April 12, 2016

KONTROVERSI UJIAN NASIONAL DAN KUALITAS PENDIDIKAN

Oleh :
Deny Rochman 

  1. PENDAHULUAN
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) kembali menggelar Ujian Nasional (UN) untuk SMP/MTs dan SMA/SMK sederajat. Bahkan sejak tahun 2008, siswa sekolah dasar pun mulai mengikuti ujian nasional (UASBN) dengan standar yang berbeda. Pelaksaaan UN sendiri menurut ketentuan bertujuan  untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesuai dengan Permendiknas Nomor 75 Tahun 2009.
Dilapangan, pelaksanaan dan hasil Ujian Nasional (UN) ini menjadi bahan perbincangan menarik di tengah masyarakat. Pemerintah, sekolah dan orang tua siswa boleh bangga atas kenaikan tingkat kelulusan UN tahun ini meningkat signifikan dari tahun sebelumnya. Tetapi ”fenomena unik” dibalik hajat nasional itu tidak bisa membohongi mutu pendidikan negeri ini. 
 
Dalam sebuah angkot, ada obrolan seru diantara penumpang dan supir. Sang supir curhat kepada sang penumpang, yang kebetulan temannya. Bahwa dirinya tidak percaya dengan keberhasilan anaknya yang lulus UN. Padahal selama ini nilai prestasi belajarnya kurang menggembirakan.  Fenomena lainnya, pada sebuah sekolah yang siswanya lulus 100 persen, namun ada siswa  yang tetap menangis. Menangis bukan karena harus dirinya lulus, tetapi nilai perolehannya tidak sesuai yang diharapkan untuk bisa melanjutkan ke sekolah favorit pilihannya.
Ditempat terpisah dan pada waktu yang berbeda, salah satu orang tua siswa datang ke sekolah anaknya dengan nada protes. Mengapa? Ternyata bukan karena anaknya tidak lulus, tetapi lantaran nilai yang diperolehnya tidak memenuhi harapan. Padahal anak tersebut akan melanjutkan ke sekolah yang favorit, yang menetapkan nilai cukup besar.
Tidak hanya orangtua yang heran. Beberapa insan pendidikan juga terlihat mengerutkan dahi sambil geleng-geleng kepala. Mereka seolah mimpi di siang bolong melihat hasil UN tahun ini. Bayangkan, siswa yang kesehariannya prestasi belajarnya biasa-biasa saja bahkan dibawah rata-rata, tetapi hasil UN nilainya mendekati sempurna.
Bahkan untuk peringkat sekolah tahun  ini 2008, misalnya, di wilayah Cirebon  mengalami perubahan. Sekolah yang biasanya meraih nilai rata-rata UN dan posisi ranking yang baik, harus tergeser oleh sekolah yang selama ini prestasi belajar siswanya biasa-biasa saja.
Dalam pelaksanaan UN sejak 2003 hingga kini terus mengalami pro dan kontra. Bahkan pada UN tahun 2010 nyaris saja batal, menyusul ada gugatan dari masyarakat ke jalur hukum. Mereka menilai pemerintah belum siap melaksanaan UN karena belum meratanya distribusi guru yang berkualitas, sarana prasarana di seluruh Indonesia. Gugatan itu berakhir tidak sesuai harapan, karena Kemendiknas tetap melaksanakan UN tahun 2010 setelah mendapat dukungan politik dari sejumlah fraksi di DPR. 
  1. PERMASALAHAN
Potret pendidikan tersebut menjadi keprihatinan masyarakat, khususnya yang masih mengharapkan kualitas pendidikan negeri ini tanpa adanya kebohongan dan kecurangan. Sebagian orang menilai bahwa praktek kotor UN karena sistem, sehingga harus segera mencabut kebijakan UN yang tidak populis. Salah satu elemen yang mendesak itu adalah Forum Pendidikan (Educationa Forum).
Kritikan itu sebenarnya bukan barang baru pada tahun ini. Tahun-tahun sebelumnya, banyak pihak yang mendesak UN agar ditinjau ulang mekanismenya. Pasalnya UN tidak bisa menjadi tolok ukur kualitas hasil belajar siswa dan mutu pendidikan sebuah bangsa. Belajar selama tiga tahun hanya ditentukan oleh tiga mata pelajaran. Itu pun ada upaya rekayasa. 
Mekanisme UN yang berjalan ini tentu akan menjadi preseden buruk bagi masa depan pendidikan anak. Pertama, mendidik mental anak untuk malas belajar bagi mata pelajaran non UN. Mereka akan berpatok pada tiga mata pelajaran yang di-UN-kan (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika). Sekalipun dalam konsep, ujian sekolah juga membantu kelulusan siswa. Namun dalam pelaksanaanya, hasil ujian sekolah menyesuaikan dengan hasil UN.
Kedua, kecurangan UN yang terorganisir akan membentuk mental dan kultur anak untuk menghalalkan segala cara agar bisa lulus dan terbiasa untuk tidak jujur. Tentu hal yang kontra produktif dengan upaya pemerintah yang hendak mencerdaskan siswa didik menjadi manusia yang beriman, kreatif, cakap, berilmu dan bertanggung jawab (baca dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Ketiga, praktek kotor UN dimata anak akan kehilangan nilai ”kesakralan” dalam pelaksanaannya. Padahal makna ujian sebagai candradimuka dan tolok ukur kesempurnaan seseorang dalam menguasai sesuatu kompetensi dalam hidup ini. Apakah kita mengaku pintar dan berilmu tanpa harus diuji kemampuannya?


