(Resensi Makalah tentang Epistemologi Islam : Pelacakan Epistemologi
Tradisi Intelektual Muslim karya Prof Dr H Dedi Djubaedi
M.Ag)
Oleh :
Deny Rochman
A. PENDAHULUAN
Dalam kajian epistemologi Barat, dikenal adanya tiga aliran pemikiran yakni
empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Namun dalam prosesnya, pemikiran
empirisme dan rasionalisme lebih berkembang. Kekuatan nalar menjadi analisis
utama para filosof dalam menemukan kebenaran ilmu. Pengetahuan yang dipergunakan dalam
penalaran pada dasarnya bersumber dari rasio (rasionalisme) atau fakta
(empirisme). Jadi, penalaran ilmiah merupakan gabungan penalaran rasionalisme
(deduktif) dan empirisme (induktif).
Sementara dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa
diperoleh dari tiga macam yakni teks suci, akal dan pengalaman pribadi. Ketiga
epistemologi tersebut merupakan tradisi intelektual dalam mencari dan menemukan
pengetahuan dan kebenaran yang mereka yakini.
Istilah epistemologi sendiri sering dipahami sebagai filsafat pengetahuan
yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat serta scope pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki. Epistemologi diawali dengan rasa skeptis (keragu-raguan)
atas segala pernyataan dan kenyataan.
Definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan
membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan,
validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.
Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi
jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk
menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud
metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor
ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan
sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga
menggunakan metode analisa sejarah.
Sementara itu di dalam tradisi Islam, dikenal juga epistemologi tradisi
intelektual. Ketiga itu dikenal dengan istilah bayani, burhani dan irfani. Dalam
sejarah Islam masing-masing epistemologi, bayani pernah melahirkan para ahli
fiqh besar, irfani memunculkan tokoh sufisme dan burhani menampilkan filsuf
yang disegani.
Pertanyaan sekarang adalah apa yang dimaksud tiga istilah epistemologi
Islam tersebut? Bagaimana proses pemikiran bayani, burhani dan irfani dalam
menemukan kebenaran ilmu dalam Islam? Makalah ini akan meresume tulisan dari
makalah ilmiah Prof Dr H Dedi Djubaedi MAg dalam jurnal OASIS vol. 1 No. 1
Januari 2008 berjudul Epistemologi Islam: Pelacakan Epistemologi Tradisi
Intelektual Muslim.
Berkembangnya
model epistemologi Islam terjadi pada masa kejayaan emas Islam (the gold age).
Pada masa itu para filosof muslim tiada henti untuk melakukan penerjemahan
karya-karya filsafat Yunani klasik yang sudah ditinggalkan oleh generasi
mudanya. Semula para pemikir muslim sekadar menterjemahkan karya klasik
tersebut, namun dalam prosesnya upaya itu melahirkan pemikiran baru. Hasilnya
ada tiga mainstream keilmuan yang dikembangkan, yaitu pemikiran ilmiah
(logis), fisolofis dan sufistik. Demikian yang ditulis Prof Dr H Dedi Djubaedi
M.Ag dalam tulisan awalnya mengenai epistemologi Islam.
Tiga
mainstream keilmuan yang dikembangkan, yakni ilmiah (logis), filosofis
dan sufistik tersebut dengan istilah lain adalah bayani, burhani dan
irfani.
B.
Model-model Epistemologi Islam
1.
Model Bayani
Secara epistemologi, Bayani berasal dari
bahasa Arab yakni bayanun, berarti penjelasan, keterangan, bukti atau
saksi. Epistemologi Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan
atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara
langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan tanpa perlu pemikiran
khusus. Sementara secara tidak langsung maksudnya memahami teks sebagai
pengetahuan mentah yang perlu ditafsirkan kembali melalui penalaran. Namun
demikian bukan berarti penalaran bebas dalam menentukan makna tetapi tetap
bersandar pada teks.
Teks dalam perspektif madzhab Bayani adalah
bersumber pada al Qur’an dan Hadist. Kelompok ini menaruh perhatian besar dan
teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi. Dalam konteks
sosiologis, upaya madzhab ini berpendapat, sebagai sumber pengetahuan benar
tidaknya transmisi teks menentukan benar tidaknya ketentuan hukum yang diambil.
Pemikiran inilah yang kemudian mereka sangat ketat dan hati-hati dalam memilih
orang-orang untuk memahami teks-teks agama, baik dari Al Quran maupun Hadist
(hal.3).
