Oleh :
Deny Rochman
- PENDAHULUAN
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam pikiran adalah berbagai
macam pendapat. Ada yang mengatakan bahwa manusia adalah hewan rasional (animal
rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Yang lain menilai
manusia sebagai animal simbolik karena suka mengkomunikasikan dan menafsirkan bahasa
simbol-simbol. Ada juga yang menilai manusia sebagai homo feber, dimana manusia
adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja.
Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia
merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup.
Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus
menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut
sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk
yang lain. Manusia juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan
manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya.
Salah satu bagian
yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang
bermain). Manusia dalam bermain memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan
bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan
dalam sejarahnya juga digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu
kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritus suci.
Mengenai
sifat makhluk yang bernama manusia itu sendiri yakni bahwa makhluk itu memiliki
potensi lupa atau memiliki kemampuan bergerak yang melahirkan dinamisme, atau
makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, humanisme dan
kebahagiaan pada pihak-pihak lain. Dan juga manusia itu pada hakikatnya
merupakan makhluk yang berfikir, berbicara, berjalan, menangis, merasa,
bersikap dan bertindak serta bergerak.
Perbedaan
pendapat ini lebih dipengaruhi oleh paradigma pemikiran yang berbeda antara
satu ilmuwan dengan yang lainnya. Latar belakang keilmuan, pengalaman, budaya
dan situasi sosial ikut membentuk cara pandang seorang ilmuwan dalam memahami
hakekat manusia.
B. Manusia dalam Konsep Barat
Beberapa
filsuf memberikan pandangannya dalam memahami makhluk yang bernama manusia. Beberapa
filsuf antara lain :
1.
Aristoteles
Menurut
Aristoteles, manusia adalah makhluk yang berakal budi. Dengan akal budi itulah
ia dapat berpikir dan mengambil tindakan. Manusia adalah makhluk yang rasional.
Puncak perbuatan kesusilaan manusia terletak dalam “pikiran murni”. Kebahagiaan
mnausia yang tertinggi adalah “berpikir murni”. Tetapi, puncak itu hanya dapat
dicapai oleh para Dewa. Manusia hanya dapat mencoba mendekatinya dengan
mengatur keinginannya. Manusia itu bukan serigala, melainkan ia adalah makluk
yang berpikir ( animal rationale). Artinya, dengan pikirannya ia mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dalam tindakannya. Dengan
pikirannya pula, ia bisa mengatasi naluri kebinatangannya dan bertindak lebih
menusiawi. Berbekalkan akal budinya aksinya bukan hanya merupakan actus hominis
dalam arti gerakan-gerakan yang hanya dikuasai oleh hukum-hukum biologis,
melainkan merupakan actus humanus dalam arti tindakannya sarat dengan
pertimbangan-pertimbangan nilai.
2. Plato
Dalam
pemikirann Plato, seorang pribadi merupakan bagian dari dunia fisik dalam
pengertian bahwa ia mempunyai tubuh yang melaluinya dia menerima
impresi-impresi indrawi. Tetapi, pada waktu yang sama ia mempunyai budi rohani
yang mampu mengetahui kebenaran-kebenaran abadi yang mengatasi dunia. Ia juga
mempunyai daya mengarahkan, jiwa, yang digambarkan oleh Plato sebagai
pengendara kereta, yang membimbing dan dibimbing oleh dua kuda, budi dan badan.
Budi
ingin menjelajahi kawasan surgawi dari ide-ide memahami mereka; badan ingin
terlibat dalam masalah-masalah duniawi yang berkaitanm dengan indera. Jiwa
manusia terperangkap antara dua kekuatan yang berlainan ini. Jiwa mencoba
mengarahkan, tetapi terperangkap dalam penjara badan. Maka, menurut Plato,
manusia tidak mempunyai kebebasan nyata bila hidup mereka dipusatkan pada
tuntutan-tuntutan fisik. Namun, jiwa manusia dapat membebaskan diri dari
belenggu ini dan mengarahkan hidup, baik di lingkungan fisik maupun
kegiatan-kegiatan intelektual. Tetapi, ini terjadi hanya setelah eksistensi
badani sehingga jiwa naik ke dunia abadi, Ide-Ide. Bagi Plato, jiwa dan badan
merupakan dua hal berbeda. Jiwa itu immortal, abadi; dia mendiamni badan yang
sementara.
