September 24, 2020

PROGRAM BIAS YANG TAK BIASA


Oleh :
Deny Rochman

Apakah siswa wajib diimunisasi? Pertanyaan itu mengemuka seiring pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) bulan September 2020 ini di Kota Cirebon. Sesuai schedule awal, program nasional ini dilaksanakan pada Agustus lalu. Namun karena masa pandemi covid-19, pemerintah perlu kajian dan kehati-hatian dalam pelaksanaannya.

Sebagai Kordinator Wilayah Pendidikan di Kecamatan Pekalipan, saya tentu ikut serta menyukseskan pelaksanaan BIAS di sekolah-sekolah SD dan juga MI. Ada 12 sekolah dibawah naungan Dinas Pendidikan: 10 sekolah negeri, 12 sekolah swasta. Sementara sekolah atau madrasah dibawah naungan Kemenag sebanyak empat MI. Pelaksanaan BIAS di Kec. Pekalipan berlangsung mulai 21 September hingga 3 Oktober 2020.

Tidak mudah memang melaksanakan BIAS di tahun ini. Penyebaran virus corona yang massif, menjadi pertimbangan serius. Berbagai rapat koordinasi terus dilakukan. Baik di level Puskesmas, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan hingga di tingkat Pemerintah Daerah, bersama pemangku kebijakan daerah.

Di level kecamatan, Korwil pendidikan Pekalipan melakukan koordinasi dengan empat Puskesmas di wilayah ini. Empat Puskesmas di wilayah ini membawahi 16 sekolah SD dan MI. Puskesmas Jagasatru meliputi SDN Jagasatru 1, Pegajahan l, Pegajahan III, SDN Karanganyar, SD Budaya dan MI Annur.

Puskesmas Pulasaren terdiri SDN Pulasaren l, ll, lll, lV dan SDN Pulasaren V serta MI Purwasari. Untuk Puskesmas Pekalangan melayani SD Pekalangan dan MI Darut Tauhid. Puskesmas Astanagarib melayani SD Taman Muda dan MI Darul Hikmah.

Mengingat imunisasi bagi siswa sama pentingnya untuk kesehatan masa depan anak, maka BIAS tetap dilaksanakan dengan tetap mentaati protokol kesehatan. Pemerintah pun memproteksi kebijakan kesehatan nasional ini dengan dasar hukum berlapis. 

Tidak tanggung-tanggung, empat kementerian memback up pelaksanaan BIAS. Pemerintah mengeluarkan surat keputusan bersama empat menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan, dan Menteri Agama.

Bagaimana pelaksanaan teknisnya? Nih ini menjadi pertanyaan krusial di masa pandemi. Selama ini karena alasan keselamatan dan kesehatan guru dan siswa, kegiatan pembelajaran tatap muka pun ditiadakan. Pembelajaran jarak jauh, baik daring maupun luring menjadi penggantinya. Guru dan siswa, mengajar dan belajar dari rumah.

Sekolah-sekolah belum berani belajar tatap muka. Kendati Pemerintah Pusat sudah menerbitkan kebijakan relaksasi pendidikan. Empat menteri yang sama juga menerbitkan surat keputusan bersama. Sekolah yang berasal di zona hijau dan kuning diperbolehkan membuka pembelajaran tatap muka, dengan mentaati protokol kesehatan yang ketat.

Ada tiga opsi skenario disiapkan Kemenkes RI terkait pelaksanaan BIAS. Pertama, kegiatan imunisasi bisa dilaksanakan di sekolah masing-masing. Kedua, dipusatkan di Puskesmas di wilayah sekolah. Ketiga, siswa disuntik melalui mobil Puskesmas keliling. Semua skenario tetap dan wajib menjalankan protokol kesehatan.

Dari tiga skenario itu, opsi pertama menjadi pilihan pelaksanaan BIAS di Kota Cirebon. Alasannya agar bisa menjalankan protokol kesehatan dalam pelaksanaan imunisasi. Di sekolah lebih mudah pelayanannya, baik dari pendataan siswa maupun ruangan yang memadai. Jika dibandingkan dilaksanakan di Puskesmas atau pun Puskesmas Keliling.

Saat pelaksanaan BIAS, ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh sekolah. Seperti ruang imunisasi, sebelum dan sesudah pelaksanaan harus disemprot disinfektan. Pengadaan cairan dan alat semprot koordinasi antara sekolah, puskesmas dan pihak kelurahan setempat.

Saat pelaksanaan, siswa dihadirkan dalam beberapa shift. Dengan menggunakan masker dan jaga jarak. Mereka sebelumnya menjalani screening kesehatan untuk mendeteksi diri kemungkinan potensi terpapar covid. Siswa yang unfit, untuk tidak perlu datang ke sekolah. Tak hanya siswa, kepala sekolah dan guru pendamping setempat harus menjalani rapid test oleh tim medis secara free. Rata-rata per sekolah empat orang.

Sekolah harus menyiapkan beberapa ruang. Pertama ruang tunggu, ruang pemeriksaan awal dan ruang penyuntikan imunisasi campak. Sebelum pulang siswa harus menunggu sesaat di ruang transit. Sambil menggu reaksi efek dari imunisasi. Tempat cuci tangan, dan alat cek suhu wajib disediakan. Pintu keluar masuk harus dipisahkan. Dan beberapa ketentuan lain.

Pelaksanaan BIAS tahun ini benar-benar extraordinary. Enam bulan anak tidak sekolah menjadi tantangan tersendiri bagi sekolah untuk menghadirkan mereka. Keberadaan group WA orangtua siswa cukup membantu penyebaran informasi kegiatan BIAS. Namun tidak menjamin 100% semua siswa bisa hadir untuk diimunisasi. Prosentasenya beragam, bahkan ada sekolah jumlah ketidakhadiran siswa mencapai 30%.

Dengan beragam alasan, mulai alasan kecemasan terpapar virus hingga memandang anaknya tidak perlu imunisasi. Fenomena ini terjadi hampir di semua daerah. Muncul pertanyaan apakah wajib anak diimunisasi? Pertanyaan serupa disampaikan kepada saya sebagai Korwil Pendidikan di Kec. Pekalipan

Sebagai kebijakan nasional, normatifnya program BIAS wajib diberikan kepada seluruh siswa kelas l. Diberikan dua kali dalam setahun demi terbentuknya kekebalan tubuh anak. Kekebalan dari penyakit campak, difteri dan tetanus. Demi kesehatan dan keselamatan masa depan anak.

Program BIAS bagian dari kewajiban Negara memberikan dan menjamin hak kesehatan warga negaranya. Jika kemudian ada warga Negara yang tetap memaksa menolak disuntik imun, maka tidak menggugurkan kewajiban Negara kepada rakyatnya. Sepanjang alasannya bisa diterima dengan konsekuensi resiko kesehatan anaknya. Sepanjang orang tuanya menjamin kesehatan anaknya dari penyakit campak, difteri, tetanus dan lainnya. (*)

Pronggol, 25.09.2020 l 00:00

*) Penulis adalah Koordinator Wilayah Pendidikan Kec. Pekalipan Kota Cirebon.

September 23, 2020

COVID, UJIAN IMAN DAN IMUN

Oleh: 
Deny Rochman

Pandemi covid-19 ini adalah ujian keimanan sekaligus ujian imunitas. Ujian keimanan karena masa pandemi ritual ibadah di tempat ibadah dibatasi. Lalu ada stigma menyesatkan, jika terpapar covid identik dengan kematian. Dimana posisi Tuhan (baca: Allah Swt)? 

Mereka yg percaya kematian adalah kehendak takdir Allah Swt, namun tidak kemudian mengabaikan imunitas tubuh. Abai dalam menjalankan protokol kesehatan. Mereka daya tahan tubuhnya prima, seenaknya menjalani pola hidup rentan virus.

Iman dan imun keduanya tak boleh diabaikan. Keduanya sangat penting, bahkan saling terkait. Imun adalah salah satu cermin iman. Seperti hadist Nabi SAW, kebersihan sebagai dari iman. Untuk dapat meraih iman harus pny imun kuat. Begitu juga sebaliknya. Untuk dapat imun yang ok, kudu punya iman (keyakinan). Keyakinan jika virus ini memang ada. Virus ada karena seijin Sang Pencipta. 

Hilang salah satunya, apalagi dua-duanya kan menjadi malapetaka bagi diri manusia. Hilang iman, akan terseret kemusyrikan. Seolah ada kekuatan lain yang bisa mematikan manusia. Hilang imun, akan terjebak pada penderitaan fisik. Terpapar virus misterius yang menggemparkan dunia. 

Celakanya, jika hilang keduanya. Iman rontok, imun runtuh. Kesengsaraan dunia akherat. Di dunia hidup dalam penderitaan, di akherat hidup dalam kesengsaraan. Lalu bagaimana dong? Mari perlihara keduanya. Iman perlu dipupuk dan dijaga. Imun tetap dirawat dan ditingkatkan terus. Semuanya tentu untuk kebahagiaan di dunia dan di akherat kelak. 

Masih nggak percaya? Ada baiknya kita belajar dari kasus ustadz DR H Ahmad Yani, M.Ag. Pada pekan pertama September 2020, pemberitaan koran lokal dan medsos dihebohkan dengan berita pertambahnya pasien covid. Kenapa heboh? Mereka yang positif terpapar adalah orang-orang top. Salah satunya Ketua At Taqwa Center DR H Ahmad Yani, M.Ag, berserta isterinya. 

Selain itu ada nama lainnya yaitu Sekda Kota Cirebon Agus Mulyadi, Wakil DPRD Fitria Pamungkaswati dan lainnya. Itu belum sederetan nama-nama warga lain. Menambah daftar panjang dan menumpuk jumlah korban kegenitan virus asal Wuhan Tiongkok ini. 

Ahmad Yani, dalam postingan facebooknya menegaskan pentingnya imun dan iman dalam menjalani hidup di era pandemi corona. Pada postingan 22 September malam, ustadz Yani menegaskan, jika covid bukan hantu. Ia nyata ada, ilmiah dan menular. Buktinya sekelas ustadz ketua gugus tugas covid-19 IAIN Syekh Nurjati juga terpapar. Yang biasa hidup bersih, wudlu dan ibadahnya terjaga, lisan dan hatinya selalu diselimuti dzikir. Tapi toh virus tak kenal nama, jabatan dan status. Jika lengah, hajarrrr....

Menurutnya, hal yang sangat berpegaruh kepada seseorang yang dinyatakan positif Covid-19 adalah ketahanan mental atau jiwa. Ketahanan mental akan mempengaruhi imun (daya tahan) tubuh. Tak perlu takut, cemas ketika sampai terpapar. Karena itu bukan aib, apalagi dosa. Siapapun berpotensi terpapar. Jadikan ujian iman dan imun itu sebagai muhasabah dan taqorrub kepada Allah. Terapinya dengan nutrisi medis dan nutrisi psikis. Nutrisi psikis seperti sholat, tilawah, istighfar, dzikir, do'a dan sholawat.

Nutrisi  medis seperti mengkuti SOP protokol kesehatan selama masa perawatan. Makan dengan gizi seimbang, jaga pola hidup bersih dan sehat (PHBS), olah raga ringan, berjemur, minum vitamin, madu, dan herbal. Terapi lainnya, agar cerdas dan bijak membaca informasi; dalam waktu tertentu. HP dan televisi bisa dinonaktifkan, dialihkan dengan tilawah dan aktivitas ibadah lainnya. Berfikir positif. Kalau terjadi dampak buruk bahkan hingga kematian, misalnya, maka akan mati syahid. 

Jadi iman dan imun harus seimbang. Saling melengkapi dan menguatkan. Berdoa bagian penting dari iman dan imun. Berdoa untuk kesehatan dan keselamatan dari semua penyakit. Kita tak tahu dimana, kapan dan kemana akan terpapar virus. Virus bagai makhluk ghaib tak kasat mata. Maka, seyogyanya kita berlindung kepada Yang Maha Tahu Ghaib, Allah Swt. Seringkali kita dengar, ada orang berkumpul, kendati sesaat. Satu orang terpapar, tapi teman ngobrol lainnya tidak.

Dalam situasi tak menentu ini, merawat imun dan iman sebuah pilihan wajib. Menjaga ibadah ritual, kebersihan hati, pikiran dan jiwa. Membatasi diri dari orang lain atau kerumunan. Selalu mentaati protokol kesehatan: pakai masker dan jaga jarak. Membiasakan kembali pola hidup sehat, baik olahraga maupun makanan dan minuman, tidak hanya sehat tetapi juga halal. Yuk tobat dan taat.... (*)

#YogyaGrand-23.09.2020 I 15:44

*) Penulis adalah pegiat literasi Kota Cirebon.

September 20, 2020

AMBYAR, BELAJAR TATAP MUKA

Oleh:

Deny Rochman

Kapan Indonesia akan bebas virus corona? Mulai kapan pembelajaran tatap muka di sekolah? Pertanyaan itu masih bahkan semakin sulit untuk dijawab oleh banyak orang. Apalagi belakangan pasien terpapar virus jumlahnya kian bertambah. Sejumlah daerah masih menahan diri untuk membuka pembelajaran tatap muka (PTM). Bahkan, Pemerintah DKI Jakarta memilih kembali memilih kembali menerapkan PSBB--- Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Di wilayah Cirebon, angka statistik covid-19 masih naik-naik ke puncak gunung. Kian bertambah. Sejumlah tokoh pun tepar terpapar. Berdampak terhadap penundaan relaksasi pembukaan pembelajaran tatap muka. Kabupaten Cirebon yang sudah ancang-ancang PTM akhirnya kendur lagi. Pemda Kuningan pun masih slow but sure, sekalipun Peraturan Bupati terkait pembukaan belajar di sekolah sudah diketok palu. Begitu juga Majalengka dan Indramayu masih wait and see.

Bagaimana dengan Kota Cirebon? Sejak Maret pembelajaran di sekolah diliburkan, Disdik setempat belum membuka wacana PTM. Bahkan sejak 7 Agustus lalu, Pemerintah Pusat kebijakan relaksasi pendidikan direspon biasa saja. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri menerbitkan regulasi pembelajaran tatap muka. Disiapkan, Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Sekolah berada di zona hijau dan kuning diperbolehkan membuka PTM, namun dengan protokol kesehatan yang sangat ketat.

Keputusan berani Pemerintah Pusat itu karena Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) banyak dikeluhkan. Dikeluhkan oleh pihak sekolah, oleh siswa dan juga orang tua siswa. PJJ online dihadapkan pada masalah kuota data internet. Jaringan internet yang belum meluas. Ketiadaan kepemilikan ponsel  android hingga keterbatasan mengoperasikan aplikasi yang digunakan. Baik kemampuan gurunya, maupun kemampuan siswa dan orang tua. Pada sisi lain, orang tua mengeluhkan sulitnya mendidik anak belajar di rumah. Anak sering jadi omelan orang tua. Tak sedikit anak bermain bebas di luar rumah.

Belum juga daerah melaksanakan kebijakan pendidikan nasional, mendadak rencana PTM menjadi ambyar. Keraguan daerah berubah menjadi keyakinan untuk memutuskan tak menerapkan PTM. Pertama, prosedur dan mekanisme yang harus dipenuhi relatif beresiko. Resiko secara medis maupun dampak keuangan. Bab tentang tes swab bagi para pendidik point memberatkan bagi sekolah, karena akan berdampak pada anggaran. Apalagi masa berlaku hasil swab berjangka pendek. Secara medis, pembukaan PTM akan terjadi kluster baru pasien covid, mengingat tidak mudah menegakan kedisiplinan warga sekolah.

Kedua, kebijakan PTM dikembalikan kepada kepala daerah masing-masing. Otoritas kepala daerah menentukan nasib PTM di sekolah. Artinya, kendati sekolah secara prinsip protokol kesehatan sudah fix, namun jika kepala daerah masih memadang resiko, maka PTM tetap ditunda. Ketiga, meningkatnya kasus covid-19 di sejumlah daerah, termasuk penerapan kembali PSBB di Jakarta. Itu akan membentuk opini publik penundaan PTM secara nasional. Lebih-lebih sejumlah pejabat dan tokoh di daerah terkonfirmasi terpapar virus import ini.

Keempat, pola penyebaran dan penularan virus yang sulit terdeteksi, susah dianalisis, berdampak resiko jika kegiatan PTM dipaksakan untuk dilaksanakan. Terlebih mobilitas sosial pergerakan manusia makin bebas dan luas pasca dicabutnya kebijakan PSBB. Potensi penyebaran virus akan bertambah masif dan progresif. Kini kluster covid mulai merambah ke keluarga-keluarga, yang memakan korban anak-anak usia sekolah.