Menurut al Jibril, persoalan pokok yang ada
di dalam bayani adalah sekitar masalah lafaz-makna dan ushul furu’. Persoalan lafaz-makna mengandung dua aspek
yaitu teoritis dan praktis. Sisi teoritis melahirkan tiga persoalan yaitu (1)
makna suatu kata; apakah berdasarkan konteksnya atau makna aslinya; (2) analogi
bahasa; dan (3) soal pemaknaan al-asma al-syari’iyah, seperti kata
shalat, puasa, zakat dan lainnya. Terkait tataran praktis, al Jibril
menghubungkan kata makna dengan penafsiran atas wacana (khitbah) syara’.
Soal ushul furu’, al Jibril
berpendapat bahwa ushul disini tidak menunjukkan pada dasar-dasar hukum fiqih,
seperti Al Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas, namun pada pengertian
umum bahwa ia adalah dasar dari proses penggalian pengetahuan. Ushul adalah
ujung rantai dari hubungan timbal balik dengan furu’. Disini al Jibril
kemudian melihat tiga macam posisi dan peran ushul dalam hubungannya
denga furu’.
2.
Model Burhani
Model pemikiran burhani menyadarkan diri
pada kekuatan rasio, akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Rasio inilah
yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat
indera. Dalil-dalil agama pun ketika bisa diterima kebenarannya harus sesuai
dengan logika rasional. Dalam mendapatkan pengetahuan, epistemologi burhani
menggunakan aturan silogisme, dalam bahasa Arab disebut dengan qiyas
atau al-qiyas al-jam’i. Silogisme adalah argumen dua proposisi premis
yang melahirkan keputusan.
Untuk memperoleh pengetahuan, epistemologi
burhani juga didasarkan rasio obyek eksternal, dengan melalui tahap-tahap : (1)
pengertian (ma’qulat) yakni proses abstraksi atas obyek eksternal yang
masuk dalam pikiran; (2) pernyataan (ibarat) yakni proses pembentukan
kalimat atas pengertian yang ada; (3) penalaran (tahlilat) yaitu proses
pengambilan keputusan berdasarkan hubungan di antara premis-premis yang ada
(silogisme).
Pengambilan kesimpulan silogisme tersebut,
kata al Jibril, mengutip pendapatnya Aristoteles, harus memenuhi beberapa
persyaratan yaitu (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis; (2)
adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan; (3) kesimpulan yang
diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan
kebenaran lain.
Terkait dengan hal di atas, filosof muslim
Al-Farabi mensyarakatkan premis-premis burhani harus merupakan premis-premis
yang benar, primer dan diperlukan. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan
apabila memenuhi tiga syarat: (1) kepercayaan bahwa sesuatu premis berada atau
tidak dalam kondisi spesifik; (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin
merupakan sesuatu yang lain selain dirinya; (3) kepercayaan bahwa kepercayaan
kedua tidak mungkin sebaliknya.
3.
Model ‘Irfani
Pendekatan irfani adalah pendekatan
pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan,
basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi
manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma'rifah
'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah
dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu
metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui
analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup : a) analogi berdasarkan
angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8, dst; b) tamthil yang meliputi
silogisme dan induksi; dan c) surah dan ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah
adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan 'irfani juga
menolak atau menghindari mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak berurusan dengan
mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan
dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di
balik shari'ah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik
yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di
atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi
dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam
pendekatan 'irfani meliputi tanzil-ta'wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan
zahir-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi : 1) siyasi mubashar,
yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada pribadi
tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan
pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan
makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah
al-mut'aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.
Pendekatan 'irfani banyak dimanfaatkan
dalam ta'wil. Ta'wil 'irfani terhadap Al-Qur'an bukan merupakan istinbat,
bukan ilham, bukan pula kashf. tetapi ia merupakan upaya mendekati
lafz-lafz Al-qur'an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan
dengan warisan 'irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk
menangkap makna batinnya.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani
lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah
al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan
intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan
yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah
al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam
menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkret dari pengetahuan 'irfani.
Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan
'irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani
bersifat subyektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya,
setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri,
maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat
partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam
tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk
memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk
sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman". Selanjutnya tahapan
pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya
pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan
struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh
orang lain.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam
konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran
substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh
kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang
berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang
kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural,
dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain
secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap
problem-problem kemanusiaan, pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari
oleh pancaran fitrah ilahiyah.
