April 18, 2009

MANUVER POLITIK PKS DALAM PEMILU 2009

Oleh : Deny Rochman

Pesta demokrasi lima tahunan, Pemilu 2009 baru saja dilaksanakan pada 9 April lalu. Perolehan suara partai politik pun sudah dapat diprediksi melalui perhitungan cepat (quick qount) dari berbagai lembaga survai atau pun dari tabulasi suara real qount Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut data sementara KPU pusat, tercatat partai yang bertengger di papan atas adalah Partai Demokrat, disusul Partai Golkar, PDI-Perjuangan, Partai Keadilan dan Partai Amanat Nasional. Sejumlah pihak menilai, posisi partai suara terbanyak itu hasil akhirnya tidak akan mengalami perubahan yang signifikan.

Yang menarik dari perolehan sementara suara Pemilu 2009 tersebut adalah perolehan suara Partai Keadilan Kesejahteraan (PKS) yang mengalami peningkatan dari pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2004 partai Islam ini hanya berada pada posisi ke-6 dengan perolehan suara nasional 8.325.020 (7,34), dibawah perolehan partai Islam lainnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 10,57 persen suara dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meraih 9.248.764 suara (8,15).

Perolehan suara PKS pada Pemilu 2004 jauh lebih baik daripada pada pemilu pertama era reformasi tahun 1999. Pada tahun ini, PKS yang masih memiliki nama Partai Keadilan hanya memperoleh 1,4 persen suara sehingga pada pemilu berikutnya harus berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Namun kini, partai yang di dideklarasikan pada 9 Agustus 1998 itu mulai menjadi kekuatan baru politik di Indonesia yang sudah diperhitungkan keberadaannya. Menjelang pemilu 2009 ini, baik sebelum lebih-lebih sesudah perolehan suaranya cukup signifikan, partai Islam ini didekati atau mendekati partai politik besar, seperti Partai Golkar dan PDI-Perjuangan

PKS, lepas kelebihan dan kekurangannya, ke depan akan menjadi sebuah fenomena kekuatan politik Islam yang menarik. Menarik karena partai ini berangkat dari partai kader, bukan partai berbasis organisasi besar seperti PKB dengan basis kaum nahdiyin atau PAN dan PMB dengan basis utama massanya dari kalangan warga Muhammadiyah. Namun demikian perolehan suaranya kian meningkat, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga pada TPS-TPS di sejumlah negara di luar negeri seperti Mesir, Australia, Jepang, Abhu Dabi, Arab Saudi dan lainnya[1].

Prestasi suara PKS tersebut menjadi antitesis dinamika politik nasional bahkan dunia yang tengah tergerus dengan program sekulerisasi dan modernisasi politik. Secara ideologis, PKS memiliki ideologi fundamental karena kader-kader politiknya terdidik dari kalangan intelektual Islam normatif berbasis kampus-kampus dan halaqoh kajian keislaman. Dalam jangka panjang tentu ada mimpi besar tegaknya syariat Islam di Indonesia. Padahal secara sosiologis dalam waktu yang sama, masyarakat Indonesia tengah bergerak pada fase kehidupan deislamisasi.

Sebelum pemilu, banyak pihak memprediksi tahun 2009 ini akan menjadi kebangkrutan bagi beberapa partai Islam. Pengamat politik Tjipto Subadi, misalnya, mengatakan Pemilu 2009 akan menjadi “kuburan” beberapa partai Islam. Menurut dosen pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, partai Islam itu seperti PKS, PMB, PPP, PBR, PKNU, PAN, PKB dan PBB. Hal sama dari hasil survai LP3ES awal Maret ini menyebutkan, akan adanya penurunan suara pada partai Islam. PKS diprediksi hanya mampu meraih 4,07 persen dari 7 persen ketika Pemilu 2004. Hasil survei CSIS pada Mei 2008 menjelaskan, 70 persen pemilih sudah menentukan dukungannya, mayoritas ke PDI-P dan Golkar. Padahal 88 persen dari 171 juta pemilih adalah umat Islam.

