September 20, 2020

AMBYAR, BELAJAR TATAP MUKA

Oleh:

Deny Rochman

Kapan Indonesia akan bebas virus corona? Mulai kapan pembelajaran tatap muka di sekolah? Pertanyaan itu masih bahkan semakin sulit untuk dijawab oleh banyak orang. Apalagi belakangan pasien terpapar virus jumlahnya kian bertambah. Sejumlah daerah masih menahan diri untuk membuka pembelajaran tatap muka (PTM). Bahkan, Pemerintah DKI Jakarta memilih kembali memilih kembali menerapkan PSBB--- Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Di wilayah Cirebon, angka statistik covid-19 masih naik-naik ke puncak gunung. Kian bertambah. Sejumlah tokoh pun tepar terpapar. Berdampak terhadap penundaan relaksasi pembukaan pembelajaran tatap muka. Kabupaten Cirebon yang sudah ancang-ancang PTM akhirnya kendur lagi. Pemda Kuningan pun masih slow but sure, sekalipun Peraturan Bupati terkait pembukaan belajar di sekolah sudah diketok palu. Begitu juga Majalengka dan Indramayu masih wait and see.

Bagaimana dengan Kota Cirebon? Sejak Maret pembelajaran di sekolah diliburkan, Disdik setempat belum membuka wacana PTM. Bahkan sejak 7 Agustus lalu, Pemerintah Pusat kebijakan relaksasi pendidikan direspon biasa saja. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri menerbitkan regulasi pembelajaran tatap muka. Disiapkan, Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Sekolah berada di zona hijau dan kuning diperbolehkan membuka PTM, namun dengan protokol kesehatan yang sangat ketat.

Keputusan berani Pemerintah Pusat itu karena Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) banyak dikeluhkan. Dikeluhkan oleh pihak sekolah, oleh siswa dan juga orang tua siswa. PJJ online dihadapkan pada masalah kuota data internet. Jaringan internet yang belum meluas. Ketiadaan kepemilikan ponsel  android hingga keterbatasan mengoperasikan aplikasi yang digunakan. Baik kemampuan gurunya, maupun kemampuan siswa dan orang tua. Pada sisi lain, orang tua mengeluhkan sulitnya mendidik anak belajar di rumah. Anak sering jadi omelan orang tua. Tak sedikit anak bermain bebas di luar rumah.

Belum juga daerah melaksanakan kebijakan pendidikan nasional, mendadak rencana PTM menjadi ambyar. Keraguan daerah berubah menjadi keyakinan untuk memutuskan tak menerapkan PTM. Pertama, prosedur dan mekanisme yang harus dipenuhi relatif beresiko. Resiko secara medis maupun dampak keuangan. Bab tentang tes swab bagi para pendidik point memberatkan bagi sekolah, karena akan berdampak pada anggaran. Apalagi masa berlaku hasil swab berjangka pendek. Secara medis, pembukaan PTM akan terjadi kluster baru pasien covid, mengingat tidak mudah menegakan kedisiplinan warga sekolah.

Kedua, kebijakan PTM dikembalikan kepada kepala daerah masing-masing. Otoritas kepala daerah menentukan nasib PTM di sekolah. Artinya, kendati sekolah secara prinsip protokol kesehatan sudah fix, namun jika kepala daerah masih memadang resiko, maka PTM tetap ditunda. Ketiga, meningkatnya kasus covid-19 di sejumlah daerah, termasuk penerapan kembali PSBB di Jakarta. Itu akan membentuk opini publik penundaan PTM secara nasional. Lebih-lebih sejumlah pejabat dan tokoh di daerah terkonfirmasi terpapar virus import ini.

Keempat, pola penyebaran dan penularan virus yang sulit terdeteksi, susah dianalisis, berdampak resiko jika kegiatan PTM dipaksakan untuk dilaksanakan. Terlebih mobilitas sosial pergerakan manusia makin bebas dan luas pasca dicabutnya kebijakan PSBB. Potensi penyebaran virus akan bertambah masif dan progresif. Kini kluster covid mulai merambah ke keluarga-keluarga, yang memakan korban anak-anak usia sekolah.