Kemampuan intuisi dalam mencari pengetahuan
dan kebenaran dalam konteks keilmuan Barat berdasarkan perasaan (feeling so
good) atau hati nurani. Dengan cara ini setiap orang bisa melakukan tanpa
terkecuali. Bahkan Gary Klein (2006: 4) dalam bukunya The Power of Intuition
mengatakan, bahwa kekuatan intuisi dalam mengambil tindakan seseorang adalah
berdasarkan pertimbangan pengalaman masa lalu. Menurutnya, intuisi dalam arti
pengalaman itu lebih kokoh dalam memutuskan tindakan seseorang. Malahan Gary
menilai intuisi yang dipahami secara magis lebih banyak berbahayanya daripada manfaatnya bagi
manusia.
Kekuatan intuisi dalam Islam hanya bisa
dilakukan oleh orang “pilihan”, karena harus melalui beberapa tahap. Dedi
Djubaedi, mengutip pendaparnya Suhrawadi, menyebutkan tiga tahapan dalam
memperoleh pengetahuan ruhani yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan. Tahap
persiapan, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kashf), seorang
yang biasanya disebut salik (penempuh jalan spiritual) harus
menyelesaikan jenjang kehidupan spiritual. Tahapan itu paling tidak ada tujuh yang
harus dilalui seseorang yang ingin memiliki kekuatan intuisi, diantaranya : (1)
taubat; (2) wara; (3) zuhud; (4) faqih; (5) sabar; (6) tawakal; dan (7)
ridhlo.
Setelah tahap persiapan adalah tahap
penerimaan. Dalam tahap ini seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan
langsung dari Tuhan secara iluminatif atau neotic. Tahap terakhir adalah
tahap pengungkapan, dimana pengalaman mistik diinteprestasikan dan diungkapkan
kepada orang lain.
C.
Kritik Tipologi Pemikiran Islam
Di
akhir tulisannya, Prof Dedi Djubaedi menyinggung penelitian al-Jabiri.
Pemikiran Islam berdasarkan tiga dan model epistemologi tersebut memiliki basis
dan karakter berbeda. Ketiga model pemikiran Islam tersebut diakui memiliki
kelemahan. Untuk bayani, karena hanya berdasarkan pada teks, maka hanya fokus
pada hal-hal bersifat aksidental bukan substansial sehingga kurang bisa dinamis
mengikuti perkembangan sejarah dan perubahan sosial. Sedangkan model burhani, tidak bisa mencapai
seluruh kebenaran karena ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh
rasio.
Ketiga
model tersebut menjadi arus utama epistemologi pemikir yang beraliran As’ariyah
dalam teologi atau Ahl as-sunnah Wa al-Jam’aah dalam politik. Namun sayang,
ketiga epistemologi yang lebih bersifat tipologis tersebut tidak dijadikan
sebagai modal pemikiran tapi dijadikan dikotomik sebagi basis konflik dan
pertentangan. Tak mengherankan bila terjadi takfir (pengkafiran) antara satu
pemikir dengan pemikir lain. Ibnu Sina, misalnya, pengguna nalar Burhani
(rasional paripatetik), disesatkan oleh Al-Ghozali, pengguna nalar irfan-bayan
(tasawuf-sunni).
Bahkan
dalam kitabnya, al-Munqid min al-Dholal, al- Ghozali mengkafirkan Ibnu
Sina. Sementara, itu al-Ghozali dianggap bodoh oleh Ibnu Rusdy dalam kitabnya at-Tahafut
fi at-Tahafut. Abu Hanifah dianggap telah membuat syari’at baru oleh Imam
Syafi’i ketika mengunakan metodologi istihsan dalam yurisprudensi Islam.
Sedangkan Syafi’i dianggap sesat oleh Ibnu Hazm dalam bukunya Ibthol al-Qiyas
karena mengunakan analogi dalam istinbat al- ahkam (pengambilan konklusi
hukum). Tak sekedar itu, Ibnu Hazm dengan tajam menyindir Syafi’i, dengan
menyebutkan bahwa yang pertama kali mengunakan analogi adalah iblis. Lebih dari
semuanya, Al-Hallaj, pengguna Nalar ifran (mistik), mesti diesksekusi dengan
cara digantung dan dibakar karena dianggap telah sesat oleh para ulama fikih
pengguna nalar bayan.
Maka,
Suhrawardi memunculkan metode baru yang memadukan burhani (rasio) dengan metode
irfani (intuisi). Kendati metode iluminasi ini dipandang memiliki kelemahan
karena tidak bisa dipahami oleh banyak orang, termasuk kalangan awam. Kemudian
lahirlah metode yang menggabungkan ketiganya yaitu bayani, burhani dan
irfani yang digagas oleh Mulla Sadra (dalam Djubaedi, 2008). Dengan metode terakhir ini, pengetahuan yang
diperoleh tidak hanya dihasilkan kekuatan rasio tetapi juga intuisi, dan dalam
sistemnya pengetahuan itu juga menggunakan metode bayani.