PEMBAHASAN
1.      Ujian Nasional dan Mutu Pendidikan
Berbagai keberatan yang dilontarkan oleh stakeholders terhadap penyelenggaraan UN bukan tanpa alasan. Kepeduliannya terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan menjadi perhatiannya yang serius. Berdasarkan kajian teoritik dan fakta empirik tampak jelas bahwa UN berdampak negarif terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Apabila kondisi ini terus berlanjut dikhawatirkan kualitas pendidikan kita akan semakin merosot dan tujuan pendidikan nasional kita akan sulit untuk diwujudkan, dan pada akhirnya kondisi masyarakat dan bangsa ini tidak akan pernah berubah, terus berada dalam keterpurukan.
Berbagai dampak negatif yang nyata terjadi di sekolah sebagai akibat diterapkannya UN di sekolah, diantaranya:
1.        Terjadinya disorientasi pendidikan di sekolah
Mata pelajaran yang di-UN-kan tidak seluruh mata pelajaran, baik yang di tingkat SMP dan SMA sederajat. Pembatasan mata pelajaran yang diujikan dalam UN, berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah hanya ditekankan pada penguasaan mata pelajaran tersebut, sedangkan mata pelajaran lain dianggap hanya sebagai pelengkap.
Dengan adanya UN, maka pembelajaran cenderung hanya mengembangkan ranah kognitif, pada penguasaan pengetahuan, dan mengesampingkan ranah lain yang sebenarnya tidak kalah pentingnya untuk menghasilkan individu-individu yang utuh dan berkarakter, yaitu ranah afektif dan psikomotorik.
2.        Proses pembelajaran yang tidak bermakna
Untuk mempersiapkan para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill (pengayaan), dimana para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar dalam ujian. Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran.
3.    Upaya-upaya yang tidak fair
Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap persentase/jumlah siswa yang dinyatakan lulus, maupun besarnya nilai yang diperoleh para siswa, mendorong sekolah untuk melakukan berbagai upaya untuk mencapainya, misalnya, sekolah membentuk tim sukses. Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak pada terbentuknya citra dan prestise sebuah sekolah.
Sekolah membentuk “Tim Sukses” untuk mendapatkan kelulusan 100% supaya memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan (SPM Kepmendiknas 053/U/2001) (Salamudin, 2005); Pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa.(AdeIrawan,KontroversiUjianNasional.http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=3764). Kondisi seperti ini jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan yang seharusnya menjadi bagian yang harus dikembangkan secara serius di sekolah.
4.    Hanya ranah kognitif yang terukur
UN yang menggunakan bentuk soal multiple choise hanya akan dapat mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Mengacu pada ranah kognitif dari Bloom, tingkatan berpikir yang mampu terukur melalui bentuk soal MC hanya sampai pada tingkat berpikir aplikasi. Kondisi seperti ini mendorong para siswa belajar dengan menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan psikomotorik yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur ketercapaiannya, tidak dilakukan.
5.        Keputusan yang tidak fair
Selama ini hasil UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3 tahun di SLTP dan SLTA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan beberapa jam saja. Ketidaklulusan siswa dalam UN bisa jadi bukan karena faktor ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor kelelahan mental (mental fatique), karena stres pada saat mengerjakan ujian atau karena kesalahan pengukuran yang biasa terjadi pada setiap tes (false negative).
Kendati permasalahan ini ditepis oleh Mendiknas dalam sejumlah kesempatan. Menurutnya, kelulusan siswa ditentukan oleh beberapa aspek sesuai PP No. 19 tahun 2005 tentan Standar Pendidikan Nasional. Disebutkan, kelulusan siswa setelah mereka mengikuti kegiatan belajar di sekolah selama tiga tahun, lulus nilai mata pelajaran pendidikan nilai, lulus ujian sekolah dan lulus ujian nasional.
6.    Menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin
Di samping sebagai persyaratan untuk kelulusan, hasil UN juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sekolah-sekolah yang berkualitas dan ‘favorit’ akan menjadi tujuan para siswa, yang berakibat pada terjadinya persaingan yang ketat antarsiswa. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain berusaha mendapatkan nilai UN yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan impian itu, dengan mempertimbangkan karakteristik model UN yang akan dihadapi para siswa berusaha menambah waktu belajar tambahan dengan mencari guru privat atau mengikuti bimbingan belajar adalah pilihan yang selama ini dianggap tepat.
2.      Kedudukan dan Peran Evaluasi dalam Pembelajaran
Mencermati berbagai dampak negatif yang muncul sebagai akibat dilaksanakannya UN, perlu dilakukan kajian secara komprehensif, baik menyangkut aspek akademis/pedagogis, yurudis formal, maupun kajian empirik, untuk melihat bagaimana seharusnya kita menempatkan ujian sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal ini penting agar peran dan fungsi ujian berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan diselenggarakannya evaluasi dalam suatu proses pembelajaran.
Salah satu fungsi evaluasi yang utama adalah evaluasi dilaksanakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan. Hal in terlihat jelas dalam model evaluasi yang dikemukakan oleh Tyler (Lewy, 1997)
Educational Objectives
Learning Experiences
Examination of Achivement
Model tersebut memperlihatkan hubungan antara tujuan pendidikan, pengalaman belajaran, dan evaluasi hasil belajar yang saling berkaitan. Di samping untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan, dari model tersebut juga dapat ditafsirkan, bahwa evaluasi hasil belajar berkaitan dengan pengalaman belajar aktual siswa.
Bila model di atas diterapkan dalam melaksanakan evaluasi tingkat nasional maka ujian nasional seharusnya dilakukan untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Bila kita lihat tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Melihat rumusan tujuan ini, jelas bahwa pendidikan kita hendak menghasilkan orang-orang yang utuh, yang bukan hanya menguasai pengetahuan (berilmu) tetapi yang paling penting adalah menghasilkan manusia-manusia yang memiliki karakter luhur sebagai manusia yang beradab.
Untuk mengukur hasil pendidikan sebagaimana digambarkan di atas, maka diperlukan instrumen evaluasi yang variatif dan komprehensif; tidak cukup hanya dengan menggunakan instrumen evaluasi dalam bentuk tes tetapi juga diperlukan dalam bentuk non-tes. Karena evaluasi dalam bentuk tes hanya dapat mengukur penguasaan pengetahuan yang masuk dalam ranah kognitif. Apalagi bentuk tes yang digunakan hanya dalam bentuk tes pilihan ganda (multiple choise). Sementara untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan pencapaian tujuan pada ranah psikomotorik dan afektif diperlukan alat evaluasi dalam bentuk non tes. Dan ini tidak (mungkin) dilakukan dengan UN, karena untuk melakukan itu harus dilakukan secara berkelanjutan.
Pembatasan aspek yang dievaluasi melalui UN, yang hanya mengukur prestasi akademik yang nota bene hanya mengukur penguasaan pengetahuan, berakibat pada proses pembelajaran yang terjadi di sekolah pun menjadi berfokus pada pengembangan ranah kognitif. Aspek-aspek afektif, seperti berakhlak mulia, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab menjadi terabaikan. Telah terjadi disorientasi proses pendidikan.
Berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran telah dikenalkan, diujicobakan dan juga dilatihkan pada para guru, seperti pendekatan CBSA, Keterampilan Proses, sampai pada PAKEM. Dengan pendekatan dan strategi pembelajaran yang inovatif diharapkan akan terjadi proses pembelajaran yang menyenangkan, menstimulasi pengembangan potensi diri siswa, jauh dari tekanan dan stres, dan mendorong siswa belajar menemukan, sebagaimana dikatakan Whitehead, the child should experience the joy of discovery. (Whitehead, 1942).
Model pembelajaran seperti inilah sebenarnya yang diharapakan terjadi sehingga pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif; pasal 4 ayat (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; serta pasal 4 ayat (4) yang menyatakan Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Namun sayang, berbagai upaya tersebut kembali kandas pada saat akan dilaksanakan di kelas. Karena terbentur dengan tuntutan dan ukuran keberhasilan belajar yang menggunakan nilai UN sehingga  guru lebih suka menggunakan pendekatan drilling.
Demikian juga dengan siswa, mereka akan belajar sesuai dengan apa yang akan diujikan dalam ujian. Bila soal-soal dalam ujian menuntut mereka untuk hafal banyak hal, maka proses belajar yang dilakukannya adalah dengan cara menghafal. Hal ini sebenarnya telah diingatkan oleh Soedijarto berdasarkan hasil penelitiannya dalam rangka penyusunan disertasi Doktornya, pada tahun 1981. Penelitiannya menemukan bahwa sistem evaluasi (dalam arti frekuensi dan bentuk tes) merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kualitas proses belajar, (Soedijarto, 1993) yang pada gilirannya tentunya yang pada gilirannya akan berpengaruh juga terhadap mutu hasil belajar.
Apabila dikaji dari sudut pandang yuridis formal penyelenggaraan UN, terdapat sejumlah catatan yang perlu mendapat perhatian serius. UU No. 20 Tahun 2003 pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sementara pasal 59 ayat 1 menyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Kedua pasal ini telah membagi tugas yang jelas antara pendidik dan pemerintah dalam penyelenggaraan evaluasi pendidikan di sekolah. Pendidik bertugas mengevaluasi proses dan hasil belajar, sedangkan pemerintah bertugas mengevaluasi pengelolanya, baik pada satuan jalur, jenjang maupun jenis pendidikannya.


