengan jihad fii sabilillah. Rosulullah Saw pernah bersabda yang artinya : “Pokok dari perintah perintah Tuhan itu adalah Islam. Tiang-tiangnya adalah sholat, sedangkan puncaknya adalah jihad”. Jika umat sungkan dengan seruan jihad maka ibarat bangunan rumah Islam tidak beratap sehingga kekuatan umat semakin lama semakin rapuh. 

C. Harta dan Cinta Dunia

Betapa banyaknya keuntungan (ganjaran) yang diberikan oleh Allah Swt bagi siapa saja umat Nabi Muhammad Saw yang mau melakukan yang diperintahkan-Nya dalam berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Namun demikian toh banyak juga umat Islam yang enggan melakukan perintah tersebut dengan berbagai pertimbangan. Menurut Islam kebanyak mereka adalah termasuk orang-orang munafik.
             Allah Swt berfirman  dalam QS. An Nisaa’ ayat 77 menjelaskan :
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.

Problem serius yang dialami umat Islam saat ini adalah terjangkitnya penyakit wahn, ubudunya takut mati. Umat berlomba-lomba dalam mencari dan menumpuk harta demi terpenuhinya kebutuhan materi yang berlimpah. Sementara sisi rohaninya kering, tidak memiliki giroh keislamannya sehingga ada ketakutan jika melakukan jihad, khususnya jika sampai harus mempertaruhkan nyawanya.  
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran (3): 14)

Padahal sikap umat tersebut dianggap hal yangkeliru. Pasalnya berbagai kecintaan tersebut jika tidak bisa dikelola dengan baik sesuai syariat akan menjadi ujian bahkan fitnah yang berakibat terseret ke jurang api neraka bagi yang memilikinya (QS. Al Anfal: 27). Allah Swt memberikan janji bahwa kehidupan yang lebih baik adalah akherat dan surga yang akan membuat betah para penghuninya.  Dalam firman-Nya Allah Swt mengingatkan kepada orang-orang yang beriman bahwa jangan sampai harta dan anak kalian miliki akan menghalangi mengingat Allah (QS Al Munafiqun: 9).
Banyak orang merasa rezki yang mereka peroleh adalah hasil jerih payahnya. Sehingga sangat berat di hati ketika harus mengeluarkan hartanya untuk kepentingan lain yang secara langsung tidak dia rasakan. Apalagi sampai harus mengorbankan jiwa dan raganya demi kepentingan agama, yang dianggap orang-orang munafik ganjaran yang diperolehnya masih belum meyakinkan.  Padahal mereka lupa, siapa yang telah memberi dan menyempitkan rejeki seseorang selain karena Allah Swt.
Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba- hamba-Nya dan dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS Al Ankabut (29): 62)

Harta yang kita miliki merupakan hanya titipan sementara dari Allah Swt. Di dalam harta tersebut banyak hak-hak orang lain yang harus disalurkan, entah melalui zakat, sodakoh maupun infak, termasuk di dalamnya untuk kepentingan jihad. Jadi, jika Allah Swt memerintahkan hambanya untuk berzakat, infak dan sodakoh atau berjihad itu semata-mata untuk kebaikan manusianya sendiri. Karena janji Allah bahwa harta yang akan dikeluarkan manusia tidak akan berkurang, malah akan bertambah, bertambah dan bertambah.
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqoroh ayat (2): 261)

Terkait sulitnya manusia dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah, Rosulullah Saw membagi empat jenis manusia yang ada di dunia. Pertama, orang yang memiliki harta dan ilmu digunakan untuk ketakwaan dan silaturahmi. Ini adalah sikap yang baik. Kedua, orang yang diberi ilmu tapi tidak diberikan harta, namun dia memiliki niat yang benar, ketika memiliki harta dia akan dikelola dengan benar sesuai syariat seperti si fulan. Maka dia akan mendapatkan pahala sama dengan si fulan.  Ketiga, ada orang yang diberi harta tapi tidak diberi ilmu. Dengan hartanya dia menggunakannya secara ceroboh. Keempat, ada orang yang tidak diberi harta dan ilmu, tapi jika dia berandai ketika diberi harta akan melakukan seperti si fulan, maka akan mendapatkan dosa sama dengan si fulan. 
Dengan kata lain, jika kita hendak berjihad harta dan jiwa harus didukung oleh ilmu.  Jika tidak memiliki ilmunya maka apa yang sudah kita perbuat bisa jadi akan berujung ke sia-siaan. Sebaliknya, jika kita punya harta tapi tidak punya ilmu akan sangat berat untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah. Namun dia sendiri tetap bercita-cita ingin masuk surga padahal belum teruji kesetiaannya kepada Allah dan Rosul-Nya.
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad[232] diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran (3) :142)