Mulyadhi
Kartanegara (2007:7) menjelaskan, akal
dalam bentuk proses penalaran memang digunakan, tetapi hanya untuk memilih,
memutuskan dan melakukan penalaran, bukan sebagai sumber lain untuk menangkap
realitas. Menurut Herber A. Simon, nalar itu ibarat senjata sewaan, yang bisa
kita gunakan untuk mencapai tujuan apa saja, baik atau buruk. Nalar lebih
merupakan fasilitator daripada inisiator, kita memakai nalar untuk mendapatkan
yang kita mau, bukan untuk menentukan yang kita mau.
D.
Memahami Filsafat Pendidikan
Islam
Filsafat
pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang
berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran
Islam, bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika
sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
Muzayyin
Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki
arena pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan menyeluruh (universal)
tentang pendidikan, ysng tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama
Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang
relevan. Ini artinya, bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah
masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan
pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
Memahami
dunia pendidikan Islam dalam kajian filsafat agar bisa bersikap kritis dalam
mencermati problematika yang terjadi dalam bidang pendidikan Islam. Pada
akhirnya diharapkan pemikiran filosofi kita bisa memberikan solusi terhadap
permasalahan yang terjadi. Dalam menumbuhkembangkan pola pikir yang kritis
diperlukan metode dalam menggali pengetahuan dan kebenaran.
Dalam
konteks keislaman tersebut, maka tradisi intelektual Islam yang meliputi bayani,
burhani dan irfani bisa menjadikan landasan untuk mencari pembenaran
ilmu pengetahuan. Pendekatan itu digunakan secara terpadu agar memahami
persoalan pendidikan Islam lebih bersifat holistik (menyeluruh), dengan
memahami secara tekstual (bayani), kontekstual (burhani) dan wahyu
(irfani). Irfani berdasarkan pada rujukan dari Kitab Suci Al Quran
dan Sunnah Rosul.
E.
PENUTUP
Tipologi tradisi pemikiran Islam, bayani,
burhani dan irfani, secara historis dipengaruhi oleh filsafat Yunani
yakni rasional, empiris dan intuisi. Ketiga metode tersebut seyogyanya bisa
diterapkan saling mendukung dalam mencari pengetahuan dan kebenaran. Jika
digunakan secara parsial akan berakibat kurang sempurnanya dalam mengkaji ilmu
pengetahuan tersebut, apalagi jika hanya mengandalkan nalar.
Mengedepankan kemampuan nalar kita akan
terjebak dalam dunia materialistik, bahkan
tidak sedikit kekuatan nalar telah menyeret manusia mengingkari
Tuhannya. Charles Darwin, misalnya, ilmuwan Biologi abad XIX yang dikenal teori
evolusinya ini semula orang yang percaya adanya keberadaan Tuhan. Namun ketika
dia semakin matang sebagai ilmuwannya, secara perlahan telah kehilangan
kepercayaan kepada Tuhan. Ilmuwan lainnya seperti Pierre de Lapace, astronom
Prancis, Sigmund Freud (ahli psikologi), Emile Durkheim sosiolog dan banyak
lagi.
Keseimbangan metode pemikiran tersebut untuk
menyempurnakan hasil akhir dari proses pemikiran kemudian. Melalui pendekatan
terpadu dalam memahami kebenaran pengetahuan pada fase tertentu akan menambah
nilai keimanan bagi pemikir tersebut. Pasalnya, dalam eksplor ilmu mereka
selalu diimbangi bisikan Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Khudori Soleh, Model-model Epistemologi Islam, dalam www.khudori Soleh.blogspot.com
Dedi
Djubaedi, Epistemologi Islam: Pelacakan Epistemologi Tradisi Intelektual
Islam, Jurnal OASIS Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2008, STAIN Cirebon.
Gary
Klein, The Power of Intuition : Mendayagunakan Intuisi untuk Meningkatkan
Kualitas Keputusan di Tempat Kerja, PT Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2006.
Mulyadi
Kertanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas,
Erlangga, Jakarta, 2007.
****Makalah
disampaikan dalam mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam, Prof. Dr. Jamali Sahrodi
dalam program Pascasarjana Kosentrasi Psikologi Pendidikan Islam IAIN Syekh
Nurjati Cirebon tahun 2010.