Book Review Competition atau lomba mereview buku. Lomba jenis
ini boleh dibilang lomba baru dalam event untuk lingkup pendidikan bahkan bisa
jadi dalam cakupan umum. Pegiat literasi kota Cire
bon, melalui program Cirebon
Leader’s Reading Challenge (CLRC) menjadi motor penggerak dalam lomba perdana
tersebut.
Tidak tanggung-tangung, lomba ini diadakan di pusat
keramaian Cirebon Super Block Mall di kawasan Jalan Ciptomangunkusumo Kota
Cirebon. Sebuah lomba yang disponsori
oleh TB Gramedia Cipto kota tersebut yang tengah mengadakan expo buku yang
berlangsung pada tanggal 13-23 Oktober 2016. Disepakati, ada dua bentuk Book
Review Competition tersebut yakni sejenis lomba ranking satu dan lomba tantangan
diskusi literasi.
Kesepakatan dua bentuk lomba tersebut setelah tim penggerak literasi
beberapa kali mengadakan rapat internal konsep acara mengisi expo buku Gramedia
sejak penawaran kerjasama pada akhir September tersebut. Dalam proses penetapan
bentuk lomba, beberapa tim terpaksa harus beradu argumen, khususnya dalam
mematangkan lomba diskusi. Berbeda dengan lomba ranking 1 sudah banyak contoh
kegiatan serupa di gelar, baik di televisi maupun di tempat-tempat lain.
Sementara lomba diskusi, apalagi mengenakan kostum tokoh di
dalam buku yang direview tersebut, lomba jenis ini boleh dibilang masih langka.
Kalau tidak dikatakan belum ada sama sekali. Sehingga pada saat saya (deny
rochman) mengusulkan konsep lomba review buku maka setiap penggerak dan
perintis literasi di kota ini memiliki imajinasi dan deskripsi masing-masing. Ada
yang memahaminya dalam bentuk drama, ada juga berupa diskusi biasa tetapi tidak
sedikit berfikir blank. Ga ngerti.
Ide saya tersebut sempat berbeda dengan pemahanan Yudi
Biantoro. Tim penggerak literasi yang progresif ini menangkap konsep lomba
diskusi tersebut seperti drama atau cosplay. Cosplay berasal dari penggabungan
kata costum dan play adalah penggunakan kostum tokoh. Pemahaman lain lomba
diskusi berkostum tersebut dipahami sebagai drama kabaret.
Mendramakan dari hasil review buku memang menarik, seperti
menariknya buku novel yang difilmkan. Namun saya beralasan waktu yang pendek tidak
mungkin setiap sekolah mampu menyiapkan drama review buku cerita yang mereka
baca. Selain itu, semangat mengembangkan program literasi Jawa Barat semakin
kehilangan arah jika memilik review buku dilakukan melalui dram
a.
Alasan memilih bentuk lomba diskusi dalam mengisi acara TB
Gramedia memiliki dasar argumen yang rasional. Pertama, kegiatan diskusi review
buku adalah kegiatan rutinitas bagi sekolah perintis literasi di Jawa Barat,
termasuk di Kota Cirebon. Sekalipun di kota ini belum semua sekolah, apalagi
SMA/SMK yang belum ada dalam program Jabar, mengikuti GLS WJLRC. Namun perkenalan
awal menjadi modal utama dalam melaksanakan lomba ini.
Dengan sekolah mengenal awal kegiatan diskusi versi GLS Jawa
Barat, maka pemahaman mereka tentang lomba diskusi akan lebih mudah. Terlebih bagi
sekolah yang sudah melaksanakan kegiatan review buku di kelompok dan sekolahnya
masing-masing dibawah bimbingan guru pendamping. Artinya dengan persiapan yang seadanya
pun setiap sekolah bisa berpartisipasi mengikuti lomba tersebut.
Alasan kedua memilih lomba diskusi review buku adalah dalam
rangka mendukung dan mengembangkan program literasi di Jawa Barat. Kegiatan review
buku memang menjadi bagian dari kegiatan gerakan literasi program West Java
Leader’s Reading Challenge (WJLRC). Dalam Gerakan Literasi Sekolah versi WJLRC
tersebut, satu kelompok siswa terdiri dari lima orang. Dengan melalui model
diskusi berkostum tokoh diharapkan akan menjadi daya tarik bagi siswa untuk menumbuhkan
budaya literasi di sekolah.