Berbagai prediksi politik tersebut secara umum boleh jadi mendekati kebenaran, namun tidak bagi ramalan perolehan suara PKS. Inilah mengapa penulisan makalah mata kuliah Pendekatan Studi Islam ini mencoba mengkaji tentang PKS sebagai sebuah fenomena politik Pemilu 2009. Ada apa dengan PKS? Apa yang terjadi dengan masyarakat Indonesia? Betulkah akan terjadi “reinkarnasi politik” Islam di negeri ini, seperti pada awal-awal kemerdekaan bangsa ini? Bagaimana nasib masa depan kekuatan politik Islam dalam kancak politik nasional?

Tipologi Politik Aliran
Dalam memahami peta politik umat Islam, ada ilmuwan yang membagi dua faham aliran politik yaitu faham modernisme disatu sisi dan faham fundamentalisme disisi lain[2]. Menurut Ahmad Hasan (dalam Yusril, 1999: 12), modernisme adalah aliran pemikiran keagamaan yang menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikannya dengan perkembangan jaman. Islam harus beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia modern. Ilmuwan lainnya, Fazlur Rahman menyebutkan bahwa modernisme adalah upaya tokoh muslim melakukan harmonisasi antara pengaruh modernisasi dan westernisasi yang berlangsung di dunia Islam.

Sementara faham fundamentalisme diartikan sebagai aliran yang berpegang teguh pada syariat Islam. Jan Hjarpe memahami fundamentalisme sebagai keyakinan kepada Al Qur’an dan Sunnah sebagai dua sumber otoritatif yang mengandung norma-norma politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan untuk menciptakan masyarakat yang baru[3]. Kelompok ini melihat bahwa Islam adalah ajaran yang lengkap meliputi setiap aspek kehidupan sehingga tidak perlu lagi memerlukan hukum produk manusia. Perbedaan faham ini kemudian akan berpengaruh pada budaya dan perilaku politik masing-masing pengikutnya. Faham moderisme memahami Islam secara kontekstual, sedangkan fundamentalisme memahaminya secara tekstual.

Dualisme faham politik tersebut banyak dijumpai di negara-negara yang memiliki basis agama yang cukup kuat, khususnya para pengikut Islam. Di Indonesia semangat partai agama meramaikan jagat politik nasional pada era 1950-an. Tercatat ada dua partai politik Islam terbesar ketika pemilu 1955 yakni Partai Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), selain partai Islam kecil lainnya. Kondisi ini hanya bertahan hingga terjadi penyempitan partai (fusi) pada tahun 1973 sehingga pada Pemilu 1977 hanya diikuti dua partai politik, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indoensia (sekarang PDIP).

Kebijakan penguasa Orde Baru kala itu karena menganggap banyak partai akan menghambat pembangunan sehingga perlu ada upaya penyederhanaan partai. Apalagi sempat terjadi benturan wacana politik dalam mencapai tujuan cita-cita negara, antara kelompok Islam fundamental dan kelompok nasionalis. Sebagian tokoh Islam menghendaki penerapan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sedangkan kelompok nasionalis cenderung memilih falsafah negara yang bisa diterima oleh semua kalangan.

Konflik ideologis tersebut sehingga melahirkan kebijakan fusi partai. Maka selama pemilu lima kali sejak Pemilu 1977 hingga Pemilu 1997, diikuti tiga kekuatan politik di atas. Namun sejak simbol penguasa Orde Baru digulingkan, pemilu 1999 diikuti banyak partai, termasuk partai Islam. Ironisnya, kendati bangsa Indonesia berpenduduk mayoritas muslim namun perolehan suara partai Islam dalam pemilu 1955, misalnya, hanya meraih partai Islam hanya mampu memperoleh 43,5% suara (Bahtiar Effendi, 1998: 35)[4].

Wajah Politik PKS
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara ideologis boleh dibilang sebagai partai Islam berhaluan fundamental. Partai ini banyak diisi oleh mereka yang kelompok-kelompok kajian Islam, aktivis rohis kampus dan organisasi Islam yang militan. Sehingga rekruitmen anggota yang menjadi kader partai umumnya mereka yang berproses dalam kegiatan keagamaan. Presiden PKS Tifatul Sembiring mengakui bahwa partainya merupakan partai kader, partai dakwah.

“Jangan lupa bahwa parpol Islam ini (PKS) tumbuh dari gerakan dakwah sehingga pengembangan basis massa dan kadernya lebih ditentukan oleh kepemimpinan yang kuat, konsisten, kolektif-kolegial dan amanah. Dengan mengandalkan pola kerja jaringan, harakah dan usroh, PKS yakin survei-survei itu tidak terlalu berdampak pada perolehan suaranya,” tutur Tifatul Sembiring, Presiden PKS dalam menanggapi hasil lembaga survai partainya yang terpuruk yang dikutip dalam pemilu.inilah.com belum lama ini.

Pernyataan Presiden PKS tersebut sejalan dengan visi misi partainya yang tertuang dalam flat form organisasi politik ini. Dijelaskan dalam visi umum partai Islam ini adalah sebagai partai da'wah penegak keadilan dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan ummat dan bangsa. Sementara visi khususnya adalah partai berpengaruh baik secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat indonesia yang madani.
Visi tersebut, menurut media informasi PKS (pks-sejahtera.org) akan mengarahkan partainya sebagai :
Partai dakwah yang memperjuangkan Islam sebagai solusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kekuatan transformatif dari nilai dan ajaran Islam di dalam proses pembangunan kembali umat dan bangsa di berbagai bidang.

Kekuatan yang mempelopori dan menggalang kerjasama dengan berbagai kekuatan yang secita-cita dalam menegakkan nilai dan sistem Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Akselerator bagi perwujudan masyarakat madani di Indonesia.

Sedangkan misi PKS dijelaskan sebagai berikut :
Menyebarluaskan dakwah Islam dan mencetak kader-kadernya sebagai anashir taghyir.
Mengembangkan institusi-institusi kemasyarakatan yang Islami di berbagai bidang sebagai markaz taghyir dan pusat solusi.
Membangun opini umum yang Islami dan iklim yang mendukung bagi penerapan ajaran Islam yang solutif dan membawa rahmat.
Membangun kesadaran politik masyarakat, melakukan pembelaan, pelayanan dan pemberdayaan hak-hak kewarganegaraannya.
Menegakkan amar ma'ruf nahi munkar terhadap kekuasaan secara konsisten dan kontinyu dalam bingkai hukum dan etika Islam.
Secara aktif melakukan komunikasi, silaturahim, kerjasama dan ishlah dengan berbagai unsur atau kalangan umat Islam untuk terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan wihdatul-ummah, dan dengan berbagai komponen bangsa lainnya untuk memperkokoh kebersamaan dalam merealisir agenda reformasi.
Ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan keadilan dan menolak kedhaliman khususnya terhadap negeri-negeri muslim yang tertindas.

Dilihat dari visi misinya partai yang berdiri pada 20 Juli 2008 ini memposisikan diri sebagai partai Islam yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penjelasan ini mengundang penafsiran bahwa PKS memiliki target politik jangka panjang mendirikan “Negara Islam”. Menurut Nurcholis Madjid (dalam Yusril, 1999: 26), memahami munculnya faham fundamentalisme karena faktor kegagalan agama-agama yang terorganisasi (organized religions) dalam memberi respon terhadap tantangan dunia modern.
Jika kemudian dalam perilaku politiknya bergaul dengan banyak pihak dari partai lain, itu merupakan bagian dari strategi politiknya agar aspirasinya bisa tersalurkan. Perilaku politik PKS, jika dilihat dari tipologi aliran politik tampaknya kurang tepat jika PKS disebut faham fundamental murni. Partai Islam ini lebih cenderung berada antara faham fundamentalisme dan modernisme. Sebagai partai Islam, perjuangan PKS tetap bersandar pada nilai-nilai Islam dijabarkan dalam visi misinya. Namun para kader partai ini memahami bahwa untuk memperjuangkan syariat Islam diperlukan strategi politik. Sehingga dalam perilaku politiknya para fungsionaris partai tetap membuka diri dengan kekuatan politik lain.

Berbagai peristiwa politik menjelang dan setelah Pemilu 2009 kemarin cukup memberi bukti strategi politik PKS dalam memperjuangkan kepentingannya. Misalnya, membuka komunikasi dengan berbagai partai, baik sesama partai Islam, nasionalis-relijius maupun sekuler sepanjang masih memiliki persepsi yang sama dalam membangun negara. Partai-partai itu seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, PPP dan lainnya, sementara dengan PDI-P tidak dilakukan. Hal ini boleh jadi karena alasan ideologis, selain PDIP nasionalis sekuler juga Ketua Umum Megawati Soekarnoputeri sudah menetapkan diri sebagai calon presiden. Disinilah diketahui ideologi PKS menolak perempuan sebagai pemimpin negara karena banyak penolakan dari kader-kader partai dibawahnya.

Membangun Brand Image

Keberhasilan PKS dalam mendulang suara dalam Pemilu 2009 kemarin tidak lepas dari strategi pencitraan partainnya (brand image) secara efektif dan kontinu. Hal yang tidak terjadi ketika pada proses pemilu sebelumnya. Dengan menggunakan berbagai media promosi, seperti media massa cetak, radio, televisi, internet hingga aksi-aksi unjuk rasa, partai berhati Islam fundamentalisme ini berubah wajah menjadi Islam moderat. Sekalipun sejumlah produk iklan politiknya menuai protes, tidak hanya bagi partai politik lain tetapi juga dari kalangan organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU.

Gencarnya iklan politik PKS merupakan bentuk propaganda efektif dalam membangun citra politik partai Islam ini. Sejumlah iklan yang dibuat ingin merubah citra PKS dari partai eksklusif (tertutup) menjadi partai inklusif (terbuka). Dalam iklan pahlawan, misalnya, ditampilkan sejumlah tokoh politik nasional hingga tokoh agama dengan harapan bisa PKS ingin merangkul semua kepentingan. Iklan lainnya menampilkan adegan komunitas remaja atau masyarakat tidak identik dengan masyarakat sekuler dengan tujuan PKS merupakan partai semua orang.

Menurut dosen komunikasi FISIP UI Prof Dr Ibnu Hamad, iklan politik yang menuai polemik itu secara marketing politik dinilai berhasil karena tepat momentum dan pemilihan materinya sehingga mendapat perhatian masyarakat luas. Secara teoritis, sebelum mencapai dukungan, iklan terlebih dahulu harus menjadi perhatian. Lalu kesadaran dan kemudian dukungan. Namun Hamad menilai Iklan yang menampilkan Soeharto sebagai salah salah satu tokohnya itu, belum tentu dapat menarik dukungan masyarakat memilih PKS.

Upaya pembangunan citra sebagai partai terbuka, langkah PKS itu dinilai kurang tepat. Apalagi di internal partainya masih pro kontra jika PKS menjadi partai terbuka. Rumadi, Peneliti The Wahid Institute mengatakan, upaya PKS mengubah citra partai menjadi partai terbuka melalui iklan politik itu tampaknya akan sia-sia karena PKS hanya memainkan simbol saja. Staf pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menilai, dari sudut pandang keberagamaan PKS, tampak belum ada bukti bahwa PKS menghargai keberagamaan yang berbasis perdesaan. Wajah PKS itu masih didominasi oleh wajah keberislaman yang cenderung eksklusif, meskipun PKS berusaha sedemikian rupa untuk mengubah wajah itu melalui iklan politik.

Lepas pro dan kontra upaya pencitraan PKS sebagai partai terbuka, namun langkah politik partai ini cukup cerdas dalam mempengaruhi persepsi masyarakat, khususnya kelas menengah perkotaan. Terbukti perolehan suara PKS di perkotaan cukup signifikan, termasuk di luar negara. Keberhasilan itu bukan karena pengaruh iklan politik, karena iklan hanya salah satu media sosialisasi dari banyak media yang ada. Propaganda iklan tidak akan berhasil jika hanya menyampaikan pesan-pesan kosong tanpa bukti.

Iklan yang lebih mengena adalah dengan pendekatan konkret, termasuk yang sudah dilakukan PKS. Dalam berbagai permasalahan hangat tentang permasalahan nasional dan dunia seperti korupsi, BBM, kekerasan dan lainnya, PKS ambil bagian untuk mempengaruhi kebijakan negara melalui aksi-aksi unjuk raja. Seperti aksi invasi tentara Israel ke negara Palestina, PKS secara masif melakukan perlawanan, kendati harus menyeret Presiden PKS Tifatul Sembiring menjadi tersangka.

Pada kegiatan sosial, PKS rajin menggalang dana untuk menyalurkan bantuan. Citra positif lainnya, PKS dinilai sebagai partai yang bersih dari keterlibatan tindak pidana korupsi, seperti anggota Dewan dari partai lain. Bukti-bukti yang tidak terbantahkan itu menjadi variabel yang mempengaruhi perilaku politik masyarakat dalam menentukan piihan partai pada pemilu lalu. Sementara perolehan suara partai lainnya, seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, Gerinda, Hanura, PAN dan lainnya lebih kepada menjual populeritas ketokohan masing-masing di partainya.

