Oleh :
Deny Rochman, S.Sos.,M.Pd.I[2]
A. PENDAHULUAN
Salah satu problem krusial pendidikan nasional adalah krisis pendidikan
budi pekerti. Persoalan ini begitu terasa dampaknya ditengah masyarakat bangsa
ini yang sebelumnya dikenal santun kini berubah menjadi anarkhis, akrab dengan
kekerasan dan kebencian. Potret sosial bangsa ini perlahan tapi pasti dirasakan
pula di lingkungan pendidikan seperti sekolah. Menyontek menjadi kebiasaan
buruk yang sulit hilang. Siswa mulai tidak hormat kepada guru. Kekerasan antar-pelajar
semakin meningkat. Bahkan praktek korupsi merembes hingga ke sekolah-sekolah.
Tentu semua pihak perihatin dengan wajah sekolah masa kini. Sebuah institusi
yang diharapkan sebagai pewaris dan mempertahankan nilai-nilai dan norma mulia
bangsa kepada generasi penerus. Sekolah ibarat barometer sosial masyarakat. Jika
moral sekolah sudah mulai rusak, bagaimana dengan moral masyarakat yang sulit
dikendalikan secara sistematis dan terorganisir. Jika kondisi amoral ini terus
berlanjut maka akan mengancam eksistensi negara Indonesia sebagai sebuah
bangsa.
Pemerintah sadar betul pentingnya pendidikan budi pekerti
diajarkan bagi anak didik di sekolah. Lihat saja tujuan pendidikan nasional
yang tertuang di dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003. Disebutkan dalam pasal
3 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Sayangnya arah kebijakan pendidikan nasional tersebut dalam
implementasinya seperti jauh panggang dari api. Kebijakan pendidikan karakter
yang dielu-elukan oleh petinggi negara dan pejabat pendidikan sebagai solusi
ancaman kerusakan moral belum memberikan angin segar perubahan positif. Malahan
dalam proses belajar mengajar nilai-nilai budi pekerti tanpa sadar mulai
diabaikan dalam mempengaruhi kebijakan kenaikan kelas siswa. Apakah siswa
cerdas akademik tetap naik sekalipun anak tersebut berbudi buruk?
Belum lagi persoalan konflik nilai dan moral dalam kasus kebocoran
dan praktek curang pelaksanaan ujian nasional. Secara tidak langsung memberikan
pemahaman kepada anak didik terhadap upaya menghalalkan segala cara untuk
meluluskan. Sekalipun ini bersifat kasuistik namun potret buram pendidikan ini dijumpai
faktanya di lapangan.
B. URGENSI BUDI PEKERTI
Pendidikan budi pekerti merupakan ruh dari proses pendidikan. Tanpa pendidikan
moral ini peserta didik tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang kering
spirit hidup: dari mana, untuk apa dan mau kemana hidup ini. Orientasi mereka
belajar adalah untuk bekerja, mencari harta. Sisi kemanusiaan dan moral kerap
diabaikan dalam kegiatan sehari-hari sehingga kerap menimbulkan gesekan konflik
dengan sesama. Padahal kecerdasan interpersonal dan intrapersonal ikut
mendukung dalam kesuksesan hidup seseorang.
Thomas Lickona, seorang professor Corland University Amerika Serikat
menyebutkan 10 tanda jaman ancaman kebangkrutan sebuah bangsa. Sepuluh tanda-tanda
tersebut adalah (1) meningkatnya kekerasan remaja; (2) penggunaan kata-kata
yang buruk; (3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindakan kekerasan; (4) meningkatnya
perilaku merusak diri; (5) kaburnya pedoman moral (anomali); (6) rendahnya rasa
hormat kepada orangtua dan guru; (7) menurunnya etos kerja; (8) rendahnya
tanggung jawab individu dan warga negara; (9) membudayanya ketidakjujuran; (10)
adanya saling curiga dan kebencian.
