Seorang guru pernah ditanya, enak di sekolah mana jika ingin mengajar? Guru tersebut menjawab, jika boleh ia lebih senang mengajar di taman kanak-kanak daripada mengajar anak-anak usia remaja dan dewasa. Alasannya, mengajar anak-anak TK lebih senang dengan dunia bermain. Bercanda, bermain, mencubit, memeluk bahkan menciumnya tidak akan menimbulkan persoalan, hal berbeda jika mengajar siswa remaja atau dewasa setingkat SMP atau SMA.
Potret pendidikan tingkat TK tersebut banyak dijumpai di tanah air. Tentu saja pengakuan guru di atas bukan bermotif jahat terhadap anak didiknya. Tetapi sebuah suasana keakraban siswa dan guru seperti hubungan seorang anak dan orangtua. Guru dianggap orangtua kedua setelah keluarga di rumah. Secara historis sekolah merupakan lembaga penitipan anak dalam memberikan pendidikan dan pengajaran anak ditengah keterbatasan orangtua dalam hal waktu, tenaga dan keilmuan.
Namun kini guru tersebut pasti kini tidak lagi terobsesi untuk menjadi guru TK/PAUD. Sejak sekolah menjadi banyak sorotan publik secara luas terhadap kasus pelecehan seksual dan kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Kasus JIS (Jakarta International School) berdampak sistemik terhadap sekolah-sekolah di tanah air. Sekalipun kasus pelecehan seksual di sekolah bule tersebut bukan hal yang baru terjadi di dunia pendidikan di tanah air.
JIS effect menjadi sorotan publik karena sekolah ini berbiaya mahal (high cost). Kurikulum yang digunakan berstandar internasional, termasuk sistem budaya yang diterapkan di sekolah tersebut beradaptasi dengan budaya Eropa. Sungguh ironis, jika sekolah unggulan berlabel internasional tersebut terjadi praktek asusila, tidak hanya dilakukan office boy tetapi diduga oleh oknum gurunya. Paling tidak rekam jejak mantan guru JIS, William James Vahey yang masuk daftar buronan FBI karena kasus pedofilia.
TEROR GURU
Kasus JIS berdampak sistemik bagi sekolah-sekolah lain di tanah air. Berbagai kasus pelecehan seksual dan sejenisnya satu persatu mencuat dipermukaan, baik kasus lama maupun kasus yang baru terjadi. Dampak yang sangat dirasakan adalah oleh guru-guru, khususnya sekolah-sekolah anak usia dini seperti TK dan PAUD. Orangtua makin khawatir dengan keselamatan dan keamanan anaknya bersekolah.
Tingkat kepercayaan orangtua terhadap guru mulai menurun. Mereka memperketat pengawasan terhadap anaknya. Mulai mengamati pola tingkah anaknya di rumah barangkali ada keanehan, memberikan pengawasan ketat selama bernagkat dan pergi sekolah, hingga mencurigai guru-guru yang dekat dengan anak-anak selama di sekolah. Bahkan ada seorang ibu yang memilih keluar dari pekerjaan untuk fokus mendidik anaknya karena khawatir dengan pendidikan di sekolah.
Pada sisi lain, kepercaayaan diri guru mengalami kegoncangan. Perlahan guru sangat hati-hati menghadapi siswa. Tingkat intensitas hubungan sosial dengan siswa mulai diperjarang. Keakraban dalam mendidik menjadi renggang. Memudarnya saapaan sayang guru kepada siswa, apalagi sampai menyentuh penuh akrab. Suasana sekolah seperti suasana pendidikan di dalam kampus. Guru datang mengajar kemudian pergi, tanpa ada pendidikan dan pembinaan terhadap para siswa dengan nasehat-nasehat berkarakter.
Posisi guru yang dilematis menjadi maklum, buah dari dampak pemberitaan media yang masif terhadap kasus pelecehan seksual dan kekerasan di sekolah. Guru merupakan peran utama dalam dunia pendidikan. Apalagi pendidikan diposisikan sebagai lembaga sakral membawa misi perubahan progesif menuju masyarakat yang berperadaban mulia. Guru diharapkan tak boleh punya cela atau kesalahan dalam mendidik karena ia bersentuhan banyak generasi penerus bangsa. Artinya maju mundur sebuah bangsa berawal dari dunia pendidikan.