3. Jean- Paul Sartre
Eksistensi
mendahului esensi adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir),
menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru
setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai
eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan. Hal itu adalah
karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan
menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan
sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab
tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia).
Inilah
prinsip pertama dari eksistensialisme. Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang
menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu
subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu?
Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri
misalnya: kita lahir di mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan
berbahasa apa, dan macam-macam hal lainnya?.
Mengenai
subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun, bukan subjektivitas sebagaimana
dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam
pengertiannya tentang eksistensi, bahwa manusia itu mempunyai martabat yang
lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud
Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis. Bahwa manusia adalah manusia
(man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia
menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu
mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia
(what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme, bahwa manusia
dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban
eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak
lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri.
Melainkan, bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Kita tentu
bertanya, bagaimana bisa demikian?
Untuk
menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian
yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa
manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human
subjectivity). Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam
dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran
kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus
mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih
dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya.
Memilih
antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai
dari apa yang dipilih. Dan, yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap
lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk
semua. Tanggung-jawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini.
Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu
keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua
dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya yaitu tentang
humanisme.
Dalam
pandangan Sartre, yang membedakan humanismenya dengan humanisme yang sudah
digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya.
Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena
masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia
itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan
manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan
sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement). Baginya,
tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu
ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan,
dan kemanusiaan. Untuk itu Allah harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah
hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre,
mengutip Dostoevsky, “Jika Allah tidak eksis, maka segala sesuatu akan
diizinkan”. Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre.
Manusia
lantas tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia
yang spesifik dan tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu bebas, manusia
adalah bebas. Tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkan sendirian. Manusia
dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk, sebab ia tidak menciptakan
dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan, terhitung sejak ia terlempar
ke dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action
(tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna
memberi makna pada kemanusiaan. Action dan bukan quietism. Dengan kata lain, “Man
is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises
himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else
but what his life is”. Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia
lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia.
Namun,
tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu
saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian
tindakan-tindakan yang sudah, sedang, dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya.
“A man is no other than a series of undertakings that he is the sum, the
organisation, the set of relations that constitute these undertakings”.
Lewat itulah muncul apa yang kita sebut komitmen. “I ought to commit myself
and then act my commitmen”. Dan, komitmen itupun perlu dipahami sebagai
komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu.
Inilah yang membedakan Humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi
humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih
pada etika tindakan dan self-commitment.
Konsepsi
humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat manusia itu sendiri,
satu-satunya hal yang tidak membuat manusia menjadi sebuah objek. Dengan
mengkritik materialisme yang mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di
dalamnya) pada materi, Sartre mau membangun kerajaan manusia (bukan Kerajaan
Allah!) sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang berbeda dari dunia materi.
Subyektivitas, sebagaimana sudah disinggung pada bagian satu di atas tidak bisa
dipersempit artinya menjadi individual subjectivism. Sebabnya apa? Meminjam
istilah yang digunakan Descartes, namun sekaligus mengoreksinya, dalam
kesadaran cogito, aku berpikir, tidak hanya diri sendiri yang ditemukan namun
juga orang lain. Manusia tidak bisa menjadi apapun kecuali, kalau orang lain
mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian. Penyingkapan jati diriku
pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri orang lain sebagai sebuah
kebebasan yang berhadapan dengan kebebasanku. Berhadapan baik dalam artian
“bagi” atau “melawan.” Dengan begitu, kesadaran akan diriku dalam dunia ini
sifatnya adalah inter-subjectivity. Berkenaan dengan itu, meskipun menyangkal
adanya kodrat manusia, Sartre mengakui adanya “a human universality of
condition”. Human universality ini bukan sesuatu yang sudah jadi (given), namun
yang harus senantiasa dibuat oleh manusia yang melakukan tindakan pemilihan
lagi, dan lagi selama hidupnya.
Sartre
sudah menekankan bahwa tidak ada Tuhan yang menciptakan nilai-nilai bagi
manusia. Manusia sendirilah yang harus menemukan (invent dan bukan create)
nilai-nilai bagi dirinya sendiri. Dan, penemuan nilai-nilai ini berarti bahwa
tidak ada yang à priori dalam hidup. Hidup belumlah apa-apa jika belum
dihayati. Dan, penghayatan ini, engkau sendirilah yang menetukannya. Dan nilai
atau makna atas kehidupan ini tak lain tak bukan adalah sesuatu yang engkau
pilih. Karenanya, menjadi jelas bahwa selalu ada kemungkinan untuk menciptakan
sebuah komunitas manusia. Dengan itu, Sartre mau menegaskan bahwa yang ia
maksud dengan humanisme di sini bukanlah humanisme dalam kerangka teori yang
meninggikan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan
sebagai nilai tertinggi (supreme value). Bagi Sartre, ini humanisme yang absurd sebab hanya anjing atau kuda yang paling mungkin berada dalam posisi untuk melontarkan penilaian umum atas apa manusia itu. Seorang eksistensialis tidak pernah menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri sebab manusia masih harus ditentukan. Humanity yang absurd semacam ini akan menggiring manusia pada pengkultusan, suatu sikap tertutup-pada-dirinya-sendiri sebagaimana sudah dirintis oleh Auguste Comte (comtian humanism), dan berpuncak pada Fasisme.
sebagai nilai tertinggi (supreme value). Bagi Sartre, ini humanisme yang absurd sebab hanya anjing atau kuda yang paling mungkin berada dalam posisi untuk melontarkan penilaian umum atas apa manusia itu. Seorang eksistensialis tidak pernah menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri sebab manusia masih harus ditentukan. Humanity yang absurd semacam ini akan menggiring manusia pada pengkultusan, suatu sikap tertutup-pada-dirinya-sendiri sebagaimana sudah dirintis oleh Auguste Comte (comtian humanism), dan berpuncak pada Fasisme.
Pengertian
humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian bahwa manusia adalah makhluk
yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Karena. manusia adalah makhluk
yang mampu melampaui dirinya sendiri, self-surpassing, dan mampu meraih
obyek-obyek hanya dalam hubungannya dengan ke-self-surpassing-annya, maka ialah
yang menjadi jantung dan pusat dari transendensinya (bukan dalam pengertian
bahwa Tuhan adalah Yang Transenden, namun dalam pengertian self-surpassing).
Dan, relasi antara transendensi manusia dengan subjektivitas (dalam pengertian
bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri, melainkan selalu hadir
dalam semesta manusia). Itulah yang disebut Sartre dengan existential
humanism. Ini disebut humanisme karena mengingatkan kita bahwa manusia
adalah legislator bagi dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan (abandoned)
ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya
sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, tujuan yang berupa
kemerdekaan atau sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada
kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia.
Yang
manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya
kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan
dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah Sartre berani
mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk
menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian
jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindaksecara konkret dalam dunia nyata,
dunia sehari-hari, dunia umat manusia.
4. Rene Descartes
Filsuf
terkenal dari Perancis, mendefinisikan manusia sebagai ‘animal rationale,’
binatang yang dapat berpikir, atau ‘a thinking being,’ makhluk yang berpikir.
Sementara itu, berpikir diartikan sebagai kegiatan refleksif yang melibatkan
otak sebagai organ pengendali semua panca indera, organ yang secara
auto-refleksif melakukan fungsi perencanaan, penelaahan, pengambilan keputusan,
dan pengkoordinasian terhadap program-program kerja jasmani-rohani tubuh
manusia. Salah satu program kerja yang paling penting adalah berpikir,
melakukan penelaahan atas sesuatu topik yang biasanya muncul dari adanya
rangsangan atau impulsi dari luar. Topik yang muncul tersebut bisa
jadi memerlukan penelahaan yang terkait dengan sebab-akibat, dengan kemungkinan pelaksanaannya atau terjadinya, dengan segi baik-buruknya atau untung-ruginya, dan/atau berbagai segi lain.
jadi memerlukan penelahaan yang terkait dengan sebab-akibat, dengan kemungkinan pelaksanaannya atau terjadinya, dengan segi baik-buruknya atau untung-ruginya, dan/atau berbagai segi lain.
C. Hakekat Manusia dalam Islam
Manusia terdiri dari dua
unsur, yaitu unsur materi (jasmani/jasad) dan unsur immateri (rohani/jiwa).
Secara materi, manusia hakekatnya berasal dari tanah, sedangkan secara
immateri, manusia berasal dari ruh yang tidak diketahui hakekatnya. Unsur
manusia yang bersifat immateri (rohani/jiwa) digambarkan oleh al-Qur’an
diantaranya melalui istilah ruh dan nafs yang selanjutnya akan diuraikan
sebagai berikut:
1.
Ruh
Dalam surah al-Hijr ayat 28-29 Allah berfirman:
“Dan ingatlah,
ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: Sungguh Aku akan menciptakan
manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka
apabila Aku telah menyempurkan ruh (ciptaan) Ku ke dalamnya maka tunduklah kamu
kepadanya dengan bersujud.”
Sebagaimana
yang digambarkan di dalam ayat 28-29 surah al-Hijr di atas, ruh adalah unsur
terakhir yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia, dengan demikian dapat diambil
pemahaman bahwa ruh adalah unsur yang sangat penting karena merupakan unsur
terakhir yang menyempurnakan proses penciptaan manusia. Ruh juga dikatakan
sebagai bagian unsur yang mulia, hal ini tersirat dari perintah Allah kepada
para malaikat (termasuk pula iblis) untuk sujud kepada manusia sebagai tanda
penghormatan setelah dimasukkannya unsur.
Dalam
memahami sifat-sifat ruh, ada beberapa ulama dan para sarjana muslim yang
mencoba memahaminya dengan b.erpijak pada disiplin ilmunya masing-masing. Al-Qayyim
dan Al-Razy berpendapat bahwa ruh adalah suatu jisim (benda) yang sifatnya
sangat halus dan tidak dapat diraba. Ruh merupakan jisim nurani yang tinggi dan
ringan, hidup dan selalu bergerak menembus dan menjalar ke dalam setiap anggota
tubuh bagaikan menjalarnya air dalam bunga mawar. Jisim tersebut berjalan dan
memberi bekas-bekas seperti gerak, merasa, dan berkehendak. Jika anggota tubuh
tersebut sakit dan rusak, serta tidak mampu lagi menerima bekas-bekas itu, maka
ruh akan bercerai dengan tubuh dan pergi ke alam arwah.
Al-Ghazali
membagi ruh dalam dua pengertian. Pertama, ruh yang bersifat jasmani yang
merupakan bagian dari tubuh manusia, yaitu zat yang amat halus yang bersumber
dari relung hati (jantung), yang menjadi pusat semua urat (pembuluh darah),
yang mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak, serta merasakan berbagai
rasa. Ruh ini dapat diibaratkan sebuah lampu yang mampu menerangi setiap sudut
ruangan (organ tubuh). Ruh ini sering pula diistilahkan dengan nafs (nyawa).
Kedua, ruh yang bersifat rohani yang merupakan bagian dari rohani manusia yang
sifatnya halus dan gaib. Ruh ini memberikan kemampuan kepada manusia untuk
mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya, dan memperoleh serta menguasai
ilmu yang bermacam-macam. Ruh ini pula yang menyebabkan manusia
berperikemanusiaan dan mempunyai akhlak yang baik sehingga dapat menjadikannya
berbeda dengan binatang.
Syaltout
berpendapat bahwa ruh adalah suatu kekuatan yang dapat menyebabkan adanya
kehidupan pada makhluk seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ruh pada
diri manusia disamping dapat memberikan kehidupan juga memberikan kemampuan
kepada manusia untuk merasa dan berpikir. Hakekat ruh sulit ditangkap tetapi keberadaannya
dapat dirasakan.
Ruh
adalah sumber kemanusiaan. Manusia merasa senang, cinta, benci, marah, bahagia,
gembira, bermoral, berakhlak, mempunyai rasa malu dan beradab, semuanya adalah
akibat dari adanya ruh yang ditiupkan Allah pada tubuh manusia.
Menurut
Arifin, keberadaan ruh pada diri manusia dapat menyebabkan tumbuh dan
berkembangnya daging, tulang, darah, kulit, dan bulu, ruh pula yang menyebabkan
tubuh manusia dapat bergerak, berketurunan, dan berkembangbiak. Di sampimg itu
ruh pula yang membuat manusia dapat melihat, mendengar, merasa, berpikir, berkesadaran,
dan berpengertian.
2.
Nafs
Menurut
Amjad, istilah ruh digunakan untuk menunjukkan unsur rohani manusia pada tingkatan
yang lebih tinggi dari nafs. Ruh dipandang sebagai dimensi khas insani yang
merupakan sarana gaib untuk menerima petunjuk dan bimbingan Tuhan, serta
mempunyai kesadaran tentang adanya Tuhan. Sedangkan istilah nafs digunakan
untuk menggambarkan unsur rohani manusia yang mengandung kualitas-kualitas
insaniyah atau kemanusiaan.
Dalam
al-Qur’an ditemukan tiga buah istilah yang dikaitkan dengan kata nafs, yaitu
al-nafs al-mutma’innah seperti yang terdapat dalam surah al-Fajr
ayat 27, al-nafs al-lawwamah seperti yang terdapat dalam surah
al-Qiyaamah ayat 2, dan al-nafs laammaratun bi al-su’ seperti yang
terdapat dalam surah Yusuf ayat 53. Ketiga buah istilah yang dikaitkan dengan
kata nafs tersebut menyiratkan adanya tiga buah pembagian kualitas unsur rohani
yang terdapat pada manusia.
Al-nafs
al-mutma’innah secara etimologi berarti jiwa yang tenang, dinamakan jiwa yang tenang
karena dimensi jiwa ini selalu berusaha untuk meninggalkan sifat-sifat tercela
dan menumbuhkan sifat-sifat yang baik sehingga memperoleh ketenangan. Dimensi
jiwa ini secara umum juga dinamakan qalb atau hati.
Al-nafs
al-lawwamah secara literlik berarti jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri, maksudnya
bila ia telah berbuat kejahatan maka ia menyesal telah melakukan perbuatan
tersebut, dan bila ia berbuat kebaikan maka ia juga menyesal kenapa tidak
berbuat lebih banyak. Dimensi jiwa ini dinamakan oleh para filosof Islam
sebagai ‘aql atau akal.
Al-nafs
laammaratun bi al-su’ secara harfiah berarti jiwa yang memerintah kepada
kejahatan, yaitu aspek jiwa yang menggerakkan manusia untuk berbuat jahat dan
selalu mengejar kenikmatan. Menurut para kaum sufi, dimensi jiwa ini dinamakan
sebagai hawa atau nafsu.
Ahmad
menyebutkan, meskipun unsur rohani manusia yang diistilahkan dengan nafs disebut
dengan tiga buah istilah yang berbeda-berbeda sehingga seolah-olah ketiganya
berdiri sendiri-sendiri, namun hakekat ketiganya merupakan satu kesatuan.
Arifin
menyatakan, dinamai ruh (jiwa), atau nafs (nyawa) dalam fungsinya menghidupkan,
menumbuhkan dan memperkembangbiakkan. Dinamai akal dalam fungsinya memikir
(menyelidiki), mencari sebab akibat, mengingat dan menghayal. Dinamai hati atau
kalbu dalam fungsinya merasa, dinamai nafsu dalam fungsinya berkeinginan,
berkehendak, berkemauan.
3. Qalb
Qalb adalah
sebuah istilah lain di samping istilah al-nafs al-mutma’innah yang
digunakan di dalam al-Qur’an untuk menggambarkan salah satu unsur potensi
rohani yang dimiliki oleh manusia. Istilah qalb dapat dijumpai antara lain di
dalam al-Qur’an surah al-Hajj ayat 46. Al Ghazali mengatakan bahwa Qalb
mempunyai arti fisik dan arti metafisik. Pengertian qalb menurut arti fisik
adalah segumpal daging berbentuk lonjong yang terletak di dalam rongga dada
sebelah kiri yang terus menerus berdetak selama manusia masih hidup. Qalb dalam
pengertian fisik ini berfungsi untuk mengatur jalannya peredaran darah ke dalam
seluruh tubuh. Qalb seperti ini terdapat pada manusia dan pada binatang. Adapun
pengertian qalb secara metafisik, menurut Bastaman, menunjuk kepada hati nurani
atau suara hati.
Memahami
fungsi qalb dalam arti fisik sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Ghazali di
atas, dapat diambil simpulan bahwa yang dimaksud qalb tersebut adalah organ
tubuh yang disebut jantung (heart) dan bukan menunjuk kepada organ tubuh yang
disebut hati (lever) .
Haq
menyatakan bahwa qalb dalam arti fisik (jantung) merupakan titik tempat
interaksi antara tubuh dengan qalb dalam arti metafisik (hati nurani).
Interaksi tersebut secara psikologis dapat dirasakan, ketika kondisi psikologis
seseorang dalam keadaan normal maka qalb (jantung) berdetak secara teratur,
namun ketika kondisi psikologis seseorang sangat senang atau terlalu cemas maka
detak qalb (jantung) menjadi cepat.
Pembahasan
tentang qalb dalam tulisan selanjutnya lebih mengarah kepada istilah qalb dalam
pengertian metafisik, yaitu hati nurani atau suara hati.
Menurut
Zamakhsyariy, hati nurani diciptakan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia
yaitu baik dan suci, dan berkecenderungan menerima kebenaran dari Tuhannya.
Jika hati nurani berfungsi secara normal, maka kehidupan manusia menjadi sesuai
dengan fitrah aslinya, yaitu baik dan suci, dan dengan demikian manusia akan
beriman kepada Allah swt.
4. ‘Aql
Secara
etimologi ‘aql berarti mengikat/al-ribath, menahan/al-imsak, melarang/al-nahy,
dan mencegah/man’u. Berdasarkan makna bahasa ini, Mujib berpendapat bahwa yang
disebut orang yang berakal (al-‘aqil) adalah orang yang mampu menahan dan
mengikat dorongan-dorongan nafsunya, jika nafsunya terikat maka jiwa
rasionalitasnya mampu bereksistensi sehingga manusia dapat menghindari
perbuatan buruk atau jahat.
‘Aql,
ditransfer kedalam bahasa Indonesia menjadi akal dengan arti yang umum yaitu
pikiran. Akal adalah subtansi yang bisa berpikir, dengan kata lain, berpikir
adalah cara kerja dari akal, sehingga dapat dikatakan bahwa akal identik dengan
pikiran, atau ratio dalam bahasa Latin, atau budi dalam bahasa Sansekerta, atau
reason dalam bahasa Inggris.
Mengutip
pendapat al-Husain, Mujib menyatakan bahwa akal mempunyai dua makna, yaitu: (1)
akal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini
yang biasanya disebut dengan otak (al-dimagh), (2) akal ruhani, yaitu suatu
kemampuan jiwa yang dipersiapkan dan diberi kemampuan untuk memperoleh
pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikat).
Al-Ghazali
menyebutkan beberapa aktivitas akal, yaitu al-nazhar (melihat), al-tadabbur
(memperhatikan), al-ta’ammul (merenungkan), al-i’tibar (menginterpretasikan),
al-tafkir (memikirkan) dan al-tadakkur (mengingat). Apa yang dinyatakan oleh
al-Ghazali mengenai aktivitas akal tersebut, dalam psikologi dikenal dengan
istilah cognition (kognisi), yaitu sebuah konsep umum yang mencakup semua
pengenalan, termasuk di dalamnya ialah mengamati, melihat, memperhatikan,
menyangka, membayangkan, memperkirakan, mempertimbangkan, berpikir, menduga dan
menilai.
Dalam
Islam, akal diakui sebagai salah satu sarana yang sangat penting bagi manusia,
bahkan diakui merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah al-Qur’an dan
Hadits yang diistilahkan dengan ijtihad.
5. Hawa
Secara
literlik hawa berarti menuruti kehendak. Hawa sering pula diistilahkan dengan
syahwat yang berarti nafsu, selera, atau keinginan. Dalam bahasa Indonesia,
hawa/syahwat diistilahkan dengan nafsu atau hawa nafsu. Nafsu merupakan karunia
Tuhan yang diberikan kepada manusia, dengan nafsu manusia bisa menikmati segala
keindahan dan kenikmatan yang terdapat di alam ini, nafsu mendorong akal
manusia untuk memikirkan cara-cara hidup yang lebih baik, dan nafsu pula yang
mendorong manusia untuk hidup berkeluarga dan berketurunan.
Al-Falimbani
membagi nafsu menjadi dua macam, yaitu nafsu seksual (syahwatul faraj)
dan nafsu perut (syahwatul bathni). Nafsu seksual mendorong dan
menyebabkan umat manusia berkembang dan berketurunan, sedang nafsu perut
mendorong akal manusia untuk memikirkan cara-cara hidupnya yang lebih layak. Disamping
nafsu seksual dan nafsu perut, Al-Ghazali menyebutkan bahwa terdapat pula nafsu
marah/angkara murka (ghadlab). Nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan
apa saja atau menentang apa saja yang dianggap mengancam dan merugikan dirinya.
Istilah
Hawa mencakup sekaligus nafsu seksual (syahwatul faraj), nafsu perut (syahwatul
bathni), dan nafsu marah (ghadlab). Jika dipadankan dengan istilah dalam
psikologi, istilah hawa nampaknya sekaligus mencakup dua buah istilah, yaitu
appetite dan aggression, atau jika dipadankan dengan istilah yang terdapat
dalam psikoanalisa, maka istilah hawa agaknya mirip dengan istilah id, yaitu
bagian jiwa atau psikis yang seluruhnya dikuasai oleh prinsip untuk memenuhi
kepuasan dan kesenangan, dan berusaha untuk memenuhi keinginan-keinginan
tersebut tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.
- PENUTUP
Konsep manusia dalam pandangan
filsafat Barat dan Islam memiliki perbedaan yang prinsipil. Barat melihat
manusia dari sisi yang berbeda-beda setiap ilmuwan (parsial). Berbeda dengan
pemahaman ilmuwan muslim bahwa manusia merupakan makhluk yang unik yang
diciptakan sempurna dari mahluk-makluk lainnya. Dalam diri manusia terdapat
unsur-unsur ruh, nafs, qolbu dan hawa. Kendati secara harfiah keempatnya
terpisah namun dalam hakekatnya mereka menyatu. Bahkan ruh disebut-sebut ikut
berpengaruh terhadap eksistensi manusia dalam kehidupan ini.
Perbedaan pemahaman Barat dan
Islam tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi perbedaan dalam memahami konsep manusia dan kepribadiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Fridayanti. 2006. “Tentang
Manusia dalam Perspektif Ilmu Barat”. Dalam Sejarah Ilmu Pengetahuan, http://arc.itb.ac.id/~aris/PRIVAT/galileo.
Musa
Asy’ari, Filsafat Islam tentang Kebudayaan, Yogyakarta, 1999
Smith, Linda dan William
Raeper. 2004. Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Cetakan Kelima.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Muhammad
Abdul Halim Sani, Filsafat
Manusia; Siapakah Manusia? http://halimsani.wordpress.com/2007/09/06/
*** ****Makalah
disampaikan dalam mata kuliah Psikologi Kepribadian, Bambang Suryadi, Ph.D dan DR. Septi Gumiandari, M.Ag dalam
program Pascasarjana Kosentrasi Psikologi Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati
Cirebon tahun 2010.