Inilah arti habis gelap terbitlah terang yang sebenarnya…
“Selama
ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya.
Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna
tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa
yang saya pahami.”.
Salah satu murid
Mbah Kyai Sholeh Darat yang terkenal, tetapi bukan dari kalangan ulama
adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Sholeh Darat
menjadi pelopor penerjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Jawa. Menurut catatan
cucu Kyai Sholeh Darat (Hj. Fadhilah Sholeh), RA Kartini pernah punya
pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya
memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Qur’an.
Raden
Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas
bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati
Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama.
Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai
Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi
ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hinggaHamengkubuwana VI. Ayah
Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial
waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan.
Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah
lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja
Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi
bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan,
R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah
anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario
Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini,
Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai
usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere
School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi
setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa
dipingit.
Surat Curhat Galau
Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
Mengenai
agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya
mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama
Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai
agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Alquran
terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar
bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti
Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang
dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang
diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya
engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi
artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
Dan
waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa
perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar
menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku
mengerti artinya.
Jangan-jangan,
guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya,
nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci,
sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.
Bertemu Kyai Sholeh Darat
Kalau
membaca surat surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari
Belanda, terkesan Raden Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut
feminisme. Namun kisah berikut ini semoga bisa memberi informasi baru
mengenai apresiasi Kartini pada Islam dan Ilmu Tasawuf.
Mengapa?
Karena dalam surat surat RA Kartini yang notabene sudah diedit dan
dalam pengawasan Abendanon yang notabene merupakan aparat pemerintah
kolonial Belanda plus Orientalis itu, dalam surat surat Kartini beliu
sama sekali tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar
dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat.
Alhamdullilah, Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, tergerak
menuliskan kisah ini.
Takdir, menurut
Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat.
Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran
Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Kemudian
ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini
menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh
Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA
Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat.
Kyai
Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini
tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan
mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi
kata yang disampaikan sang penceramah.
Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah
pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai
Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini
merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai,
selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al
Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah,
menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kyai
Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini
melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun,
aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan
penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah
bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog
berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa
berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran
Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke
dalam Bahasa Jawa.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Dalam
pertemuan itu RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena
menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui
artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang
orang menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat melanggar larangan
ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab
gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab
tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman,
tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab
ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah
dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat
menyukai hadiah itu dan mengatakan:
“Selama
ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya.
Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna
tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa
yang saya pahami.”
Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:
Orang-orang beriman dibimbing Alloh dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqoroh: 257).
Dalam
banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari
gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door
Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan
menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku
kumpulan surat-menyuratnya.
Surat
yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim.
Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya.
Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai
karena Mbah Kyai Sholeh Darat keburu wafat.
Kyai
Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan
Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini
bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
Sudah
lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar
yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat
Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah
dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut
disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;
Saya
bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap
menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja
membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
(Berbagai sumber)
*
Kyai Sholeh Darat Semarang adalah guru para ulama besar di indonesia
diantaranya: KH. A.Dahlan (pendiri muhamadiyah) KH. Hasyim Asyari
(pendiri Nahdlatul Ulama NU)
Sumber: sangpencerah.com