Maret 13, 2017

JANGAN ASAL PILIH BUKU BACAAN

_________________
Oleh: Deny Rochman
--------------------------
Sejak Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dicanangkan Pemerintah tahun 2015, peran buku bacaan bagi anak semakin penting. Keberadaan perpustakaan sekolah dan perpustakaan daerah kian dipadati pengunjung. Beberapa perpustakaan miliki komunitas penggiat literasi pun tidak luput dikunjungi. Tren yang berkembang, banyak sekolah yang mengaku kehabisan buku bacaan untuk siswanya.

Kehadiran buku khususnya buku bacaan non pelajaran menjadi bagian penting dalam Gerakan Literasi Sekolah. Terlebih di Jawa Barat yang memiliki pola tersendiri dalam membudayakan literasi di sekolah-sekolah wilayahnya. Melalui program West Java Leader's Reading Challenge (WJLRC), setiap siswa sekolah SD dan SMP diwajibkan membaca, mereview dan mempresentasikan buku, termasuk guru2 pendampingnya dalam rentang waktu 10 bulan.

Untuk memenuhi kebutuhan pengadaan buku memang gampang-gampang susah. Gampang jika hanya menyiapkan buku bacaan bagi anak usia sekolah jumlahnya berserakan. Namun memilih buku yang berkualitas baik dan relevan dengan perkembangan anak hal itu tidak mudah. Kini penerbitan buku, seperti halnya dunia penerbitan media massa jumlahnya kian banyak. Banyaknya jumlah penerbitan membuat orientasi profit tidak bisa terhindarkan.

Begitu banyak penerbitan buku-buku bersegmen anak dan remaja yang kurang mendidik seiring berkembangnya penerbitan buku bergeser kepada industri penerbitan mengedepankan profit oriented. Lihat saja saat event bazar buku, banyak ditemukan buku-buku yang ditulis bukan oleh yang berkompeten di bidangnya. Buku-buku remaja malah banyak bernuansa romantisme, percintaan, konflik dan kekerasan.

Kasus yang masih hangat dalam ingatan kita adalah beredarnya buku anak berjudul “Cerita Aku Belajar Mengendalikan Diri" dalam seri "Aku Bisa Melindungi Diri". Buku terbitan di Kota Surakarta Jawa Tengah tersebut menuai kontroversi karena dijumpai pada satu bagian isi buku mengupas tentang pendidikan seks bagi anak. Jika pemilihan buku bacaan siswa tidak dikontrol oleh orangtua atau guru maka program literarasi hendak mencerahkan anak bangsa malah menyesatkan.

Masalah lain yang pernah terjadi sikap keberatan guru pembimbing pada sebuah sekolah di Jawa Barat tentang pembebasan siswa memilih bahan bacaan untuk program literasi. Guru tersebut keberatan jika siswanya membaca buku-buku novel. Alasannya karena buku novel yang beredar banyak memuat tentang percintaan, konflik dan kekerasan. Tentu sebuah sikap kehati-hatian yang baik oleh sekolah demi masa depan anak didiknya. Ini harus bisa dipahami semua pihak dalam dunia pendidikan, khususnya guru pendamping program literasi sekolah. 

Pada bagian lain, era pasar bebas dan globalisasi membuat sektor penerbitan buku tak luput dari polusi kepentingan. Apakah kepentingan bisnis, budaya maupun politik. Wajar jika para pendidik wajib menfilter buku-buku yang dikonsumsi anak didiknya. Karena buku sangat lekat dengan dunia pendidikan. Sementara pendidikan media efektif membangun peradaban jaman.

"MENCERAHKAN
Jika menilik dari tujuan awal pemerintah meluncurkan GLS adalah menumbuhkan budi pekerti melalui pembisaan membaca buku non pelajaran di sekolah. Sesuai yang tertuang dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2015. Mengapa buku non pelajaran? Buku-buku pelajaran lebih kepada penguatan teori dan konsep das sollen. Sedangkan buku bacaan lebih kpd aplikasi teori dan konsep das sein.

Buku bacaan menurut Masnur Muslich (2010) dalam bukunya Text Book Writing adalah buku yang memuat kumpulan bacaan, informasi, atau uraian yang dapat memperluas pengetahuan siswa bidang tertentu. Buku jenis ini bisa menunjang buku teks yang ada di sekolah.

Berangkat dari landasan yuridis formal di atas maka buku bacaan non pelajaran yang dipilih harus mencerahkan siswa dan guru. Baik mencerahkan secara intelektual, emosional maupun spiritual. Masnur mengatakan buku hrus memiliki asas manfaat positif, seperti (1) dapat memperluas wawasan anak; (2) dapat menambah pengetahuan baru; (3) dapat membimbing berfikir konstruktif; (4) dapat mengarahkan kreatifitas; (5) dapat menumbuhkan sikap moral, sosial dan agama yang baik; dan (6) dapat menuntut kearah kehidupan yang mandiri.   .

Dalam pandangan Hernowo dalam bukunya "Mengikat Mana" mengatakan, sebagai makanan ruhani buku yang baik adalah buku yang bergizi. Buku yang mampu mampu merangsang pikiran pembacanya untuk bergerak. Buku bergizi memerlukan gagasan cemerlang, yang mampu melakukan perubahan-perubahan besar dan berarti.

Secara teknis, buku bacaan siswa harus sesuai dengan selera pembacanya. Baik dari sisi bahasanya yg mudah dicerna, mengalir dan enak dibaca serta tema yang diangkat menarik. Maupun dari sisi perwajahan, tata letak, perwarnaan dan juga dari sisi harga yang harus terjangkau. 

Keterlibatan guru secara aktif dalam GLS, misalnya ikut diberi kewajiban membaca dan meriew buku, merupakan bagian dari program budi pekerti. Keberhasilan pendidikan budi pekerti dilakukan melalui pembiasaan, motivasi dan keteladanan. Pembiasaan membaca buku sebelum kegiatan belajar, mereview dan mempresentasikan. Memotivasi agar literacy habit tsb tetap konsisten. Dan keteladanan hrs mjd panutan bagi anak didik.

Tema buku-buku bacaan yang direkomendasikan untuk program literasi misalnya tentang persahabatan, pertualangan, motivasi, tema penguatan karakter, biografi tokoh sukses, sejarah perjuangan dan sejenisnya yang relevan dengan penumbuhan budi pekerti. Dengan pemilahan ini maka harapan penumbuhan budi pekerti melalui program GLS akan sesuai harapan. Semoga! (*)

*) penulis adalah pecinta literasi asal kota Cirebon.