Pendapat guru besar tersebut sungguh membuat miris banyak orang tentang
nasib masa depan bangsa Indonesia yang diambang keterpurukan moral. Betapa dahsyatnya
kekuatan moral dalam kehidupan ini hingga Alloh Swt menegaskan bahwa manusia
yang terbaik diantara banyak manusia adalah yang paling bertakwa, yang paling
baik akhlaknya (Al Hujurat 13). Maka itu Rosul pun diutus kepada manusia satu
diantara misinya adalah memperbaiki moral manusia.
Pentingnya budi pekerti kemudian menjadi perhatian banyak tokoh dan
ilmuwan. Tokoh spiritual pergerakan India Mahatma Gandhi mengatakan, kelahiran dan menjalankan ritual fisik tidak dapat
menentukan derajat baik atau buruk seseorang. Kualitas karakterlah satu-satunya faktor penentu
derajat seseorang. Tokoh lainnya
yaitu Theodore Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-26 menegaskan, mendidik
seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman marabahaya
kepada masyarakat.
Kemuliaan akhlak
menjadi kata kunci kesempurnaan manusia (insan kamil). Tanpa akhlak manusia berperilaku
tak ubahnya seperti hewan bahkan lebih sesat. Dalam QS Al A’raf 7 : 179, Allah
menjelaskan : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.
Tanpa akhlak manusia
bagaikan robot bisa bergerak tapi tak punya akal dan hati. Manusia dalam penciptaannya
merupakan makhluk yang terdiri dari dua dimensi: jasmani dan ruhani. Jasmani yang
tersusun dari tanah liat jika tanpa ruh bagaikan benda mati seperti pahatan
patung. Manusia kemudian bisa beraktifitas karena Tuhan memberikan ruh kepada
tubuh manusia. Ruh inilah yang kekal abadi hingga kelak dimintai pertanggung
jawaban dihadapan Tuhan Semesta Alam.
Jasmani sesuai
sifatnya dari tanah maka manusia cenderung suka kepada materi, hal berbeda
dengan ruhani yang lebih cenderung kepada immateri dan berpihak kepada
kebenaran dan akherat. Maka menjadi manusia sehat, keduanya harus mampu
dikendalikan oleh akal dan hati dibawah naungan cahaya robbi. Jika nafsu tidak
bisa dikendalikan oleh akal dan pikiran maka manusia itu akan sakit. Sebaliknya
jika akal dan hati bisa mengendalikan nafsu maka manusia akan sehat. Itu karena
tubuh yang sehat berawal dari jiwa yang kuat.
Akhlak, budi pekerti
atau moral merupakan wilayah kerja ranah ruhani. Asupan gizi ruhani akan
membuat budi pekerti seseorang semakin baik. Asupan dimaksud adalah kegiatan
keruhanian antara lain menjalankan ibadah sesuai keyakinan kebenaran agamanya
masing-masing. Mengapa harus agama? Agama sejak awal dilahirkan sebagai pedoman
hidup manusia untuk kesuksesan hidup dunia dan akherat.
C. PEWARISAN KURIKULUM
Upaya memperbaikan kualitas moral bangsa ini terus dilakukan oleh
pemerintah. Pendidikan menjadi target utama media internalisasi nilai-nilai
budi pekerti bangsa Indonesia. Melalui kurikulum nasional diterapkan berbagai
pola pendidikan budi pekerti, mulai berdiri sendiri, terintegrasi hingga
pembiasaan dalam kultur siswa di sekolah. Dengan materi pelajaran khusus pada Pendidikan
Budi Pekerti atau dengan pelajaran lain yang linier seperti agama dan
pendidikanmoral pancasila pada masa lalu.
Pada kurikulum baru mulai tahun 2013, Pemerintah melalui Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) punya kebijakan baru tentang kurikulum
budi pekerti. Pelajaran agama menjadi sandaran dalam menyampaikan nilai-nilai
budi pekerti di kelas. Ada beberapa bab dalam buku agama yang secara khusus
membahas budi pekerti. Satu kondisi yang pernah terjadi pada kurikulum 1975. Padahal
pada kurikulum KBK atau KTSP, pendidikan budi pekerti atau karakter secara
nasional hanya disampaikan secara terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran.
