Agustus 26, 2013

SERTIFIKASI DAN KEGALAUAN MASIF

Oleh :
Deny Rochman, S.Sos.,MPd

Beberapa hari ini pemberitaan surat kabar lokal banyak menyoroti sektor pendidikan. Di kota Cirebon, misalnya, ada yang menarik dicermati khususnya yang menyangkut keluhan pejabat Dinas Pendidikan setempat terkait sertifikasi guru. Pada awalnya, dalam pemberitaan Radar Cirebon (4 Mei 2012), mengungkap masalah sarana pendidikan di sekolah-sekolah yang tak kunjung be
res, dikaitkan minimnya anggaran sarana karena tersedot untuk dana sertifikasi guru.

Pernyataan pejabat Disdik tersebut menjadi sebuah ironi sehingga mengundang reaksi dari sejumlah pihak. Ironi karena pernyataan itu datang dari pejabat Disdik, yang mestinya mengamankan program pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan negeri ini. Pernyataan itu dianggap tidak mendasar karena sumber dana sertifikasi berbeda dengan pembangunan sarana pendidikan, seperti dibantah oleh Anggota DPRD dan Ketua PGRI pada surat kabar yang sama keesokan harinya.


Pernyataan kontroversi pejabat Disdik itu secara tidak langsung membenarkan sisi lain ekses program sertifikasi guru bagi kesejahteraan birokrasi negeri ini. Program peningkatan profesionalisme guru dinilai telah melahirkan gap baru pegawai negeri sipil. Guru negeri yang sama-sama PNS memiliki gaji dua kali lebih baik daripada mereka yang bekerja di struktural. Padahal selama ini kinerja guru dianggap tidak lebih baik dari pegawai di luar pengajar.

Boleh jadi ada yang tidak sependapat dengan analisis tulisan ini. Namun fakta di lapangan aroma kesenjangan dampak sertifikasi guru itu cukup terasa. Mulai pernyataan sinis, pelayanan administratif yang kurang bersahabat hingga penindakan disiplin pegawai lebih pada kepada guru-guru khususnya sekolah negeri. Barangkali sikap minor tersebut bisa dimaklumi. Bagaimana tidak, kita mengurus sertifikasi guru untuk dapat tunjangan, sementara pihak yang mengurus tidak peroleh tunjangan sejenisnya.

MASALAH KESRA
Sejak awal program sertifikasi guru digulirkan memang membawa konsekuensi logis terhadap kesejahteraan guru. Tentu kebijakan pemeritah ini bukan tanpa alasan yang prinsip. Peningkatan kualitas pendidikan bangsa ini akan tercapai manakala guru-gurunya sejahtera dari sisi financial. Sejarah panjang guru Indonesia membuktikan, guru yang bekerja sampingan berdampak pada kinerja mereka yang rendah dalam mendidik siswa.

Rendahnya kesejahteraan guru, terlebih pada sekolah-sekolah daerah terpencil dan sekolah swasta, menjadikan kehidupan guru kurang layak, bersahaja dan sederhana. Label guru umar bakri dari lirik lagu Iwan Fals salah satu penilaian jujur dalam mensketsakan kehidupan guru masa lalu kurang begitu beruntung. Minimnya penghasilan guru membuat banyak guru harus mencari penghasilan tambahan.

Dalam banyak kasus, “guru miskin” berdampak pada lemahnya posisi tawar (bargaining position) dan status sosial guru. Baik posisi ketika berhadapan kepala sekolah, Disdik apalagi kepala daerah bahkan hingga dengan orangtua siswa sekalipun yang kaya harta tapi miskin hati. Guru digambarkan sebagai sosok manusia nyaris tanpa cela: cerdas, berakhlak mulia dan hidup sederhana, sehingga jika guru keliru dihujat habis-habisan.

Potret guru masa lalu itu menjadi profesi ini kurang banyak diminati oleh para generasi muda. Mereka yang kuliah di perguruan tinggi pendidikan pun bukan menjadi tujuan utama. Karena menjadi guru bukan profesi yang menjanjikan untuk masa depan secara layak. Sebuah ukuran kesuksesan materi yang menjadi symbol masyarakat kapitalis. Bisa dibayangkan jika sumber daya manusia guru-guru dari anak bangsa yang asal kuliah, asal belajar, asal kerja, maka hasil kualitas pendidikan bangsa ini pun asal-asalan.

