Oleh :
Deny Rochman
Kinerja
institusi Kepolisian Republik Indonesia terus menjadi sorotan publik. Aparat penegak
hukum ini dinilai belum profesional menjalankan tugas, pokok dan fungsinya
kepada masyarakat. Sederetan kasus banyak bermunculan di berbagai daerah, yang
menurunkan citra polisi di mata masyarakat. Diperburuk lagi mencuatnya kasus
terduga teroris Siyono asal Klaten Jawa Tengah yang diduga tewas tak wajar
ditangan pasukan anti terror Densus 88.
Buruknya
kinerja kepolisian di mata masyarakat menciptakan krisis kepercayaan secara massif.
Sekalipun pada sisi lain masyarakat tidak punya pilihan lain dalam memenuhi
kebutuhan rasa aman dan nyaman. Masyarakat sadar insititusi ini memiliki
kewenangan tunggal dalam memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum,
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Pencitraan
minus masyarakat terhadap polisi menjadi pekerjaan rumah Pemerintah dan
petinggi Polri yang mendesak harus segera diselesaikan. Jika tidak imbasnya
tidak saja merusak organ internal jajaran kepolisian, menciptakan
ketidaknyamanan sosial bagi anggotanya yang hidup di tengah masyarakat. Ada sinisme
yang muncul ketika melihat kehidupan aparat yang dianggap lebih daripada warga
sekitarnya.
Pada
konteks yang lebih makro, krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak
hukum akan berbuntut terhadap stabilitas sosial. Masyarakat semakin antipati dengan
kepolisian. Mereka bersikap dan bertindak sendiri dalam menyelesaikan masalah
hukum di lingkungannya. Seperti terjadi kasus kecelakaan lalu lintas,
keributan, ancaman keamanan, seringkali mengesampingkan pihak kepolisian.
Akumulasi
sinisme tersebut jika tidak segera diatasi akan terus berubah menjadi kebencian
terhadap institusi penegak hukum kita. Terbukti beberapa kali kasus, aparat
menjadi korban kekerasan. Misalnya kasus geng motor, dimana personilnya sudah
mulai tega menganiaya anggota polisi. Atau kasus-kasus lainnya di tempat dan
daerah berbeda di Indonesia. Kondisi ini menciptakan kerawanan keamanan bagi
masyarakat dan negara.
ANOMI SOSIAL
Kegalauan
potret sosial tersebut bisa mengarah pada satu kondisi anomi sosial. Istilah
ini dipopulerkan oleh Emile Durkheim, sosiolog asal Perancis yang menggambarkan
kondisi sosial masyarakat disana yang tengah mengalami depresi. Kondisi anomi
sosial adalah sebagai suatu keadaan tanpa norma (the concept of Anomie
referred to on absence of social regulation normlessness). Dalam situasi
ini masyarakat tidak mentaati aturan-aturan yang ada karena mereka mengalami
krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum di dalam masyarakat.
Ketika
masyarakat mulai hidup jauh dari aturan, maka disana akan terjadi penyimpangan
sosial dan berpotensi melahirkan masyarakat anarkhis. Semua orang merasa benar
sendiri dengan sikap dan tindakan yang diyakininya. Mereka lebih mengedepankan
hak individual tanpa melihat kewajiban untuk menghormati hak orang lain.
Fenomena
berikutnya terjadi, muncul beragam perilaku manusia yang melakukan pembenaran
apa yang ia kerjakan. Bukan mengerjakan apa yang benar. Fatalnya kondisi anomi
sosial tersebut akan mengancam stabilitas sosial dan keamanan negara, bahkan
berpotensi pada kebangkrutan bangsa dan negara
Jika
anomi sosial terus terjadi deskripisi masyakarat yang dikhawatirkan oleh pakar pendidikan
karakter Amerika Serikat DR
Thomas Lickona akan terjadi di Indonesia. Ia menyebutkan ada 10 perilaku manusia
yang menunjukan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu (1) Meningkatnya kekerasan
di kalangan remaja; (2) Ketidak jujuran yang membudaya; (3) Semakin tingginya rasa tidak hormat kepada
orang tua, guru, dan figure pemimpin.
Tanda lainnya adalah (4) Pengaruh kuat
peer group (teman sebaya) terhadap tindakan kekerasan; (5) Meningkatnya
kecurigaan dan kebencian; (6) Penggunaan bahasa yang memburuk; (7) Penurunan
etos kerja; (8) Menurunnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara; (9) Meningginya
perilaku merusak diri; (10) Semakin kaburnya pedoman moral atau aturan.
PENGENDALIAN SOSIAL
Dalam
situasi kekacauan tersebut upaya pengendalian sosial pun kian rumit dilakukan. Sejumlah
pihak berwenang tengah mengalami problem tupoksinya masing-masing. Harus ada
upaya keras untuk mengembalikan keteraturan sosial dalam masyarakat. Caranya? Gerakan
amar ma’ruf nahi munkar sebagai kontrol sosial dan penyeimbang sistem harus
digalakan di tengah masyarakat sekarang yang kian individualistik.
Upaya
tersebut tidak terlalu sulit jika ada kemauan semua pihak. Karena pada hakekat kodratnya
manusia adalah mahluk sosial yang
bersifat koloni, cenderung hidup dalam masyarakat dan keberadaannya sangat
tergantung pada masyarakat. Jika manusia hidup lepas dari kelompok masyarakatnya
maka ia akan mengalami penderitaan dalam hidupnya dengan segala permasalahan
yang muncul, satu diantaranya seperti depresi dan stres.
Aparat kepolisian sebagai aparat
negara bisa kembali memposisikan diri sesuai tugas, pokok dan fungsinya sesuai
amanat undang-undang. Jika ada reaksi dari masyarakat atas aksi kepolisian
harus disikapi secara arif dan bijaksana. Dalam kasus Siyono misalnya, ketika
ada temuan otopsi dari pihak Muhammadiyah dan Komnas HAM pihak kepolisian tidak
perlu bersikap reaktif berlebihan. Jika memang ada kekeliruan dalam protap mestinya
menjadi koreksi internal Densus 88, sehingga tidak menimbulkan sinisme dan
kebencian masyarakat yang sudah mengalami krisis kepercayaan kepada institusi
kepolisian.
Sikap saling terbuka terhadap saran,
kritik dan pujian merupakan bentuk control, pengendalian dan keseimbangan
sosial. Dengan cara ini sesungguhnya kelangsungan hidup manusia di dunia
terjaga dalam keteraturan. Jika pola tersebut tidak berjalan maka sudah bisa
dipastikan jagat kehidupan akan selalu diwarnai kegaduhan dan kekacuan sosial.
(*)
*)
Penulis adalah Alumni Sosiologi Fisip Unsoed,
Kader Tapak Suci Kab. Cirebon.
Kader Tapak Suci Kab. Cirebon.