PENUTUP
Dilihat dari aspek akademis-pedagogis, yuridis formal, maupun pengalaman empiris, Ujian Negara (UN) selayaknya untuk segera ditinggalkan. UN telah membawa dampak negatif yang sangat luas terhadap penyelenggaran pembelajaran di sekolah. Proses belajar yang dialami para siswa menjadi sangat parsial, hanya mengembangkan aspek kognitif, sementara ranah afektif dan psikomotorik terabaikan. Suasana belajarnya menjadi sangat menegangkan membuat siswa cemas berlebihan, belajar dalam kondisi ‘terpaksa’, dan tidak menyenangkan. Suasana belajar yang memberi peluang kepada siswa untuk bereksplorasi dan menemukan sesuatu, dan memecahkan berbagai permasalahan sulit terjadi. Berbagai inovasi tentang pendekatan dan strategi pembelajaran yang sangat baik juga sulit diimplementasikan di dalam kelas.
Dengan menyelenggarakan UN, menyebabkan pemerintah melanggar UU No. 20 tahun 2003 pasal 58 ayat 1 pasal 59 ayat 1. Pemerintah telah mengambil alih tugas pendidik untuk melakukan evaluasi hasil belajar peserta didik, sementara tugasnya sendiri untuk melakukan evaluasi terhadap pengelola tidak dilakukannya.
Dari pengalaman UN yang telah dilakukan selama tiga tahun terakhir, berbagai kecurangan yang dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai daerah, seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk segera mempertimbangkan kembali kelanjutan penyelenggaraan UN.
DAFTAR PUSTAKA