PJJ BERKUALITAS
Tren penyebaran covid yang kian masif membuat daerah-daerah mencari aman bagi keselamatan dan kesehatan guru dan peserta didik. Pilihannya tetap melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Kendati cara ini tidak dinilai efektif dalam mendidik dan mengajar anak.  Tantangan sekarang, bagaimana menciptakan PJJ berkualitas. Ada atau tanpa fasilitas online, kegiatan belajar anak tetap terlaksana. Tetap ada solusi di tengah masalah pendidikan di era pandemi.

Ada ragam pilihan PJJ. Ada banyak aplikasi yang bisa digunakan. Sejumlah pendekatan bisa dicoba. Tujuan akhirnya satu: hak anak mendapat pendidikan dan pengajaran tetap terpenuhi. Di Kota Cirebon, secara resmi Pemerintah Daerah menetapkan PJJ di stasiun tivi lokal (RCTV) sebagai media. Kendati secara mandiri, sekolah-sekolah memperkuat pola PJJ dengan caranya masing-masing. Ada yang daring (online), tak sedikit yang memilih luring (offline).

PJJ lewat tivi secara live di RCTV sudah dilakukan sejak awal sekolah diliburkan dari KBM bulan Maret 2020. Dinas Pendidikan bersama unsur guru SMP melalui MGMP dan guru SD melalui forum KKG menyiapkan guru model. Guru perwakilan tiap sekolah untuk mengajar live di depan kamera tivi. Mulai guru SMP, SD hingga guru TK dan PAUD. Kegiatan ini dijadwalkan akan berakhir pada Desember 2020 atau selama tahun ajaran 2020/2021 semester 1. Harapannya pada semester 2 kegiatan PTM sudah bisa dilaksanakan kendati harus dengan pola blended learning.

Untuk memperkuat kualitas PJJ RCTV, guru-guru melalui MGMP, KKG dan Himpaudi TK melaksanakan penugasan dan penilaian masing-masing. Evaluasi dilakukan secara daring, salah satunya melalui penilaian harian online (PHo). Peserta didik yang mengalami kendala teknis dilakukan pendampingan secara offline ke daerahnya. Dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Dan bersyukur, secara kebijakan nasional pemerintah menyubsidi biaya kuota internet guru dan siswa.

Pekerjaan rumah yang belum selesai adalah bagaimana mendesain PJJ secara efektif. Efektif dalam takaran pembelajaran darurat era pandemi, bukan pembelajaran dalam situasi normal. Faktanya tak bisa terbantahkan, jika PJJ melalui televisi lokal masih ada sejumlah kendala. Misalnya daya siar kualitas baik yang belum merata di seluruh penjuru kota. Dengan segala faktor yang mempengaruhi.

Tren PJJ memang akan menjadi fenomena pembelajaran era baru. Ini pun diakui oleh Mendikbud Nadiem Anwar Makarim saat melakukan hearing dengan DPR RI pada pertengahan covid melanda. Dengan demikian, suport pemerintah akan kuota data internet, atau penyediaan fasilitas wifi/hospot di sejumlah titik strategis akan menjadi tuntutan yang tak bisa ditawar-tawar.

Sejalan dengan itu, kemampuan guru dalam mendesain pembelajaran online yang kreatif dan inovatif harus terus dilakukan. Begitu juga kemampuan orang tua dalam pendampingan pembelajaran anak dari rumah perlu diarahkan. Namun keberhasilan PJJ memang harus melibatkan dan bersinergi dengan semua pihak, termasuk pihak swasta penyedia layanan internet dan pendidikan.

Pembelajaran era pandemi memang hanya bisa dilakukan secara jarak jauh. Tentu tak bisa memuaskan semua pihak. Namun jika ada kendala, tidak kemudian program PJJ dianggap  tidak berhasil atau gagal. Sikap bijak bagaimana mengurai kendala itu menjadi solusi. Seperti ketiadaan sarana online, bisa dilakukan cara lain dengan offline. Asal tetap mentaati protokol kesehatan dengan baik. (*)

*) Penulis adalah pegiat literasi Kota Cirebon