PJJ BERKUALITAS
Tren penyebaran covid yang kian masif membuat daerah-daerah mencari aman bagi keselamatan dan kesehatan guru dan peserta didik. Pilihannya tetap melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Kendati cara ini tidak dinilai efektif dalam mendidik dan mengajar anak.  Tantangan sekarang, bagaimana menciptakan PJJ berkualitas. Ada atau tanpa fasilitas online, kegiatan belajar anak tetap terlaksana. Tetap ada solusi di tengah masalah pendidikan di era pandemi.

Ada ragam pilihan PJJ. Ada banyak aplikasi yang bisa digunakan. Sejumlah pendekatan bisa dicoba. Tujuan akhirnya satu: hak anak mendapat pendidikan dan pengajaran tetap terpenuhi. Di Kota Cirebon, secara resmi Pemerintah Daerah menetapkan PJJ di stasiun tivi lokal (RCTV) sebagai media. Kendati secara mandiri, sekolah-sekolah memperkuat pola PJJ dengan caranya masing-masing. Ada yang daring (online), tak sedikit yang memilih luring (offline).

PJJ lewat tivi secara live di RCTV sudah dilakukan sejak awal sekolah diliburkan dari KBM bulan Maret 2020. Dinas Pendidikan bersama unsur guru SMP melalui MGMP dan guru SD melalui forum KKG menyiapkan guru model. Guru perwakilan tiap sekolah untuk mengajar live di depan kamera tivi. Mulai guru SMP, SD hingga guru TK dan PAUD. Kegiatan ini dijadwalkan akan berakhir pada Desember 2020 atau selama tahun ajaran 2020/2021 semester 1. Harapannya pada semester 2 kegiatan PTM sudah bisa dilaksanakan kendati harus dengan pola blended learning.

Untuk memperkuat kualitas PJJ RCTV, guru-guru melalui MGMP, KKG dan Himpaudi TK melaksanakan penugasan dan penilaian masing-masing. Evaluasi dilakukan secara daring, salah satunya melalui penilaian harian online (PHo). Peserta didik yang mengalami kendala teknis dilakukan pendampingan secara offline ke daerahnya. Dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Dan bersyukur, secara kebijakan nasional pemerintah menyubsidi biaya kuota internet guru dan siswa.

Pekerjaan rumah yang belum selesai adalah bagaimana mendesain PJJ secara efektif. Efektif dalam takaran pembelajaran darurat era pandemi, bukan pembelajaran dalam situasi normal. Faktanya tak bisa terbantahkan, jika PJJ melalui televisi lokal masih ada sejumlah kendala. Misalnya daya siar kualitas baik yang belum merata di seluruh penjuru kota. Dengan segala faktor yang mempengaruhi.

Tren PJJ memang akan menjadi fenomena pembelajaran era baru. Ini pun diakui oleh Mendikbud Nadiem Anwar Makarim saat melakukan hearing dengan DPR RI pada pertengahan covid melanda. Dengan demikian, suport pemerintah akan kuota data internet, atau penyediaan fasilitas wifi/hospot di sejumlah titik strategis akan menjadi tuntutan yang tak bisa ditawar-tawar.

Sejalan dengan itu, kemampuan guru dalam mendesain pembelajaran online yang kreatif dan inovatif harus terus dilakukan. Begitu juga kemampuan orang tua dalam pendampingan pembelajaran anak dari rumah perlu diarahkan. Namun keberhasilan PJJ memang harus melibatkan dan bersinergi dengan semua pihak, termasuk pihak swasta penyedia layanan internet dan pendidikan.

Pembelajaran era pandemi memang hanya bisa dilakukan secara jarak jauh. Tentu tak bisa memuaskan semua pihak. Namun jika ada kendala, tidak kemudian program PJJ dianggap  tidak berhasil atau gagal. Sikap bijak bagaimana mengurai kendala itu menjadi solusi. Seperti ketiadaan sarana online, bisa dilakukan cara lain dengan offline. Asal tetap mentaati protokol kesehatan dengan baik. (*)

*) Penulis adalah pegiat literasi Kota Cirebon