Kompas, 7 Juli 2007. Wapres Ragukan Bunuh Diri Karena Ujian Nasional.
Kompas, 9 November 2007. Adaptasi UN Tiga Tahun.
Kubiszyn, Tom, Gary Borich. Educational Testing and Measurement, Classroom Application and Practice, Seventh Edition. Singapore: John Wiley and Sons, Inc., 2003
Lewy, Arieh. Handbook of Curriculum Evaluation. New York: Unesco, 1977
Republika, 8 Mei 2007. Kecurangan UN Terjadi di Seluruh Daerah.
Salamuddin, UN Perlu Kejujuran. Pendidikan Network, 22 Mei 2005
Soedijarto. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka, 1993
Tilaar, H.A.R. Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kriti.s(Jakarta: Rineka Cipta, 2006
Whitehead, Alfred North. The Aims of Education and Other Essays. New York: The New American Library
Wiersma, William, Stephen G. Jurs. Educational Measurement and Testing. Boston: Allyn and Bacon, 1990.


****Makalah disampaikan dalam mata kuliah Evaluasi Pendidikan, Prof. DR. H. M Idochi Anwar, M.Pd dan Prof. DR. H. Syueb Kurdie, M.Pd dalam program Pascasarjana Kosentrasi Psikologi Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2009.