Oleh :
Deny Rochman
- PENDAHULUAN
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) kembali menggelar Ujian Nasional (UN) untuk SMP/MTs dan SMA/SMK
sederajat. Bahkan sejak tahun 2008, siswa sekolah dasar pun mulai mengikuti
ujian nasional (UASBN) dengan standar yang berbeda. Pelaksaaan UN sendiri
menurut ketentuan bertujuan untuk menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesuai dengan Permendiknas Nomor
75 Tahun 2009.
Dilapangan, pelaksanaan dan hasil Ujian Nasional (UN)
ini menjadi bahan perbincangan menarik di tengah masyarakat. Pemerintah,
sekolah dan orang tua siswa boleh bangga atas kenaikan tingkat kelulusan UN
tahun ini meningkat signifikan dari tahun sebelumnya. Tetapi ”fenomena unik”
dibalik hajat nasional itu tidak bisa membohongi mutu pendidikan negeri ini.
Dalam sebuah angkot, ada
obrolan seru diantara penumpang dan supir. Sang supir curhat kepada sang
penumpang, yang kebetulan temannya. Bahwa dirinya tidak percaya dengan
keberhasilan anaknya yang lulus UN. Padahal selama ini nilai prestasi
belajarnya kurang menggembirakan. Fenomena lainnya, pada sebuah
sekolah yang siswanya lulus 100 persen, namun ada siswa yang tetap menangis. Menangis bukan karena
harus dirinya lulus, tetapi nilai perolehannya tidak sesuai yang diharapkan
untuk bisa melanjutkan ke sekolah favorit pilihannya.
Ditempat terpisah dan pada
waktu yang berbeda, salah satu orang tua siswa datang ke sekolah anaknya dengan
nada protes. Mengapa? Ternyata bukan karena anaknya tidak lulus, tetapi
lantaran nilai yang diperolehnya tidak memenuhi harapan. Padahal anak tersebut
akan melanjutkan ke sekolah yang favorit, yang menetapkan nilai cukup besar.
Tidak hanya orangtua yang
heran. Beberapa insan pendidikan juga terlihat mengerutkan dahi sambil
geleng-geleng kepala. Mereka seolah mimpi di siang bolong melihat hasil UN
tahun ini. Bayangkan, siswa yang kesehariannya prestasi belajarnya biasa-biasa
saja bahkan dibawah rata-rata, tetapi hasil UN nilainya mendekati sempurna.
Bahkan untuk peringkat sekolah
tahun ini 2008, misalnya, di wilayah Cirebon mengalami perubahan. Sekolah yang biasanya
meraih nilai rata-rata UN dan posisi ranking yang baik, harus tergeser oleh
sekolah yang selama ini prestasi belajar siswanya biasa-biasa saja.
Dalam pelaksanaan UN sejak
2003 hingga kini terus mengalami pro dan kontra. Bahkan pada UN tahun 2010
nyaris saja batal, menyusul ada gugatan dari masyarakat ke jalur hukum. Mereka
menilai pemerintah belum siap melaksanaan UN karena belum meratanya distribusi
guru yang berkualitas, sarana prasarana di seluruh Indonesia. Gugatan itu
berakhir tidak sesuai harapan, karena Kemendiknas tetap melaksanakan UN tahun
2010 setelah mendapat dukungan politik dari sejumlah fraksi di DPR.
- PERMASALAHAN
Potret pendidikan tersebut
menjadi keprihatinan masyarakat, khususnya yang masih mengharapkan kualitas
pendidikan negeri ini tanpa adanya kebohongan dan kecurangan. Sebagian orang
menilai bahwa praktek kotor UN karena sistem, sehingga harus segera mencabut
kebijakan UN yang tidak populis. Salah satu elemen yang mendesak itu adalah
Forum Pendidikan (Educationa Forum).
Kritikan itu sebenarnya bukan
barang baru pada tahun ini. Tahun-tahun sebelumnya, banyak pihak yang mendesak
UN agar ditinjau ulang mekanismenya. Pasalnya UN tidak bisa menjadi tolok ukur
kualitas hasil belajar siswa dan mutu pendidikan sebuah bangsa. Belajar selama
tiga tahun hanya ditentukan oleh tiga mata pelajaran. Itu pun ada upaya
rekayasa.
Mekanisme UN yang berjalan ini
tentu akan menjadi preseden buruk bagi masa depan pendidikan anak. Pertama,
mendidik mental anak untuk malas belajar bagi mata pelajaran non UN. Mereka
akan berpatok pada tiga mata pelajaran yang di-UN-kan (Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris dan Matematika). Sekalipun dalam konsep, ujian sekolah juga membantu
kelulusan siswa. Namun dalam pelaksanaanya, hasil ujian sekolah menyesuaikan
dengan hasil UN.
Kedua, kecurangan UN yang terorganisir akan
membentuk mental dan kultur anak untuk menghalalkan segala cara agar bisa lulus
dan terbiasa untuk tidak jujur. Tentu hal yang kontra produktif dengan upaya
pemerintah yang hendak mencerdaskan siswa didik menjadi manusia yang beriman,
kreatif, cakap, berilmu dan bertanggung jawab (baca dalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Ketiga, praktek kotor UN dimata anak akan
kehilangan nilai ”kesakralan” dalam pelaksanaannya. Padahal makna ujian sebagai
candradimuka dan tolok ukur kesempurnaan seseorang dalam menguasai sesuatu
kompetensi dalam hidup ini. Apakah kita mengaku pintar dan berilmu tanpa harus
diuji kemampuannya?
PEMBAHASAN
1.
Ujian Nasional dan Mutu Pendidikan
Berbagai
keberatan yang dilontarkan oleh stakeholders terhadap penyelenggaraan UN
bukan tanpa alasan. Kepeduliannya terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan
menjadi perhatiannya yang serius. Berdasarkan kajian teoritik dan fakta empirik
tampak jelas bahwa UN berdampak negarif terhadap kualitas proses dan hasil
pendidikan. Apabila kondisi ini terus berlanjut dikhawatirkan kualitas
pendidikan kita akan semakin merosot dan tujuan pendidikan nasional kita akan
sulit untuk diwujudkan, dan pada akhirnya kondisi masyarakat dan bangsa ini
tidak akan pernah berubah, terus berada dalam keterpurukan.
Berbagai
dampak negatif yang nyata terjadi di sekolah sebagai akibat diterapkannya UN di
sekolah, diantaranya:
1.
Terjadinya disorientasi pendidikan di sekolah
Mata
pelajaran yang di-UN-kan tidak seluruh mata pelajaran, baik yang di tingkat SMP dan SMA sederajat. Pembatasan mata pelajaran yang
diujikan dalam UN, berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah hanya
ditekankan pada penguasaan mata pelajaran tersebut, sedangkan mata pelajaran
lain dianggap hanya sebagai pelengkap.
Dengan adanya UN, maka pembelajaran
cenderung hanya mengembangkan ranah kognitif, pada penguasaan pengetahuan, dan
mengesampingkan ranah lain yang sebenarnya tidak kalah pentingnya untuk
menghasilkan individu-individu yang utuh dan berkarakter, yaitu ranah afektif
dan psikomotorik.
2.
Proses pembelajaran yang tidak bermakna
Untuk
mempersiapkan para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru
biasanya menggunakan metode pembelajaran drill (pengayaan), dimana para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah
soal yang diduga akan keluar dalam ujian. Pembelajaran seperti ini tidak dapat
mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi
indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran.
3.
Upaya-upaya yang tidak fair
Tuntutan
kelulusan yang tinggi, baik terhadap persentase/jumlah siswa yang dinyatakan
lulus, maupun besarnya nilai yang diperoleh para siswa, mendorong sekolah untuk
melakukan berbagai upaya untuk mencapainya, misalnya, sekolah membentuk tim sukses. Tuntutan seperti ini
sekaligus berdampak pada terbentuknya citra dan prestise sebuah sekolah.
Sekolah membentuk “Tim Sukses” untuk
mendapatkan kelulusan 100% supaya memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan
(SPM Kepmendiknas 053/U/2001) (Salamudin, 2005); Pada tingkat
penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk
menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan
membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa.(AdeIrawan,KontroversiUjianNasional.http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=3764). Kondisi seperti ini jelas jauh
dari nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan yang seharusnya menjadi bagian yang
harus dikembangkan secara serius di sekolah.
4.
Hanya ranah kognitif yang terukur
UN yang
menggunakan bentuk soal multiple choise hanya akan dapat mengukur hasil
belajar pada ranah kognitif. Mengacu pada ranah kognitif dari Bloom, tingkatan
berpikir yang mampu terukur melalui bentuk soal MC hanya sampai pada tingkat
berpikir aplikasi. Kondisi seperti ini mendorong para siswa belajar dengan
menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan psikomotorik yang merupakan bagian
dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur ketercapaiannya, tidak dilakukan.
5.
Keputusan yang tidak fair
Selama ini
hasil UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Proses belajar yang
dilakukan siswa selama 3 tahun di SLTP dan SLTA, nasibnya ditentukan oleh hasil
ujian yang dilakukan beberapa jam saja. Ketidaklulusan siswa dalam UN bisa jadi
bukan karena faktor ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena
faktor kelelahan mental (mental fatique), karena stres pada saat
mengerjakan ujian atau karena kesalahan pengukuran yang biasa terjadi pada
setiap tes (false negative).
Kendati permasalahan ini ditepis oleh
Mendiknas dalam sejumlah kesempatan. Menurutnya, kelulusan siswa ditentukan
oleh beberapa aspek sesuai PP No. 19 tahun 2005 tentan Standar Pendidikan
Nasional. Disebutkan, kelulusan siswa setelah mereka mengikuti kegiatan belajar
di sekolah selama tiga tahun, lulus nilai mata pelajaran pendidikan nilai,
lulus ujian sekolah dan lulus ujian nasional.
6.
Menutup akses pendidikan berkualitas bagi
masyarakat miskin
Di samping
sebagai persyaratan untuk kelulusan, hasil UN juga dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sekolah-sekolah yang
berkualitas dan ‘favorit’ akan menjadi tujuan para siswa, yang berakibat pada
terjadinya persaingan yang ketat antarsiswa. Tidak ada pilihan lain bagi
mereka, selain berusaha mendapatkan nilai UN yang setinggi-tingginya. Untuk
mewujudkan impian itu, dengan mempertimbangkan karakteristik model UN yang akan
dihadapi para siswa berusaha menambah waktu belajar tambahan dengan mencari
guru privat atau mengikuti bimbingan belajar adalah pilihan yang selama ini
dianggap tepat.
2.
Kedudukan dan Peran Evaluasi dalam Pembelajaran
Mencermati
berbagai dampak negatif yang muncul sebagai akibat dilaksanakannya UN, perlu
dilakukan kajian secara komprehensif, baik menyangkut aspek akademis/pedagogis,
yurudis formal, maupun kajian empirik, untuk melihat bagaimana seharusnya kita
menempatkan ujian sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan dalam proses
pembelajaran di sekolah. Hal ini penting agar peran dan fungsi ujian berjalan
dengan baik sesuai dengan tujuan diselenggarakannya evaluasi dalam suatu proses
pembelajaran.
Salah satu
fungsi evaluasi yang utama adalah evaluasi dilaksanakan untuk mengukur
ketercapaian tujuan pendidikan. Hal in terlihat jelas dalam model evaluasi yang
dikemukakan oleh Tyler (Lewy, 1997)
Educational
Objectives
|
Learning
Experiences
|
Examination
of Achivement
|
Model
tersebut memperlihatkan hubungan antara tujuan pendidikan, pengalaman
belajaran, dan evaluasi hasil belajar yang saling berkaitan. Di samping untuk
mengukur ketercapaian tujuan pendidikan, dari model tersebut juga dapat
ditafsirkan, bahwa evaluasi hasil belajar berkaitan dengan pengalaman belajar
aktual siswa.
Bila model
di atas diterapkan dalam melaksanakan evaluasi tingkat nasional maka ujian
nasional seharusnya dilakukan untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan
nasional. Bila kita lihat tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU
No. 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Melihat rumusan tujuan ini, jelas bahwa pendidikan kita
hendak menghasilkan orang-orang yang utuh, yang bukan hanya menguasai
pengetahuan (berilmu) tetapi yang paling penting adalah menghasilkan
manusia-manusia yang memiliki karakter luhur sebagai manusia yang beradab.
Untuk
mengukur hasil pendidikan sebagaimana digambarkan di atas, maka diperlukan
instrumen evaluasi yang variatif dan komprehensif; tidak cukup hanya dengan
menggunakan instrumen evaluasi dalam bentuk tes tetapi juga diperlukan dalam
bentuk non-tes. Karena evaluasi dalam bentuk tes hanya dapat mengukur
penguasaan pengetahuan yang masuk dalam ranah kognitif. Apalagi bentuk tes yang
digunakan hanya dalam bentuk tes pilihan ganda (multiple choise).
Sementara untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan pencapaian tujuan pada
ranah psikomotorik dan afektif diperlukan alat evaluasi dalam bentuk non tes.
Dan ini tidak (mungkin) dilakukan dengan UN, karena untuk melakukan itu harus
dilakukan secara berkelanjutan.
Pembatasan
aspek yang dievaluasi melalui UN, yang hanya mengukur prestasi akademik yang
nota bene hanya mengukur penguasaan pengetahuan, berakibat pada proses
pembelajaran yang terjadi di sekolah pun menjadi berfokus pada pengembangan
ranah kognitif. Aspek-aspek afektif, seperti berakhlak mulia, kreatif, mandiri,
demokratis dan bertanggung jawab menjadi terabaikan. Telah terjadi disorientasi
proses pendidikan.
Berbagai
pendekatan dan strategi pembelajaran telah dikenalkan, diujicobakan dan juga
dilatihkan pada para guru, seperti pendekatan CBSA, Keterampilan Proses, sampai
pada PAKEM. Dengan pendekatan dan strategi pembelajaran yang inovatif
diharapkan akan terjadi proses pembelajaran yang menyenangkan, menstimulasi
pengembangan potensi diri siswa, jauh dari tekanan dan stres, dan mendorong
siswa belajar menemukan, sebagaimana dikatakan Whitehead, the child should
experience the joy of discovery. (Whitehead, 1942).
Model
pembelajaran seperti inilah sebenarnya yang diharapakan terjadi sehingga
pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah sesuai dengan prinsip penyelenggaraan
pendidikan sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1)
yaitu pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif; pasal 4 ayat (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat;
serta pasal 4 ayat (4) yang menyatakan Pendidikan diselenggarakan dengan
memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta
didik dalam proses pembelajaran.
Namun
sayang, berbagai upaya tersebut kembali kandas pada saat akan dilaksanakan di
kelas. Karena terbentur
dengan tuntutan dan ukuran keberhasilan belajar yang menggunakan nilai UN sehingga
guru lebih suka menggunakan pendekatan drilling.
Demikian
juga dengan siswa, mereka akan belajar sesuai dengan apa yang akan diujikan
dalam ujian. Bila soal-soal dalam ujian menuntut mereka untuk hafal banyak hal,
maka proses belajar yang dilakukannya adalah dengan cara menghafal. Hal ini
sebenarnya telah diingatkan oleh Soedijarto berdasarkan hasil penelitiannya
dalam rangka penyusunan disertasi Doktornya, pada tahun 1981. Penelitiannya
menemukan bahwa sistem evaluasi (dalam arti frekuensi dan bentuk tes) merupakan
variabel yang paling berpengaruh terhadap kualitas proses belajar, (Soedijarto,
1993) yang pada gilirannya tentunya yang pada gilirannya akan berpengaruh juga
terhadap mutu hasil belajar.
Apabila dikaji dari sudut pandang yuridis formal
penyelenggaraan UN, terdapat sejumlah catatan yang perlu mendapat perhatian
serius. UU No. 20 Tahun 2003 pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar
peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan
perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sementara pasal
59 ayat 1 menyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi
terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Kedua pasal
ini telah membagi tugas yang jelas antara pendidik dan pemerintah dalam
penyelenggaraan evaluasi pendidikan di sekolah. Pendidik bertugas mengevaluasi
proses dan hasil belajar, sedangkan pemerintah bertugas mengevaluasi
pengelolanya, baik pada satuan jalur, jenjang maupun jenis pendidikannya.
PENUTUP
Dilihat
dari aspek akademis-pedagogis, yuridis formal, maupun pengalaman empiris, Ujian
Negara (UN) selayaknya untuk segera ditinggalkan. UN telah membawa dampak
negatif yang sangat luas terhadap penyelenggaran pembelajaran di sekolah.
Proses belajar yang dialami para siswa menjadi sangat parsial, hanya
mengembangkan aspek kognitif, sementara ranah afektif dan psikomotorik
terabaikan. Suasana belajarnya menjadi sangat menegangkan membuat siswa cemas
berlebihan, belajar dalam kondisi ‘terpaksa’, dan tidak menyenangkan. Suasana
belajar yang memberi peluang kepada siswa untuk bereksplorasi dan menemukan
sesuatu, dan memecahkan berbagai permasalahan sulit terjadi. Berbagai inovasi
tentang pendekatan dan strategi pembelajaran yang sangat baik juga sulit
diimplementasikan di dalam kelas.
Dengan
menyelenggarakan UN, menyebabkan pemerintah melanggar UU No. 20 tahun 2003
pasal 58 ayat 1 pasal 59 ayat 1. Pemerintah telah mengambil alih tugas pendidik
untuk melakukan evaluasi hasil belajar peserta didik, sementara tugasnya
sendiri untuk melakukan evaluasi terhadap pengelola tidak dilakukannya.
Dari pengalaman
UN yang telah dilakukan selama tiga tahun terakhir, berbagai kecurangan yang
dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai daerah, seharusnya menjadi perhatian
pemerintah untuk segera mempertimbangkan kembali kelanjutan penyelenggaraan UN.
DAFTAR
PUSTAKA
Ade Irawan, Kontroversi
Ujian Nasional. http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=
viewarticle&artid=3764
Kompas, 7 Juli 2007. Wapres
Ragukan Bunuh Diri Karena Ujian Nasional.
Kompas, 9 November 2007. Adaptasi
UN Tiga Tahun.
Kubiszyn, Tom, Gary Borich. Educational
Testing and Measurement, Classroom Application and Practice, Seventh Edition.
Singapore: John Wiley and Sons, Inc., 2003
Lewy, Arieh. Handbook of
Curriculum Evaluation. New York: Unesco, 1977
Republika, 8 Mei 2007. Kecurangan
UN Terjadi di Seluruh Daerah.
Salamuddin, UN Perlu
Kejujuran. Pendidikan Network, 22 Mei 2005
Soedijarto. Menuju
Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka, 1993
Tilaar, H.A.R. Standarisasi
Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kriti.s(Jakarta: Rineka Cipta, 2006
Whitehead, Alfred North. The
Aims of Education and Other Essays. New York: The New American Library
Wiersma, William, Stephen G.
Jurs. Educational Measurement and Testing. Boston: Allyn and Bacon, 1990.
****Makalah
disampaikan dalam mata kuliah Evaluasi Pendidikan, Prof. DR. H. M Idochi Anwar, M.Pd dan Prof. DR. H. Syueb Kurdie,
M.Pd dalam program Pascasarjana
Kosentrasi Psikologi Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2009.