Lomba diskusi cosplay tersebut digelar dalam satu hari, Kamis
20 Oktober 2016 mulai pukul 12.20 hingga pukul 17.00 WIB. Sebagai juri adalah Sri
Murtiani, S.Pd, M.Pd (Pengawas Pendidikan), Hadi Romdoni, S.Pd MM (tim
penggerak literasi Jawa Barat) dan Andre (TB Gramedia). Sebelum lomba, para
dewan juri mengadakan rapat terlebih dahulu di Cafe Tong Dji di Mall setempat.
Dalam pertemuan singkat tersebut disepakati kriteria lomba
yaitu kesesuaian tema, pola diskusi, kostum/properti, daya tarik, media
pembelajarn literasi. Media literasi ini berupa pohon geulis dan hasil review
buku yang mereka baca menjadi bagian penilaian lomba. Buku yang mereka review
juga diserahkan kepada dewan juri sebagai dasar dalam mencocokkan isi dengan
tampilan peserta di atas panggung.
Sebagai lomba baru, tidak semua sekolah terlibat dalam lomba
tersebut. Tercatat hingga hari H lomba untuk tingkat SMP hanya delapan sekolah,
untuk SMA hanya dua sekolah sedangkan SD tidak ada yang mendaftar. Peserta SMP
yang ikut antara lain SMP 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan SMP 11. Untuk kategori SMA
hanya diikuti SMA 2 dan SMA 3.
Kurangnya peminat yang daftar karena didasarkan dua alasan. Pertama
karena waktunya yang sangat pendek sehingga proses sosialisasi ke
sekolah-sekolah tidak maksimal. Penyebaran informasi hanya melalui media sosial
seperti facebook dan whatsapp. Sisanya menggunakan surat edaran yang
dikeluarkan Dinas Pendidikan Kota Cirebon. Kedua, konsep lomba khususnya bentuk
diskusi masih belum familiar di kalangan guru-guru sehingga mereka sulit
menterjemahkannya.
Dari peserta SMP satu diantaranya adalah SMP Negeri 4 Kota Cirebon.
Sekolah ini adalah sekolah dimana saya mengajar terletak di Jalan Pemuda No. 6
Kota Cirebon. Kendati saya adalah panitia penanggung jawab lomba diskusi, namun
informasi ini baru sampai ke guru perintis di sekolah ini baru tiga hari
sebelum lomba. Ini terjadi karena ada miss communication sesama guru pegiat
literasi sekolah tersebut.
Setelah melakukan persiapan marathon, akhirnya disepakati
buku karya Jenar Respati Putera dipilih sebagai bahan untuk review,
dipresntasikan dan didiskusikan. Judul buku tersebut adalah 13 Cerita Hantu
Paling Seram di Sekolah dan Cerita-cerita Super Horor lainnya. Buku tersebut
mendadak berburu di TB Gramedia, karena waktunya yang pendek tidak sempat untuk
meminjam buku milik siswa yang sudah di review di kelompoknya sebelumnya.
Setelah Selasa 18 Oktober buku itu diperoleh, maka dengan
teknik cepat buku itu dibaca kemudian dibuatkan skrip alur dialog. Keesokan harinya,
draf konsep dialog tersebut didiskusikan dengan rekan perintis literasi Ibu Oom
Istikomariah, S.Psi. bertempat di masjid sekolah, para siswa dipilih dan
dilatih terus kemampuan dialognya hingga mereka menguasai bahan yang akan
ditampilkan di atas panggung.Kostum yang disepakati adalah ratu jin, tuyul, gondoruwo, drakula, kuntilanak dan suster ngedot.
Dalam waktu bersamaan, selain Ibu Oom dan siswa menyiapkan
kostum pendukung lomba, saya terus menyiapkan back sound yang akan melengkapi
serunya jalan diskusi. Sound effect dibuat dengan suasana horor yang mencekap,
dengan musik latar, suara anjing, burung hantu, suara kuntilanak, suara hujan
dan petir hingga gamelan jawa. Semua diracik agar penampilan nomor urut pertama
siswa SMP Negeri 4 Kota Cirebon tampil menarik.
Pada hari H, semua properti dan kostum disiapkan. Pohon geulis
berupa ranting dan pot bunga dibawa ke lokasi dengan menggunakan motor karena
tidak muat jika naik mobil. Sementara para siswa dan guru pendamping
menggunakan kendaraan mobil pribadi ke lokasi lomba pukul 10.30 WIB. Tampilan pertama
di atas panggung tersebut, banyak pihak menilai sangat menarik. (denyrochman)