April 21, 2017

KETIKA KARTINI MENJADI KARTINO

Oleh : Deny Rochman

Kartini dan Kartino. Keduanya sama-sama warga Indonesia yang lahir di tanggal  dan bulan yang sama. Bedanya Kartini manusia masa lalu, sedangkan Kartino merupakan manusia masa kini. Satu bergender perempuan, sedangkan satu lagi bergender laki-laki. Kedua makhluk Tuhan itu memiliki hak yang sama, namun secara kodrati keduanya punya peran dan fungsi yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari. 

Perbedaan secara kodrati selama ini sering menjadi obyek hujatan bagi kaum feminisme sekuler bahkan dari kalangan Islam liberal sekalipun. Menurut mereka perbedaan kodrati bagi perempuan merupakan bentuk diskriminasi gender dampak dari rekonstruksi sosial oleh kaum laki-laki. Celakanya nash-nash kitab suci Al Qur’an pun dipersoalkan otentitasnya karena dianggap tidak adil terhadap perempuan.

Itu lah kemudian peringatan Hari Kartini dalam perspektif feminisme liberal seolah peringatan Hari Kebebasan perempuan dari kaum laki-laki. Indikator keberhasilan perjuangan Kartini masa kini dilihat dari kesejajaran kaum perempuan dengan kaum laki-laki di sektor publik. Seberapa banyak perempuan yang menjadi pejabat, pengusaha dan predikat prestise lainnya yang selama ini menjadi domain kaum laki-laki. 

Sebenarnya pemberontakan damai RA Kartini terhadap sistem feodalisme Jawa masa itu terletak pada hak-haknya ingin mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Tidak saja pendidikan keputerian yang mempelajari ketrampilan wilayah dapur, kasur dan sumur. Lebih dari itu juga belajar dan bergaul banyak hal seperti halnya laki-laki pada masa itu. Gejolak batinnya menyoal ajaran Islam membatasi kaum perempuan karena keterbatasan Kartini memahami ajaran kanjeng Rosulullah tentang hak dan kewajiban perempuan.  

Islam yang dipahami Kartini selama ini adalah Islam Jawa. Islam yang dipahami dalam perspektif budaya Jawa. Ironisnya, Kartini sebagai perempuan beragama Islam lebih pandai berbahasa Belanda daripada Bahasa Arab. Celakanya kitab suci Al Quran yang berbahasa Arab kala itu tidak boleh diterjemahkan dalam bahasa Jawa dan dipahami bebas oleh orang biasa. Keterbukaan hati Kartini terhadap Islam mulai terang ketika ikut mengaji dengan Kyai Sholeh Darat asal Semarang. Kartini banyak belajar tentang Islam dan persamaan dan perbedaan hak-hak perempuan dan laki-laki.

Sayangnya kegiatan literasi Kartini bersama Kyai Sholeh luput dari korespondensi Kartini dengan Ny Abendanon di Belanda. Namun pasca berguru dengan Kyai Sholeh pesan surat Kartini mulai berbeda dalam memandang Islam. Sebaliknya Kartini mempertanyaan kiprah kaum perempuan Eropa dan menolak gerakan westernisasi. Orang Jawa yang berpikir dan berperilaku gaya orang Eropa. Fase keislaman Kartini seolah keluar dari jaman jahiliyah: Habis Gelap Terbitlah Terang. Mina Dzulumati Ila Nur. 

Dalam konteks Islam, hak laki-laki dan perempuan diperlakukan hal yang sama. Hal yang istimewa dari keduanya adalah karena ketakwaannya (baca:QS An-Nahl: 97). Tidak ada perlakuan khusus yang membuat keduanya berbeda saat menapakan kakinya menuju pintu surga. Hanya saja pintu surga kedua manusia berbeda gender itu diperoleh dengan cara berbeda. Dengan kewajiban berbeda. Kiprah kaum pria lebih banyak di sektor publik, sementara kaum perempuan di sektor domestik (rumah). Jika pun perempuan memaksakan bekerja di sektor publik maka sepandai mungkin tidak mengabaikan wilayah domestiknya.

Jika perempuan harus sama dalam semua hal dengan kaum laki-laki, maka Kartini masa kini harus siap menjadi Kartino. Sosok manusia yang berotot, banyak bermain wilayah akal daripada perasaan, siap berkonflik terbuka, jika hendak berkarir sama dengan kaum maskulin. Namun bersiaplah, keadaan keluarganya akan menghadapi silih berganti permasalahan jika tidak pandai mengelola rumah tangganya dengan baik. Mestinya pemahaman ini mulai dipahami oleh para generasi muda melalui dunia pendidikan. Wallahu’alam bishowab. 

*) Penulis adalah pegiat Gerakan Literasi Kota Cirebon