Mei 25, 2010

KEPRIBADIAN GURU BERMASALAH


Oleh: Deny Rochman*)

Menjadi guru sejati itu sulitnya minta ampun. Tidak cukup dengan nilai IPK besar, bergelar sarjana pendidikan (S.Pd) atau dia bisa mengajar. Saya pernah tersinggung dengan ucapan seorang kepala sekolah swasta yang menyepelekan kemampuan saya mengajar persis setelah saya lulus kuliah. Menurut kepsek tersebut, nilai IPK sarjana besar tidak menjamin seorang sarjana bisa mengajar, apalagi backgroundnya bukan sarjana pendidikan.

Ucapan kepsek tersebut tentu saja menjadi tanda tanya bagi saya: apa benar saya ga bisa ngajar? Padahal selama kuliah saya sering naik turun mimbar dan forum. Tentu saja bukan sebagai seksi perlengkapan kepanitiaan, tetapi sebagai orang yang ngomong di depan forum. Apakah kapasitas saya sebagai moderator, instruktur atau pun nara sumber.

Namun setelah saya jalani menjadi guru swasta ternyata ada benarnya omongan kepsek tersebut: nilai IPK besar tidak menjamin bisa mengajar. Disinilah saya menyadari, menjadi guru lebih sulit daripada menjadi profesi lain. Karena obyek guru adalah siswa didik, manusia yang memiliki akal budi. Kerja guru, sama beratnya seperti menjadi orangtua di rumah. Guru itu digugu dan ditiru. Kata kuncinya: keteladanan. Banyak guru yang pinter, namun tidak bisa menjadi teladan, ia dianggap gagal membentuk siswa yang cerdas bermoral dan berkarakter.

Seorang mantan guru teladan nasional pertama Bapak Karnadi S.Pd M.Hum pernah mengatakan, banyak guru hanya mengajarkan materi mata pelajaran, tetapi sedikit sekali guru yang mengajarkan nilai-nilai mata pelajaran. Dua hal itu tentu saja sangat berbeda substansinya. Guru mengajarkan materi berarti dia hanya menstansfer ilmu kepada siswa (transfer of knowladge). Ukuran keberhasilan guru model ini adalah jika siswa mampu mengerjakan soal-soal ulangan, maka guru ini dianggap berhasil.

Guru kedua yang mengajarkan nilai-nilai mata pelajaran. Ukuran keberhasilan guru jenis ini ketika siswa memiliki sikap, sifat yang baik, bermoral, memiliki motivasi, inovatif, kreatif dll. Sisi kecerdasan emosional dan spiritual yang dikembangkan oleh guru seperti ini.

Mana yang penting? Dua-duanya saya kira sama pentingnya. Jika kita hanya mengajarkan materi tanpa nilai, maka siswa akan menjadi seperti robot, yang hanya bekerja berdasarkan perintah. Pada sisi negatifnya, banyak orang pinter (otak) tetapi tetap “jahat” . Tetapi jika guru hanya mengajarkan nilai kebaikan saat mengajar, bisa jadi anak didiknya tidak bisa menerapkan ilmunya dengan baik untuk kemaslahatan masyarakat.

Disinilah pentingnya aspek kepribadian bagi seorang guru. Sebuah aspek penting yang masih diabaikan oleh Pemerintah dalam program sertifikasi guru. Guru profesional baru dinilai sebatas administratif; dilihat tebalnya portofolio, banyaknya sertifikat, hasil PTK dan lainnya. Maka wajar, banyak guru yang sudah meraih gelar sertifikasi guru profesional, tetap saja kualitas mengajarnya kurang menggembirakan. (*)
*) penulis adalah calon Magister Psikologi Pendidikan