PENUTUP
Sungguh heran ketika Allah Swt menawarkan bentuk perdagangan yang memiliki banyak keuntungan namun banyak manusia yang tidak berminat. Padahal dengan beriman kepada Allah Swt dan Rosul-Nya, kemudian berjiad dengan harta dan nyawa, seorang muslim  tidak akan merugi. Jika membelanjakan hartanya, maka dia akan Allah tambahkan berlipat-lipat. Dosanya pun Allah hapus, derajatnya ditinggikan, tidak akan dianiaya dan dapat pertolongan besar.
Sebaliknya ketika seorang muslim harus meninggal dalam medan jihad, maka dia akan mendapat jaminan surga di akherat. Bahkan tidak hanya satu pintu, tetapi banyak pintu yang disiapkan oleh Allah Swt untuk para mujahid yang gugur. Ia tidak akan meninggal sia-sia atau bahkan kahwatir jikalau amal ibadahnya akan ditolak ketika menghadap Allah Swt nanti.
Namun sayang beribu sayang. Umat Islam lebih senang dan betah dengan kehidupan dunia. Seolah kehidupan sekarang yang dijalani akan kekal dan abadi selamanya. Mereka lupa bahwa kehidupan dunia hanya transit sementara untuk menimba amal ibadah yang sholeh sebagai bekal untuk hidup di akherat. Manusia sudah terjebak dalam skenario syaiton, mencitai harta, wanita dan anak-anak mereka secara berlebihan sehingga lupa diri terhadap hak-hak Allah.
Allah memiliki hak karena Dia telah begitu banyak memberikan nikmat kepada umat Islam. Allah hanya berharap agar umat mau menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, infak dan sodakoh. Allah ingin  mengetahui bukti cinta umat kepada-Nya dengan perintah untuk berjihad baik harta dan jiwa. Jika berat melakukannya, maka cinta umat, berimannya mereka hanya dalam retorika belaka, tanpa bukti dan keberanian. Inilah akibat umat sudah terlanjur cinta dengan kehidupan dunia. Mereka sudah enggan kembali di rumah awal mereka, surga, yang sudah lama ditinggalkan sejak Nabi Adam diusir ke bumi.
Bagaimana perasaan Allah? Sebagai Sang Pencipta makhluk tentu saja ada rasa kecewa. Namun bukan Allah jika harus berharap dan bergantung kepada makhluknya. Jika Allah berkehendak bukan hal sulit untuk menciptakan kembali manusia-manusia baru yang akan lebih setia dan mencintai-Nya.
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Maidah: 54)
Untuk menjaga keimanan di tengah beratnya tantangan hidup maka kita harus selalu istiqomah dan sabar dalam menjalankan perintah-Nya. Sebagai manusia kita tidak memiliki hak secuil pun untuk mengakui apa-apa yang kita punya, termasuk jiwa raga kita. Jika yang Kuasa berkenan dengan harta dan jiwa kita, kita pun harus merelakannya kendati itu sangat berat. Namun dengan jihad harta dan jiwa kehormatan Islam sebagai sebuah agama wahyu tetap terjaga dan lestari. Insya Allah...


DAFTAR PUSTAKA
1.      Al Quran dan Terjemahan Depag RI
2.      Ibu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, Bulan Bintang, Jakarta, 1977.
3.      Syaikh Adnan Ath-Tharsyah, Anda dan Harta, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2004.
4.      Sayid Sabiq, Aqidah Islam, Diponogoro, Bandung, 1986.
5.      Majid Khadduri, Perang dan Damai dalam Hukum Islam, Tarawang Press, Yogyakarta, 2002.

**Makalah disampaikan dalam mata kuliah Ilmu Tafsir Prof. Dr. H. Salim Bajri, program Pascasarjana Kosentrasi Psikologi Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2009.


[1] Orang-orang mukmin yang mengutamakan kehidupan akhirat atas kehidupan dunia ini.
[2] Perintah berperang itu harus dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w karena yang dibebani adalah diri beliau sendiri. Ayat ini berhubungan dengan keengganan sebagian besar orang Madinah untuk ikut berperang bersama Nabi ke Badar Shughra. Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan supaya Nabi Muhammad s.a.w. pergi berperang walaupun sendirian saja.
[3] Yaitu hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup itu. Ada juga yang berpendapat, syuhada itu hidup karena nilai-nilainya menjadi insipirasi  di  tengah masyarakat.