April 14, 2016

CITRA POLISI DAN ANOMI SOSIAL


Oleh :
Deny Rochman


Kinerja institusi Kepolisian Republik Indonesia terus menjadi sorotan publik. Aparat penegak hukum ini dinilai belum profesional menjalankan tugas, pokok dan fungsinya kepada masyarakat. Sederetan kasus banyak bermunculan di berbagai daerah, yang menurunkan citra polisi di mata masyarakat. Diperburuk lagi mencuatnya kasus terduga teroris Siyono asal Klaten Jawa Tengah yang diduga tewas tak wajar ditangan pasukan anti terror Densus 88.  
Buruknya kinerja kepolisian di mata masyarakat menciptakan krisis kepercayaan secara massif. Sekalipun pada sisi lain masyarakat tidak punya pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan rasa aman dan nyaman. Masyarakat sadar insititusi ini memiliki kewenangan tunggal dalam memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.  

Pencitraan minus masyarakat terhadap polisi menjadi pekerjaan rumah Pemerintah dan petinggi Polri yang mendesak harus segera diselesaikan. Jika tidak imbasnya tidak saja merusak organ internal jajaran kepolisian, menciptakan ketidaknyamanan sosial bagi anggotanya yang hidup di tengah masyarakat. Ada sinisme yang muncul ketika melihat kehidupan aparat yang dianggap lebih daripada warga sekitarnya.

Pada konteks yang lebih makro, krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum akan berbuntut terhadap stabilitas sosial. Masyarakat semakin antipati dengan kepolisian. Mereka bersikap dan bertindak sendiri dalam menyelesaikan masalah hukum di lingkungannya. Seperti terjadi kasus kecelakaan lalu lintas, keributan, ancaman keamanan, seringkali mengesampingkan pihak kepolisian.

Akumulasi sinisme tersebut jika tidak segera diatasi akan terus berubah menjadi kebencian terhadap institusi penegak hukum kita. Terbukti beberapa kali kasus, aparat menjadi korban kekerasan. Misalnya kasus geng motor, dimana personilnya sudah mulai tega menganiaya anggota polisi. Atau kasus-kasus lainnya di tempat dan daerah berbeda di Indonesia. Kondisi ini menciptakan kerawanan keamanan bagi masyarakat dan negara.

ANOMI SOSIAL
Kegalauan potret sosial tersebut bisa mengarah pada satu kondisi anomi sosial. Istilah ini dipopulerkan oleh Emile Durkheim, sosiolog asal Perancis yang menggambarkan kondisi sosial masyarakat disana yang tengah mengalami depresi. Kondisi anomi sosial adalah sebagai suatu keadaan tanpa norma (the concept of Anomie referred to on absence of social regulation normlessness). Dalam situasi ini masyarakat tidak mentaati aturan-aturan yang ada karena mereka mengalami krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum di dalam masyarakat.

Ketika masyarakat mulai hidup jauh dari aturan, maka disana akan terjadi penyimpangan sosial dan berpotensi melahirkan masyarakat anarkhis. Semua orang merasa benar sendiri dengan sikap dan tindakan yang diyakininya. Mereka lebih mengedepankan hak individual tanpa melihat kewajiban untuk menghormati hak orang lain.

Fenomena berikutnya terjadi, muncul beragam perilaku manusia yang melakukan pembenaran apa yang ia kerjakan. Bukan mengerjakan apa yang benar. Fatalnya kondisi anomi sosial tersebut akan mengancam stabilitas sosial dan keamanan negara, bahkan berpotensi pada kebangkrutan bangsa dan negara

Jika anomi sosial terus terjadi deskripisi masyakarat yang dikhawatirkan oleh pakar pendidikan karakter Amerika Serikat DR Thomas Lickona akan terjadi di Indonesia. Ia menyebutkan ada 10 perilaku manusia yang menunjukan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu (1) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; (2) Ketidak jujuran yang membudaya;  (3) Semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru, dan figure pemimpin.

Tanda lainnya adalah (4) Pengaruh kuat peer group (teman sebaya) terhadap tindakan kekerasan; (5) Meningkatnya kecurigaan dan kebencian; (6) Penggunaan bahasa yang memburuk; (7) Penurunan etos kerja; (8) Menurunnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara; (9) Meningginya perilaku merusak diri; (10) Semakin kaburnya pedoman moral atau aturan.

PENGENDALIAN SOSIAL
Dalam situasi kekacauan tersebut upaya pengendalian sosial pun kian rumit dilakukan. Sejumlah pihak berwenang tengah mengalami problem tupoksinya masing-masing. Harus ada upaya keras untuk mengembalikan keteraturan sosial dalam masyarakat. Caranya? Gerakan amar ma’ruf nahi munkar sebagai kontrol sosial dan penyeimbang sistem harus digalakan di tengah masyarakat sekarang yang kian individualistik.

Upaya tersebut tidak terlalu sulit jika ada kemauan semua pihak. Karena pada hakekat kodratnya manusia adalah mahluk sosial yang bersifat koloni, cenderung hidup dalam masyarakat dan keberadaannya sangat tergantung pada masyarakat. Jika manusia hidup lepas dari kelompok masyarakatnya maka ia akan mengalami penderitaan dalam hidupnya dengan segala permasalahan yang muncul, satu diantaranya seperti depresi dan stres.

Aparat kepolisian sebagai aparat negara bisa kembali memposisikan diri sesuai tugas, pokok dan fungsinya sesuai amanat undang-undang. Jika ada reaksi dari masyarakat atas aksi kepolisian harus disikapi secara arif dan bijaksana. Dalam kasus Siyono misalnya, ketika ada temuan otopsi dari pihak Muhammadiyah dan Komnas HAM pihak kepolisian tidak perlu bersikap reaktif berlebihan. Jika memang ada kekeliruan dalam protap mestinya menjadi koreksi internal Densus 88, sehingga tidak menimbulkan sinisme dan kebencian masyarakat yang sudah mengalami krisis kepercayaan kepada institusi kepolisian.

Sikap saling terbuka terhadap saran, kritik dan pujian merupakan bentuk control, pengendalian dan keseimbangan sosial. Dengan cara ini sesungguhnya kelangsungan hidup manusia di dunia terjaga dalam keteraturan. Jika pola tersebut tidak berjalan maka sudah bisa dipastikan jagat kehidupan akan selalu diwarnai kegaduhan dan kekacuan sosial. (*)

*) Penulis adalah Alumni Sosiologi Fisip Unsoed, 
Kader Tapak Suci Kab. Cirebon.