Upaya peningkatan profesionisme guru melalui peningkatan kesejahteraan memang mulai membuahkan hasil. Kendati pada masa awal ini masih fase euphoria gaya hidup, seperti membeli alat multimedia, kendaraan dan rumah walau masih tetap dalam semangat cicilan (kredit). Namun semua itu tidak ada yang salah, sepanjang dari dan untuk hal yang halal, bermanfaat dan membuat bahagia sanak dan keluarganya. Jika orang senang dengan pekerjaannya karena bisa menghidupi keluarganya dengan layak, maka guru pun akan terus meningkatkan kinerjanya sebagai guru professional yang diharapkan pemerintah.

Memang jika diurut dalam sejarah kesejahteraan guru saat ini dibandingkan dengan guru pada masa penjajahan Belanda relative berbeda. Menurut seorang penulis Soeprapto, pada zaman Belanda penghargaan guru sangat tinggi dan dihormati. Gaji guru kala itu sekitar 120 gulden hingga 700 gulden, tergantung dari tingkat pendidikan guru tersebut. Guru pada saat itu bisa membeli mobil Fiat kodok baru yang popular pada masanya seharga 1600 gulden.

Bandingkan dengan kondisi guru sekarang ini. Tunjangan profesi melalui program sertifikasi guru, baru mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal keluarga. Belum sampai pada kepemilikian kendaraan baru seperti mobil pada masa jaman Belanda. Namun tentu tujuan utama guru mengajar tidak semata-mata karena motif materi. Tapi bukankah kemiskinan itu lebih mendekatkan kekufuran. Kekufuran bisa berujung pada kekafiran?

PENYEMPURNAAN
Munculnya masalah sarana pendidikan dan atau kesenjangan ekonomi di internal PNS bukan lantas menyalahkan sertifikasi guru. Sebagai kebijakan populis upaya peningkatan profesionalisme guru oleh pemerintah SBY harus diacungin jempol. Kendati bangsa ini cukup tertinggal dalam menggenjot kecerdasan anak bangsa dibandingkan negara-negara seperti, Hongkong, Jepang, Korea Selatan dan Singapura yang sudah lebih awal melaksanakan program sertifikasi guru.

Program sertifikasi guru di Indonesia saat ini masih pada fase awal peningkatan kesejahteraan guru. Mekanisme dan prosesnya cukup nampak dari kriteria prioritas guru penerima sertifikasi seperti usia dan masa kerja. Sementara aspek kinerja dan prestasi guru menjadi penilaian terakhir. Namun pihak Depdikbud sudah menyiapkan penilaian profesi guru akan dievaluasi, dimonitoring dan dilaksanakan sesuai aturan profesionalisme.

Pemberian keluasaan guru menerima tunjangan profesi tersebut membuat program sertifikasi itu seolah menjadi hak guru. Apabila ada guru yang tidak lulus program ini menuntut adanya remedial hingga goal. Jadi harap maklum jika kemudian dijumpai masih ada guru-guru yang dinilai belum memenuhi kriteria profesionalisme guru yang distandarkan pemerintah.

Secara normative, guru profesionalisme harus memenuhi empat kompetensi yaitu pedagogik, sosial, profesional dan kepribadian. Kendati dari empat tersebut, dua yang sangat penting: pedagogik dan kepribadian. Karena tujuan pendidikan nasional, mendidik anak menjadi pinter/cerdas dan baik, berkarakter, berakhlak mulia. Artinya mau menjadi siswa yang cerdas harus didik oleh guru yang cerdas. Mau menjadi siswa yang baik harus dididik oleh guru yang baik kepribadiannya.Sama halnya ketika seseorang ingin menjadi dokter harus ddidik oleh dokter.

Pendek kata, mari program sertifikasi guru disambut dengan baik oleh semua pihak tanpa menanggalkan sikap kritis demi penyempurnaan tujuan akhir profesionalisme guru. Sikap pemerintah dari pusat hingga daerah harus seirama dalam menjalankan amanat UUD 1945 dalam peningkatan mutu pendidikan. Kepada guru jangan pernah bosan untuk berproses belajar dan belajar untuk peningkatan personal quality, baik sisi pedagogic maupun kepribadian. Karena tantangan pendidikan ke depan akan semakin berat. Semoga! (*)

*) penulis adalah Lulusan Magister Psikologi Pendidikan IAIN Syekh Nurjati Cirebon