(Sebuah Kajian Tafsir Awal Al Qur’an Surat Ash Shaff (61)
: 10-13)
Oleh :
Deny Rochman
A. PENDAHULUAN
Manusia hidup di
dunia memerlukan kebutuhan ekonomi dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Sama halnya ketika manusia pertama, Nabi Adam ketika diturunkan ke bumi sebagai
khalifah, memerlukan makan dan minum, sandang dan papan. Sebagai makhluk
ekonomi tersebut maka manusia memerlukan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup
tersebut.
Dalam
perkembangannya, untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut manusia harus bekerja
dengan banyak pilihan profesi. Ada yang menjadi birokrat, guru, dosen, petani,
pedagang, pengusaha, politisi, lawyers, jurnalis dan lainnya. Tujuannya mereka
bekerja tentu saja untuk memperoleh harta, selain bekerja juga berfungsi
sebagai pengembangan diri personal
manusia. Apalagi bagi seorang bisnismen, usaha mereka pada umumnya
berorientasi keuntungan besar (profit oriented).
Banyaknya pilihan
pekerjaan tersebut, Allah Swt menawarkan kepada manusia sebuah pekerjaan atau
perdagangan yang menjanjikan keuntungan yang sangat besar. Dalam firman-Nya
Allah menjelaskan :
Hai orang-orang
yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada
Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.
Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. Niscaya Allah akan
mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di
dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang
lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat
(waktunya). dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman. (QS.
Ash Shaff (61) : 10-13)
Ayat di atas
menjelaskan bahwa perniagaan yang ditawarkan oleh Allah Swt memiliki keuntungan
yang sangat besar. Keuntungan itu meliputi selamat dari siskaan yang pedih,
pengampunan dosa dan jaminan surga setelah di akherat kelak. Selain itu Allah
Swt juga memberikan bonus tambahan kepada mereka yang beriman kepada Allah Swt
dan Rosul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Bonus itu
adanya pertolongan Allah dan kemenangan yang dekat.
Dalam surat
lainnya An-Nisaa’ (4) ayat 74 Allah Swt mengatakan :
|
Karena itu hendaklah orang-orang
yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat[1]
berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu
gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya
pahala yang besar.
|
Sayangnya,
tawaran Allah Swt kepada manusia itu tidak semuanya menyambutnya dengan baik.
Ada sebagian orang justeru sangat berat
menerima tawaran Yang Maha Kuasa itu, sekalipun dijanjikan dengan berbagai
keuntungan yang diperoleh jika menjalankan program Allah Swt tersebut. Mengapa
mereka tidak mau menerima tawaran Allah Swt?
B. Perintah Berjihad
Istilah jihad berasal dari kata jahadu
(kata benda abstrak, juhd) yang bermakna berusaha. Menurut Majid
Khadduri (2002: 46), secara yuridis-teologis berarti berusaha sekuat tenaga
di jalan Allah Swt, menyebarkan keimanan dan firman-firman Allah Swt ke
seluruh dunia. Namun jihad dalam arti luas, tidak selalu bermakna perang atau
mengobarkan peperangan. Pendapat lain menyebutkan bahwa jihad dapat berarti
berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-orang Islam. Makna
lainnya jihad memerangi hawa nafsu, mendermakan harta benda untuk kebaikan
Islam dan umatnya. Atau pemberantasan yang batil dan menegakkan kebenaran.
Sedangkan makna Iman adalah kepercayaan yang teguh yang
disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. Tanda-tanda adanya iman ialah
mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu. Beriman kepada Allah Swt dan
Rosul-Nya adalah patuh dan taat terhadap apa yang diperintah dijalankan dan
hal yang dilarang ditinggalkan. Keimanan itu dimanifestasikan dalam bentuk
keyakinan dalam hati, diucapkan secara lisan dan dilakukan dengan perbuatan.
Sayid Sabiq (1986: 123), guru besar Universitas Al-Azhar mengatakan, keimanan
bukan semata ucapan lisan atau diyakini dalam hati. Tetapi bentuk keimanan
seseorang adalah kecintaannya kepada Allah Swt dan Rosul-Nya melebihi
cintanya dari segala yang ada di muka bumi.
Dalam al Qur’an banyak disebutkan perintah jihad
yang harus dilakukan oleh umat Islam. Allah berfirman dalam Al Qur’an :
Maka berperanglah kamu pada jalan
Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri[2].
Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah
menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan
amat keras siksaan-Nya. (QS. An-Nisaa’ (4): 48)
Dalam ayat lainnya Allah Swt
menyerukan :
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,
dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al
Maidah (5): 35).
Banyaknya ayat yang menyerukan tentang jihad hal itu menegaskan betapa
petingnya perintah tersebut bagi kelangsungan hidup umat Islam dalam
menegakkan kalimat laaillahilullah di muka bumi ini. Ibnu Taimiyah
(1977: 170), jihad merupakan bentuk cinta kasih seorang muslim kepada Allah
Swt. Mengikhlaskan diri serta tawakal, menyerahkan jiwa dan hartanya kepada
Sang Pencipta makhluk, bersifat sabar dan zuhud.
Menurut Ibnu Taimiyah, dengan jihad ada dua
keuntungan yang diperoleh umat Islam. Pertama keuntungan yang diraih seorang
muslim berupa kebahagiaan dan kemenangan duniawi. Kedua, keuntungan masuk
surga karena mati syahid. Artinya baik menang maupun kalah jika berperang di
jalan Allah tetap mendapatkan keuntungan. Berbeda denga perang di jalan
syaiton: yang kalah jadi abu, yang menang jadi arang.
Dan janganlah kamu mengatakan
terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati;
bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup[3],
tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS. Al Baqoroh (2): 154)
Keuntungan yang besar dari perdagangan yang
ditawarkan Allah Swt kepada umat Islam kini sudah jelas. Berbagai ayat yang
menyebutkan ada beberapa keuntungan lainnya adalah terhindari dari siksa yang
pedih, diampuninya dosa, masuk surga, dapat pertolongan Allah dan pahala yang
besar (QS. Ash Shaff (61) 10-13). Derajat para mujahid lebih ditinggikan
daripada mereka yang tidak (QS. An Nisaa’ (4): 95), tidak akan
dianiaya/dirugikan oleh Allah (QS. Al Anfal 60). Masuk surga bisa dari berbagai pintu seperti
diungkapkan dalam sebuah hadist muttafaq ‘alaih:
“Di dalam
surga itu terdapat seratus tingkat. Antara satu dengan tingkat lainnya tak
ubahnya seperti jarak antara langit dan bumi. Semuanya itu disediakan Tuhan
bagi orang-orang yang berjuang di jalan-Nya.”
Pentingnya jihad dalam hidup digambarkan dalam kisah
pada sebuah hadist Bukhori Muslim. Seuatu ketika seorang laki-laki berkata
kepada Rosulullah Saw, “Hai Rosulullah! Beritahukanlah kepada aku sesuatu
yang dapat mengimbangi kelebihan jihad fi sabililah?” Beliau berkata :”Nanti
kamu tidak sanggup”. Orang itu berkata lagi : “Beritahukanlah!” Nabi menjawab
:”Apakah kamu sanggup melakukan puasa tanpa berbuka dan sholat terus menerus
tanpa henti di waktu orang berangkat ke medan jihad?” Laki-laki itu menjawab
: ”Tidak”. Maka Nabi pun berkata :”Itulah imbangan jihad.”
Seruan jihad bagi umat Islam menegaskan kepada kita
semua bahwa perjuangan umat Islam dalam menegakkan kalimat tauhid di muka
bumi ini semakin hari semakin berat. Allah Swt sejak awal sudah mengingatkan
kepada hamba-Nya yang taat bahwa kaum kafir, mulai mantan umat Nabi Ibrahim,
Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Isa dan mantan umat nabi-nabi lainnya yang sesat
tidak akan pernah tenang, menerima atau ikhlas kepada umat Nabi Muhammad Saw
sebelum mengikuti agama mereka (yang kafir).
Untuk menegakkan syariat Islam di muka bumi ini
harus ditopang dengan jihad fii sabilillah. Rosulullah Saw pernah bersabda
yang artinya : “Pokok dari perintah perintah Tuhan itu adalah Islam.
Tiang-tiangnya adalah sholat, sedangkan puncaknya adalah jihad”. Jika umat
sungkan dengan seruan jihad maka ibarat bangunan rumah Islam tidak beratap
sehingga kekuatan umat semakin lama semakin rapuh.
C. Harta dan Cinta Dunia
Betapa banyaknya keuntungan (ganjaran) yang
diberikan oleh Allah Swt bagi siapa saja umat Nabi Muhammad Saw yang mau
melakukan yang diperintahkan-Nya dalam berjihad di jalan Allah dengan harta
dan jiwanya. Namun demikian toh banyak juga umat Islam yang enggan melakukan
perintah tersebut dengan berbagai pertimbangan. Menurut Islam kebanyak mereka
adalah termasuk orang-orang munafik.
Allah Swt berfirman dalam QS. An Nisaa’ ayat 77 menjelaskan :
|
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang
yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang),
dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada
mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut
kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat
dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau
wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban
berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah:
"Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
Problem serius yang dialami umat Islam saat ini
adalah terjangkitnya penyakit wahn, ubudunya takut mati. Umat berlomba-lomba
dalam mencari dan menumpuk harta demi terpenuhinya kebutuhan materi yang
berlimpah. Sementara sisi rohaninya kering, tidak memiliki giroh keislamannya
sehingga ada ketakutan jika melakukan jihad, khususnya jika sampai harus
mempertaruhkan nyawanya.
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran (3): 14)
Padahal sikap umat tersebut dianggap hal yangkeliru.
Pasalnya berbagai kecintaan tersebut jika tidak bisa dikelola dengan baik
sesuai syariat akan menjadi ujian bahkan fitnah yang berakibat terseret ke
jurang api neraka bagi yang memilikinya (QS. Al Anfal: 27). Allah Swt
memberikan janji bahwa kehidupan yang lebih baik adalah akherat dan surga
yang akan membuat betah para penghuninya. Dalam firman-Nya Allah Swt mengingatkan
kepada orang-orang yang beriman bahwa jangan sampai harta dan anak kalian
miliki akan menghalangi mengingat Allah (QS Al Munafiqun: 9).
Banyak orang merasa rezki yang mereka peroleh adalah
hasil jerih payahnya. Sehingga sangat berat di hati ketika harus mengeluarkan
hartanya untuk kepentingan lain yang secara langsung tidak dia rasakan.
Apalagi sampai harus mengorbankan jiwa dan raganya demi kepentingan agama,
yang dianggap orang-orang munafik ganjaran yang diperolehnya masih belum
meyakinkan. Padahal mereka lupa, siapa
yang telah memberi dan menyempitkan rejeki seseorang selain karena Allah Swt.
Allah melapangkan rezki bagi siapa
yang dikehendaki-Nya di antara hamba- hamba-Nya dan dia (pula) yang
menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS
Al Ankabut (29): 62)
Harta yang kita miliki merupakan hanya titipan
sementara dari Allah Swt. Di dalam harta tersebut banyak hak-hak orang lain
yang harus disalurkan, entah melalui zakat, sodakoh maupun infak, termasuk di
dalamnya untuk kepentingan jihad. Jadi, jika Allah Swt memerintahkan hambanya
untuk berzakat, infak dan sodakoh atau berjihad itu semata-mata untuk kebaikan
manusianya sendiri. Karena janji Allah bahwa harta yang akan dikeluarkan
manusia tidak akan berkurang, malah akan bertambah, bertambah dan bertambah.
Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166]
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(QS. Al Baqoroh ayat (2): 261)
Terkait sulitnya manusia dalam membelanjakan
hartanya di jalan Allah, Rosulullah Saw membagi empat jenis manusia yang ada
di dunia. Pertama, orang yang memiliki harta dan ilmu digunakan untuk
ketakwaan dan silaturahmi. Ini adalah sikap yang baik. Kedua, orang yang
diberi ilmu tapi tidak diberikan harta, namun dia memiliki niat yang benar,
ketika memiliki harta dia akan dikelola dengan benar sesuai syariat seperti
si fulan. Maka dia akan mendapatkan pahala sama dengan si fulan. Ketiga, ada orang yang diberi harta tapi tidak
diberi ilmu. Dengan hartanya dia menggunakannya secara ceroboh. Keempat, ada
orang yang tidak diberi harta dan ilmu, tapi jika dia berandai ketika diberi
harta akan melakukan seperti si fulan, maka akan mendapatkan dosa sama dengan
si fulan.
Dengan kata lain, jika kita hendak berjihad harta
dan jiwa harus didukung oleh ilmu.
Jika tidak memiliki ilmunya maka apa yang sudah kita perbuat bisa jadi
akan berujung ke sia-siaan. Sebaliknya, jika kita punya harta tapi tidak
punya ilmu akan sangat berat untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah. Namun
dia sendiri tetap bercita-cita ingin masuk surga padahal belum teruji
kesetiaannya kepada Allah dan Rosul-Nya.