Disatu sisi kebijakan Pemerintah dinilai sebuah kemunduran, tetapi dilain
pihak sebuah evaluasi yang progresif terhadap kurikulum Pendidikan Budi
Pekerti. Jika melihat penjelasan di atas bahwa pembinaan akhlak terkait erat
dengan pendidikan agama, maka kebijakan pemerintah menyatukan materi budi
pekerti dengan agama merupakan keputusan yang tepat. Hanya problemnya jangan
sampai terjadi “kemandulan” budi pekerti pada era 1970-an yang berujung pada
penarikan kurikulum budi pekerti.
Kelahiran budi pekerti dengan wajah baru di tahun 2013 akan berdampak
sistemik terhadap kelangsungan hidup kurikulum muatan lokal Pendidikan Budi
Pekerti versi Kota Cirebon. Pola pembelajaran budi pekerti di kota wali ini
berbeda dengan pola kebijakan pendidikan nasional. Model pembelajarannya
disampaikan secara mandiri di kelas (KBM), dengan materi terpisah seperti
umumnya pada pelajaran kurikulum nasional. Pendekatan pembelajarannya pun
dengan metode game edukatif. Sebuah metode permainan yang mengantarkan pemahaman
siswa terhadap nilai-nilai budi pekerti.
Perbedaan lain terletak pada isi kurikulum budi pekerti Kota Cirebon. Materi
dari kelas tujuh hingga sembilan itu sebagian tersusun dengan tema-tema umum
yang sedang berkembang di masyarakat. Seperti masalah flu burung, HIV AIDS,
demokrasi dan sebagainya. Belakangan ini konsep budi pekerti seperti ini akan
direvisi oleh tim MGMP Budi Pekerti Kota Cirebon, digantikan dengan konsep yang
lebih relevan dengan nilai-nilai budi pekerti berbasis agama. Sayang, kelahiran
kurikulum 2013 memaksa pendidikan budi pekerti kota Cirebon harus layu sebelum
berkembang.
Penerapan kurikulum budi pekerti 2013 di Kota Cirebon seyogyanya tidak
kemudian membuang habis warisan kurikulum budi pekerti muatan lokal kota ini. Ada
beberapa hal yang bisa dilanjutkan untuk diaplikasikan dalam pembelajaran di
kelas. Pertama, pendekatan game
edukatif masih relevan diterapkan karena akan membuat makna nilai budi pekerti
terasa ringan dipahami oleh siswa. Kedua, teknik penilaian gabungan atas
evaluasi keberhasilan budi pekerti siswa masih diperlukan. Penilaian gabungan
maksudnya, nilai budi pekerti selain disampaikan dalam KBM, juga disampaikan
dalam pelajaran lain, dalam kegiatan siswa lainnya seperti ekskul. Termasuk pembiasaan
sehari-hari anak didik di sekolah seperti piket kebersihan, ibadah dan
sebagainya.
Pendekatan terintegrasi tersebut boleh disebut manajemen sekolah berbasis
budi pekerti. Artinya berbagai program dan kegiatan sekolah harus bermuara
kepada implementasi nilai-nilai budi pekerti. Jika budi pekerti melulu menjadi
tanggung jawab pendidikan agama, maka tak ubahnya budi pekerti masa lalu yang
hanya berujung pada kegagalan kurikulum. Semoga!
Cirebon, 10 September 2013
[1] Disampaikan dalam
Pelantihan Budi Pekerti untuk guru SMP se-Kota Cirebon di Hotel Intan, 11-12
September 2013
[2] Pemateri adalah Sekretaris
MGMP Budi Pekerti SMP Kota Cirebon. Guru SMP Negeri 4 Kota Cirebon. Magister
Psikologi Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon.