April 21, 2016

MENYELAMATKAN ANAK DARI PELECEHAN DAN KEKERASAN

Oleh : Deny Rochman.

Anak-anak Indonesia sedang menjadi korban salah didik. Pendidikan dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, media massa ataupun negara. Akibatnya perkembangan jiwa generasi penerus bangsa tersebut mengalami hambatan. Mereka tertekan, tersiksa dan menderita akibat pelecehan seksual, kekerasan fisik dan verbal yang terjadi di semua lingkungan sosial. Perlu ada penyelamatan anak secara massif jika masa depan bangsa ini tidak mengalami keterpurukan.

Upaya menyelamatkan masa depan anak adalah kembali merevitalisasi fungsi dan peran pendidikan bagi anak. Secara sosiologis, perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh agen-agen sosialisasi (agent of socialization) seperti keluarga, sekolah, teman bermain dan media massa. Keluarga merupakan agen utama dalam menjalankan sosialisasi primer dalam mempengaruhi kepribadian anak.


Sosialisasi primer adalah sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sedangkan sekolah, teman bermain dan media massa merupakan agen sosialisasi sekunder yaitu proses belajar lanjutan bagi seorang individu dalam menyesuaikan hidup di masyarakat. Kedua proses sosialisasi tersebut akan saling mempengaruhi terhadap kepribadian anak.

Proses belajar yang utama dalam keberhasilan mendidik anak sebenarnya terletak pada pola pendidikan di dalam keluarga. Karena fungsi keluarga, selain memiliki fungsi reproduksi, afeksi (kasih sayang), ekonomi dan proteksi, juga fungsi pendidikan (sosialisasi). Bagaimana ketangguhan jiwa dan kepribadian anak dalam bertahan terhadap virus berbahaya dalam pergaulan, tergantung dari tingkat keberhasilan orangtua dalam mendidiknya.

Problemnya sekarang, orangtua mengalami kesulitan bahkan frustasi dalam mencari pola pendidikan anak di era globalisasi. Tidak hanya frustasi karena seluruh agen sosialisasi sekunder (sekolah, teman dan media massa) yang dianggap sudah tidak sehat dalam menjalankan fungsi pendidikan.

Agen ini sudah sangat rentan terhadap pengaruh kekerasan, pelecehan dan nilai-nilai menjurus pada penyimpangan sosial.
Di internal keluarga pendidikan anak sudah mengalami disfungsional sistem. Kedua orang tua sudah sibuk dengan dunia pekerjaannya. Anak dibesarkan dilingkungan sekolah sejak usia dini (play gorup, PAUD, TK) hingga dewasa. Hari-hari anak lebih banyak dengan pembantu, dengan teman dan media massa televisi, internet dan lainnya. Perhatian orangtua berkurang, hanya menjalankan fungsi ekonomi: sandang, pangan, papan, uang jajan dan biaya pendidikan anak.

Mulailah orangtua mengatur pola hidupnya dalam pendidikan keluarga. Pembagian tugas kerja, ayah di luar rumah (sektor publik) dan ibu di rumahan (sektor domestik) akan lebih baik. Bisa saja seorang ibu bekerja, namun tetap pekerjaan yang masih memiliki waktu luang dalam mendidik anak. Misalnya menjadi guru, membuka usaha di rumah dan sebagainya. Walaupun ada pembantu namun hanya mengurus pekerjaan rumah, bukan anak. Carilah pembantu yang dikenal latarbelakang kehidupannya.

Pilihlah sekolah-sekolah yang teruji kualitasnya dalam mendidik anak dari sisi kecerdasan intelektual, emosional maupun spiritual. Lihatlah kemampuan guru-gurunya dalam mengajar, bukan hanya aspek sarana gedung dan fasilitas sekolah yang menjadi pertimbangan menyekolahkan anak. Kenali guru, teman dan orang tua mereka yang berteman dengan anak kita untuk memastikan bahwa mereka bukan orang-orang bermasalah secara moral dan hukum. Didiklah sejak dini di rumah anak-anak dengan agama dan kenalkanlah dengan pendidikan seks.

Bangun komunikasi secara intensif dengan anggota keluarga dimana pun dan kapan pun. Jangan bosan untuk sharing dan bertanya kepada anak kita ketika di rumah selama aktifitas diluar rumah. Jadilah sebagai orang tua atau pendidik yang problem solver ketika anak ada masalah. Tidak kemudian membuat diri kita menjadi masalah baru bagi anak karena sikap kita sering menghakimi.

Batasi anak dan keluarga dalam mengkonsumsi informasi dan hiburan dari media massa, apakah media cetak, elektronik maupun cybernet. Sebisa mungkin orangtua mendampingi anak dalam menikmati media massa. Bertemanlah dengan anak kita yang memiliki akun jejaring sosial, sehingga kita bisa memantau perkembangan anak, tanpa sekali lagi harus merecoki komunikasi anak di dunia maya. (*)
*) Penulis adalah Guru IPS SMP Negeri 4 Kota Cirebon