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi
Allah orang-orang yang berjihad[232] diantaramu dan belum
nyata orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran (3) :142)
|
PENUTUP
Sungguh heran ketika Allah Swt menawarkan bentuk
perdagangan yang memiliki banyak keuntungan namun banyak manusia yang tidak
berminat. Padahal dengan beriman kepada Allah Swt dan Rosul-Nya, kemudian
berjiad dengan harta dan nyawa, seorang muslim
tidak akan merugi. Jika membelanjakan hartanya, maka dia akan Allah
tambahkan berlipat-lipat. Dosanya pun Allah hapus, derajatnya ditinggikan,
tidak akan dianiaya dan dapat pertolongan besar.
Sebaliknya ketika seorang muslim harus meninggal dalam
medan jihad, maka dia akan mendapat jaminan surga di akherat. Bahkan tidak
hanya satu pintu, tetapi banyak pintu yang disiapkan oleh Allah Swt untuk para
mujahid yang gugur. Ia tidak akan meninggal sia-sia atau bahkan kahwatir
jikalau amal ibadahnya akan ditolak ketika menghadap Allah Swt nanti.
Namun sayang beribu sayang. Umat Islam lebih senang dan
betah dengan kehidupan dunia. Seolah kehidupan sekarang yang dijalani akan
kekal dan abadi selamanya. Mereka lupa bahwa kehidupan dunia hanya transit
sementara untuk menimba amal ibadah yang sholeh sebagai bekal untuk hidup di
akherat. Manusia sudah terjebak dalam skenario syaiton, mencitai harta, wanita
dan anak-anak mereka secara berlebihan sehingga lupa diri terhadap hak-hak
Allah.
Allah memiliki hak karena Dia telah begitu banyak
memberikan nikmat kepada umat Islam. Allah hanya berharap agar umat mau
menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, mendirikan sholat, menunaikan
zakat, infak dan sodakoh. Allah ingin mengetahui
bukti cinta umat kepada-Nya dengan perintah untuk berjihad baik harta dan jiwa.
Jika berat melakukannya, maka cinta umat, berimannya mereka hanya dalam
retorika belaka, tanpa bukti dan keberanian. Inilah akibat umat sudah terlanjur
cinta dengan kehidupan dunia. Mereka sudah enggan kembali di rumah awal mereka,
surga, yang sudah lama ditinggalkan sejak Nabi Adam diusir ke bumi.
Bagaimana perasaan Allah? Sebagai Sang Pencipta makhluk
tentu saja ada rasa kecewa. Namun bukan Allah jika harus berharap dan
bergantung kepada makhluknya. Jika Allah berkehendak bukan hal sulit untuk
menciptakan kembali manusia-manusia baru yang akan lebih setia dan mencintai-Nya.
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap
lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha
Mengetahui. (QS. Al Maidah: 54)
Untuk menjaga
keimanan di tengah beratnya tantangan hidup maka kita harus selalu istiqomah
dan sabar dalam menjalankan perintah-Nya. Sebagai manusia kita tidak memiliki
hak secuil pun untuk mengakui apa-apa yang kita punya, termasuk jiwa raga kita.
Jika yang Kuasa berkenan dengan harta dan jiwa kita, kita pun harus
merelakannya kendati itu sangat berat. Namun dengan jihad harta dan jiwa kehormatan
Islam sebagai sebuah agama wahyu tetap terjaga dan lestari. Insya Allah...
DAFTAR PUSTAKA
1. Al Quran dan Terjemahan Depag RI
2. Ibu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara,
Bulan Bintang, Jakarta, 1977.
3. Syaikh Adnan Ath-Tharsyah, Anda dan Harta,
Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2004.
4. Sayid Sabiq, Aqidah Islam, Diponogoro,
Bandung, 1986.
5. Majid Khadduri, Perang dan Damai dalam
Hukum Islam, Tarawang Press, Yogyakarta, 2002.
**Makalah disampaikan
dalam mata kuliah Ilmu Tafsir Prof. Dr. H. Salim Bajri, program Pascasarjana
Kosentrasi Psikologi Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2009.
[2] Perintah
berperang itu harus dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w karena yang dibebani
adalah diri beliau sendiri. Ayat ini berhubungan dengan keengganan sebagian
besar orang Madinah untuk ikut berperang bersama Nabi ke Badar Shughra. Maka
turunlah ayat ini yang memerintahkan supaya Nabi Muhammad s.a.w. pergi
berperang walaupun sendirian saja.
[3] Yaitu hidup
dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat
kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah sajalah yang mengetahui
bagaimana keadaan hidup itu. Ada juga yang berpendapat, syuhada itu hidup
karena nilai-nilainya menjadi insipirasi
di tengah masyarakat.