Oleh :
Deny Rochman, S.Sos.,M.Pd.I
Mendengar
istilah Gelem Maca sejak awal telinga saya mulai tertarik. Saya pikir sebutan itu
memang punya makna sesungguhnya, yang dalam bahasa Indonesia maknanya “mau baca”.
Ternyata istilah itu punya pengertian panjang yaitu Gerakan Literasi Masyarakat
Kota Cirebon. Sebuah gerakan komunitas yang ingin menumbuhkan semangat belajar
membaca dan menulis tingkat tinggi (mahir).
Di level
sekolah, gerakan ini dalam bentuk program bernama Cirebon Leader’s Reading
Challenge (CLRC). Sebuah kegiatan menantang para siswa dalam membaca dan
menulis review buku yang mereka baca dalam waktu tertentu. Semakin banyak buku
yang direview maka semakin terbuka kesempatan mendapatkan penghargaan medali
dari pemerintah.
Komunitas Gelem Maca boleh dibilang
sebagai trade mark-nya wong (orang) Cirebon. Mengapa? Karena di daerah lain di
Jawa Barat komunitas gerakan literasi beragam namanya. Seperti di Bogor ada
istilah KAGUM singkatan dari Komunitas Gemar Menulis dan Membaca. Atau LRCKB yaitu
Kegiatan meningkatkan kemampuan literacy siswa di Kabupaten Bandung.
"Ide liar" kawan-kawan deklarator kota
Cirebon tentang komunitas Gelem Maca boleh diacungin jempol. Ide awal tersebut
kemudian dikukuhkan menjadi identitas resmi komunitas yang akan menggerakan
gerakan literasi berbasis di sekolah-sekolah. Nama komunitas tersebut, ibarat
sebuah produk komersil sudah memenuhi citra rasa, identitas dan emosional yang
klik buat orang Cirebon.
MERK PEMBEDA
Ibarat sebagai produk, Gelem Maca
memiliki nilai diferensiasi dengan
komunitas serupa di kota kabupaten lain. Perbedaan ini sangat penting agar melekat
identitas tersebut lebih dikenal dari merek lainnya. Sama halnya seperti nama
orang, jika namana sama betapa sulitnya orang untuk mengenali satu dengan yang
lainnya.
Dalam perspektif bisnis, menurut Jaya
Setiabudi dalam bukunya “Kitab Anti bangkrut”, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat
branding (merk) sehingga mudah kenal yakni (1) Sesuai target pasar; (2)
Terasosiasi oleh differensiasi; (3) Menghindari singkatan konsonan; (4) Hindari
penggunaan angka; (5) Bikin aneh dan nyeleneh; dan (6) Mudah diucap dan
diingat.
Sementara itu Rustan dalam tulisan berjudul Cara Membuat
Nama Merk di situs excellent-branding.com menjelaskan tujuh hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, penggunaan
bahasa disesuaikan dengan masyarakat setempat. Kedua, unik dan orisinil. Kesamaan nama akan menimbulkan
kebingungan bahkan bisa jadi menjadi boomerang bagi perusahaan anda.
Ketiga, singkat.
Tujuannya adalah memudahkan untuk diingat. Keempat, Tidak mirip dengan kata
lain, baik ditulis maupun di ucapkan, sehingga tidak membuatnya menjadi ambigu
dan menimbulkan salah pengertian. Kelima,
tidak mengandung konotasi yang negatif karena ini akan berpengaruh pada
brand image. Keenam, fleksibel
sehingga memiliki jangka waktu yang panjang dan tidak perlu dirubah-rubah
mengikuti perkembangan jaman.
Ketujuh, tetap
jelas dan menarik ketika di visualkan dalam bentuk logo atau digabungkan dengan
bentuk visual lainnya. Ini akan sangat membantu ketika produk anda dipasarkan
keluar negeri. Meskipun nama bisa saja anda rubah pada beberapa negara, bentuk
visual akan membantu brand anda untuk tetap dikenali sebagai brand
yang sama.
Secara teori branding tersebut, Gelem Maca memiliki
originalitas yang unik, singkat, mudah diucap, diingat dan menarik, menjadi membedakan
komunitas literasi di kota Cirebon dengan kota-kota lainnya. Dilihat dari sisi
bahasa, Gelem Maca lebih Cirebon banget karena dalam bahasa Cirebon Gelem Maca
itu punya arti Mau Baca. Sehingga memiliki nilai ikatan emosional dengan orang-orang
Cirebon.
Sebagai sebuah merek, salah satu produk Gelem Maca adalah
Cirebon Leader’s Reading Challenge (CLRC). Sebuah program literasi turunan dari
program West Java LEADER'S READING CHALLENGE yang sudah diuji
coba di tingkat Jawa Barat sejak tahun 2012. Program yang mengadopsi dan
diadaptasi dari program serupa yang sudah dan berhasil diterapkan di
sekolah-sekolah Adelaide Australia Selatan. (*)