PENUTUP
Islam merupakan agama yang tidak saja mengatur persoalan ritual keagamaan, tetapi juga masalah politik, ekonomi dan masalah kemasyarakatan lainnya. Kelengkapan Islam sebagai sebuah pedoman hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan ikut mempengaruhi budaya dan perilaku umatnya. Hal ini menjadi landasan gerak Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam menapati dunia politik pragmatis. Kemampuan strateginya dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam membuat salah satu partai Islam ini meraih dukungan cukup baik dalam peta politik Pemilu 2009.

Prestasi PKS dalam pemilu tahun ini bukan semata-mata karena iklan politiknya yang bertebaran di berbagai media massa dan sebagian mengundang kontroversial. Namun “kemenangan” PKS lebih didukung karena faktor-faktor :
Militansi para kadernya yang bekerja dengan cerdas dan ikhlas. Mereka lebih banyak bertanya; apa yang sudah saya berikan kepada partai, daripada bertanya apa yang sudah saya dapatkan dari partai. Para kader partai relatif idealisme, cerdas dan kreatif dalam menggerakkan roda organisasi.
Memiliki pemilih sejati hasil binaan halaqoh kajian keislamannya, sehingga tidak terpengaruh dengan hasil berbagai lembaga survai yang meneliti peraihan suara partai dalam pemilu.
Kerja anggota Dewan dari PKS relatif bersih dari praktek kolusi, korupsi dan nepotisme ketimbang partai lainnya. Minimal tidak pernah mencuat kepermukaan di media massa.
PKS memiliki komitmen terhadap solidaritas muslim di berbagai tempat, sehingga sering melakukan aksi unjuk raja menentang ketidakadilan, kedzoliman dan memberikan bantuan sosial bagi yang membutuhkan.
Pada sebagian masyarakat muslim yang taat, PKS dinilai sebagai partai yang masih memiliki komitmen terhadap perjuangan nilai-nilai Islam.
PKS lebih menjual hasil kerja daripada figur, hal berbeda dengan partai lainnya lebih pada mengusung populeritas figur partainya.
Dilihat dari perilaku politik PKS tersebut maka partai ini cenderung pada faham politik reformis, antara faham fundamentalisme dan faham modernisme. Menurut Allan Samson, faham reformis menekankan keutamaan agama atas politik tetapi masih mau bekerjasama dengan kelompok politik lain sekalipun sekuler yang penting memiliki kesepakatan bersama. Faham reformis ini sangat peduli dengan usaha menjadikan keyakinan agama relevan dengan era modern.
Namun dibalik kemenangan PKS, masih ada kekhawatiran terhadap peta politik yang berkembang ke depan. Perolehan suaranya yang masih relatif kecil membuat partai ini cukup lemah daya tawar politiknya dengan partai lain. Sehingga banyak pihak yang bertanya, apakah PKS akan mempertahankan idealismenya sebagai partai Islam atau terseret pada pragmatisme politik kekuasaan yang berharap pada power sharing.


DAFTAR PUSTAKA
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1999.
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamaat Islami (Pakistan), Paramadina, Jakarta, 1999.
Deny Rochman, Afiliasi Politik Warga Muhammadiyah Kotatip Purwokerto Pasca Orde Baru, Skripsi, 2000.
Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 1999.

Website :
www.kpu.go.id
www.inilah.com
www. pk-sejahtera.org
[1] Lihat situs www.pk-sejahtera.org
[2] Banyak istilah yang digunakan para ilmuwan dalam memahami polarisasi umat Islam di Indonesia. Allan Samson, misalnya, membagi tiga faham politik umat yakni fundamentalisme, reformasi dan akomodasionis. Sementara Antropolog Clifford Gerzt memilahnya dalam santri, abangan dan priyayi.

[3] Baca dalam Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama at-i-Islami (Pakistan), Paramadina, Jakarta, 1999, hal. 17. Menurut Yusril, paham fundamentalisme dan modernisme awalnya berkembang dalam agama Kristen. Namun oleh para orientalisme faham itu dijadikan polarisasi dalam memahami Islam politik.
[4] Laporan mengenai hasil-hasil pemilu pada tahun 1955 dapat dibaca dalam Herbert Feith, The Indonesian Elections of 1955, Ithaca: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, 1951.