KRISIS MORAL
Banyaknya berbagai kasus di sekolah, menunjukkan ada yang tidak beres dalam sistem pendidikan nasional. Dunia pendidikan nasional dianggap gagal melahirkan generasi penerus bangsa yang cerdas, kreatif dan berakhlak mulia. Seperti tujuan akhir pendidikan nasional yang tersurat Undang-undang No. 20 Tahun 2003. Kasus JIS dan sekolah-sekolah bermasalah tersebut mestinya menjadi momentum reformasi dunia pendidikan nasional.
Sorotan yang tajam dalam kasus ini mengarah kepada kegagalan dalam pendidikan budi pekerti anak. Selama ini pendidikan anak hanya berorientasi kepada kecerdasan intelektual (kognitif), tetapi menafikan kecerdasan emosional dan spiritual. Keseimbangan kecerdasan itu hanya bagus di atas kertas tetapi lemah dalam sisi implementasi. Aspek moralitas kerap dikesampingkan oleh insan pendidikan, khususnya para pemegang kebijakan (decision maker) pendidikan di negeri ini.
Banyak pakar pendidikan berpendapat bahwa hakekat pendidikan adalah pendidikan akhlak terhadap anak didik. Filosof Aristoteles berpendapat, mendidik pikiran tanpa mendidik hati, sama sekali tidak ada pendidikan. Menurut Theodore Roosevelt hal itu menjadi ancaman marabaya dalam masyarakat. Bahkan pakar pendidikan Cortland University Thomas Lickona menegaskan, krisis moral merupakan indikator kehancuran sebuah bangsa.
Mestinya penerapan pendidikan moral terintegrasi dengan manajemen dan budaya sekolah, termasuk di dalam keluarga. Tidak terparsial pada mata pelajaran tertentu dan berjalan formalistas simbolis. Sehingga pendidikan moral menjadi tanggung jawab bersama seluruh guru, kepala sekolah, orangtua dan pemerintah. Internalisasi nilai moral tak hanya urusan guru agama, PPKn, atau guru budi pekerti. Pendidikan moral bukan hanya konsumsi siswa, tetapi semua pihak yang terlibat dalam pendidikan anak.
Pemerintah harus segera menyelamatkan dunia pendidikan negeri ini. Menyelelamatkan pendidikan, sama halnya menyelematkan bangsa ini dari kehancuran sebuah bangsa. Upaya pembenahan bisa dilakukan melalui penataan guru-guru. Peningkatan profesionalisme guru tidak dinilai dari aspek pedagogik, sosial dan profesional semata, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah melihat kompetensi kepribadian. Dalam realitasnya aspek yang terakhir ini sering diabaikan dalam sistem penilaian kinerja guru.
Kepribadian guru sangat penting menjadi perhatian jika pemerintah ingin melahirkan generasi muda bangsa yang berbudi luhur. Siswa yang pintar karena dididik oleh guru yang cerdas. Siswa yang berakhlak mulia karena dididik oleh guru yang berkarakter karimah. Artinya, perlu dibuat pola mekanisme dan sistem rekruitmen dan pembinaan guru yang berbasis aspek kepribadian.
Pada sisi kebijakan, pemerintah harus mengontrol berbagai tayangan televisi, media massa dan media online akan berbanding lurus dengan kebijakan pendidikan nasional. Karena kini media sosial menjadi elemen penting bagi pendidikan anak, seiring memudarnya pola pendidikan orangtua terhadap anak karena berbagai kesibukan. Jangan sampai pemerintah yang membuat aturan, tetapi pemerintah juga yang merusak aturan tersebut. Seperti syair lagu: “Kau yang mulai dan kau yang mengakhiri.” (*)
*) Penulis adalah Guru SMP Negeri 4 Kota Cirebon.
Sekretaris Majelis Dikdasmen PDM Kab. Cirebon.